Apa hubungan antara rezeki yang telah ditakdirkan dan usaha manusia?(2)

“Rezeki yang dicari” (matlub) adalah rezeki yang telah ditetapkan oleh pencarinya. Apabila kita mencarinya dan memenuhi segala syarat, sebab-sebab yang diperlukan untuk sampai kepadanya, maka rezeki sedemikian akan kita peroleh.

Sejatinya, usaha kita untuk sampai pada rezeki tersebut adalah termasuk “juz al-‘illah” (bagian dari sebab) dan apabila berada di samping sebab-sebab yang lain dari alam ghaib, maka tentu saja untuk memperoleh rezeki tersebut adalah perkara yang pasti. Dalam hal ini, Amirul Mukminin Ali As bersabda, “Carilah rezeki yang telah terjamin dan melimpah yang (hanya) disediakan bagi yang mencarinya.”[5]

Sebagaimana pencarian tanpa jaminan adalah mustahil, penjaminan rezeki juga tanpa pencarian (pada rezeki yang dicari) tidak mungkin. Atas alasan ini, dua bagian rezeki yang ditentukan bagi para hamba, satu bagian tanpa syarat (rezeki thâlib) dan bagian yang lain adalah rezeki bersyarat (rezeki matlub). Rezeki tanpa syarat mencari manusia pada segala kondisi sehingga menjamin ukuran kapabilitas manusia dari jenis rezeki ini tidak kepenuhan hingga ajal dan kematiannya tiba. Sesuai dengan sabda Rasulullah Saw, “Tiada seorang pun yang meninggal hingga rezekinya sempurna ia dapatkan.”[6] Adapun rezeki matlub dan bersyarat kepastiannya bersyarat pada pengerjaan beberapa perkara dan dengan memperhatikan beberapa masalah dimana tanpanya tidak akan terwujud.” [7]

Rezeki thâlib dan yang telah ditentukan (mahtum) adalah rezeki berupa keberadaan, usia, segala fasilitas, lingkungan keluarga, dan segala potensi dan sebagainya yang dari jenis rezeki ini, memberikan kemampuan yang diperlukan dan ketelitian untuk berusaha, berupaya dan bekerja. Dan dalam pancaran rezeki yang telah ditentukan ini gerbang pintu rezeki matlub dan yang bersyarat akan terbuka.

Pada rezeki yang dicari setiap orang bagaimanapun bentuknya harus menengadahkan tangannya ke hadapan Mahapemberi rezeki Mutlaq (Razzaq); bahkan seorang bocah yang meminum ASI dengan usahanya meronta, menangis, menjerit, dan berteriak. Karena itu, dalam pelbagai perbuatan ini ia akan memperoleh rezeki matlub (ASI). Namun tatkala ia tumbuh berkembang dan sampai pada tingkatan yang lebih besar, usaha dan keseriusannya berbentuk lain, dan dengan cara berpikir, berbuat, menggerakan anggota tubuh, kualitas dan kuantitas rezeki juga mengamlami perubahan.

Kesimpulannya dalam mendapatkan rezeki yang ditentukan, usaha, pikiran dan kegiatan tercipta dan dalam usaha, kegiatan dan mencari, rezeki yang dicari akan muncul. Rezeki yang ditentukan tidak berubah, berganti, berkurang atau bertambah. Bukan keserakahan orang-orang serakah yang mampu menyingkirkan rezeki ini dan juga bukan dengan penolakan orang-orang enggan terhadap rezeki tersebut.[8] Namun bergantung pada bagaimana pemenuhan pelbagai pendahuluan rezeki yang dicari (mathlub) dan kualitas rangkapan, penataannya yang dapat berpengaruh pada kuantitas dan kualitasnya. Misalnya niat baik dan berketerusan dalam thaharah merupakan perkara yang dapat menambah rezeki.

Seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw bahwa ia ingin rezekinya bertambah luas, Rasulullah Saw bersabda: “Hendaklah engkau senantiasa dalam keadaan suci (thaharah) supaya rezekimu semakin bertambah.”[9]

Imam ‘Ali As bersabda, “Orang yang niatnya baik maka rezekinya akan bertambah banyak.”[10]

Karena itu perlu bagi kita setelah mengetahui hubungan antara rezeki dan pemakan rezeki bahwa media-media untuk memperoleh rezeki ini telah disediakan dan tugas untuk mencarinya berada di pundak kita. Serta berusaha menemukan sebaik-baik cara untuk dapat memperoleh rezeki, dan memberdayakan segala potensi dan kekuatan yang kita miliki kemudian bertawakkal kepada Sang Pencipta.

Persada dan segala yang pelik di dalamnya adalah tirai

Semua rezeki bersumber dari Tuhan yang mahamengetahui setiap diri

Tatkala engkau memacul bumi sebagai kerja asli

Tumbuh darinya masing-masing seribu biji

Kini kuambil bijian itu lalu kau semai

Di bumi yang engkau pandang sebagai sebab tempat bersemai

Tatkala dua tahun berlalu tidak tumbuh apa yang engkau semai

Kini engkau hanya dapat bersandar pada doa dan munajat

Tengadahkan tanganmu dan dongakkan kepalamu kepada Sang Pemenuh Hajat

Tangan dan kepala menjadi saksi rezeki-Nya

Hingga engkau tahu bahwa yang Dialah yang memberikan rezeki

Karena berlabuh kepada-Nya seluruh pencari rezeki

Tuntutlah rezeki dari-Nya bukan dari Iwan dan Budi

Pintalah kemampuan dari-Nya bukan khazanah dan harta

Pohonlah bantuan dari-Nya bukan dari paman dan bibi[11]

Catatan kaki:

[1]. Murtadha Muthahhari, Bist Guftâr, Guftâr-e Syisyum, hal. 127.

[2]. Nahj al-Balâghah, surat ke-31.

[3]. Muhammadi Rey Syahri, Husaini Sayid Hamid, Muntakhab Mizân al-Hikmah, riwayat no. 2564.

[4]. Allamah Thaba-thabai, Tafsir al-Mizân, jil. 18, juz 27, hal. 377.

[5]. Muntakhab Mizân al-Hikmah, riwayat no. 2555.

[6]. Ibid, riwayat no. 2561.

[7]. Rezeki secara leksikal bermakna sesuatu yang diambil manfaat darinya, “al-rizq maa yuntafa’ bihi.”

[8]. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 77, hal. 68, hadits 7, riwayat dari Nabi Saw.

[9]. Muntakhab Mizân al-Hikmah, riwayat no. 2574.

[10]. Ibid, riwayat no. 2574.

[11] Jalaluddin Rumi, Matsnawi.