Keabsahan Tawassul: Sahabat Nabi Datang ke Kubur Rasulullah dan Bertawwasul

Kita masih dalam pembahasan seputar tawassul, sebagai amalan spiritual dalam Islam yang terus menjadi subjek pembahasan menarik. Meskipun diakui sebagai praktik yang diajarkan dan dianjurkan dalam Islam, tidak dapat diabaikan bahwa beberapa kelompok, terutama Wahabi, menolaknya dengan keras. Artikel ini bertujuan untuk menjelajahi lebih jauh tentang keabsahan amalan tawassul, menggali bukti-bukti dari sumber-sumber kitab muktabar dan terpercaya.

Beberapa kalangan menerima adanya amalan tawassul namun hanya kepada nabi Muhammad Saw dan hanya selama masa kehidupan Beliau Saw. Selain itu, tidak dibenarkan. Di tengah kontroversi ini, perlu bagi kita untuk membuktikan dan memperkuat landasan tawassul dengan memaparkan bukti-bukti yang dapat diandalkan.

Salah satu sumber yang dipertimbangkan dalam mendukung tawassul adalah Kitab Mushannaf li Ibni Abi Syaibah. Kitab itu merupakan salah satu karangan terbaik Imam Ibnu Abi Syaibah (235 H).  Beliau seorang imam yang alim Ahlussunnah, pemimpin para hafidh, penulis kitab-kitab besar seperti Al-Musnad, Al-Mushannaf, dan At-Tafsir. Begitu juga Ibnu Hajar Al-Asqalani membawakan riwayat ini dalam kitabnya Fathul Bari.

Kitab al-Mushannaf menyajikan catatan menarik tentang seorang sahabat Nabi yang melakukan tawassul setelah wafatnya Rasulullah saw. Kisah ini terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, di mana masyarakat dihadapkan pada bencana kekeringan yang serius. Berikut redaksinya:

“Manusia ditimpa kekeringan pada masa Umar bin Khattab, lalu datanglah seorang lelaki ke kubur Nabi Saw lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, mintalah hujan kepada Allah untuk umatmu, sesungguhnya mereka mendekati kebinasaan.’ Lalu lelaki itu didatangi oleh Rasulullah Saw dalam mimpinya. Beliau Saw bersabda, ‘Datanglah kepada Umar lalu sampaikan salamku untuknya, dan beritahukan kepadanya bahwa kalian akan diberi hujan. Katakan juga: hendaknya kalian menggunakan akal pikiran. Hendaknya kalian menggunakan akal pikiran.’ Lalu lelaki itu mendatangi Umar dan menceritakan apa yang dialaminya tersebut. Umar pun menangis kemudian berkata, ‘Ya Rabb, aku tidak akan berpaling kecuali dari apa yang aku tidak mampu melakukannya.’”(1)

Bukti seperti ini membantu menguatkan argumen bahwa tawassul tidak terbatas pada masa hidup Nabi saja. Bahkan setelah wafatnya Rasulullah, kaum Muslimin tetap memiliki hak dan kemampuan untuk bertawassul. Ini menjadi titik kunci dalam memahami bahwa amalan ini memiliki keberlanjutan dan relevansi dalam kehidupan umat Islam.

Dengan terus meneliti dan menyajikan bukti-bukti keabsahan tawassul dari berbagai sumber kitab muktabar, kita dapat merangkai landasan yang kokoh untuk mendukung praktik ini. Sebuah pemahaman yang mendalam tentang tawassul akan memungkinkan umat Islam untuk menjalankan amalan ini dengan keyakinan yang kuat dan pemahaman yang benar sesuai dengan ajaran Islam yang murni.

    Al-Musannaf, Imam Ibnu Abi Syaibah, Jil. 6 Hal. 357, Cet. Maktabah Ar-Rusyd – Riyadh