Ibadah dan Perjalanan Ruhani

Manusia dalam hidupnya berusaha mencari nilai-nilai kesempurnaan. Ia bersedia mengorbankan apa saja demi tujuannya. Orang yang berpandangan materialistis akan melihat banyaknya kekayaan sebagai jalan menuju kebahagiaan dan kesempumaan. Manusia yang haus akan kekuasaan akan berusaha dengan segala cara untuk merebutnya. Begitulah perilaku dan tabiat manusia yang jiwanya dipenuhi bayang-bayang dunia materi yaitu uang dan kekuasaan.

Padahal sebagai manusia, yang mempunyai dimensi ruhani di samping materi, tidak seharusnyalah ia menomorsatukan hal-hal yang bersifat materi. Seharusnya ia melihat bahwa tujuan kesempurnaan hidup manusia adalah menghadap yang menciptakaannya. Jika manusia sadar akan hakikat kemanusiaannya, tentu ia tidak akan menyia-nyiakan waktunya untuk berbuat yang berlebihan terhadap kebutuhan duniawi. Manusia tentu akan berusaha untuk beribadah kepada yang menciptakannya, yaitu Allah Swt dengan penuh suka cita.

Ibadah kepada Allah Swt merupakan sebentuk penolakan terhadap segala sesuatu yang lain sebagai objek sesembahan dan pemujaan selain kepada-Nya. Hal ini merupakan salah satu ajaran penting dari Tuhan yang selalu disampaikan melalui ajaran para nabi. Dalam Islam, ibadah kepada-Nya menempati kedudukan yang amat luhur, dan tidak dianggap sebagai serangkaian ritual kebaktian semata yang terpisah dari kehidupan sehari-hari alias hanya terkait dengan dunia lain. Ibadah dalam Islam ditempatkan dalam konteks kehidupan dan merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan dari filsafat kehidupan Islam.

Menurut Islam, setiap amal baik dan bermanfaat jika ditunaikan dengan niat tulus mencari ridha Allah dipandang sebagai ibadah. Oleh karenanya, belajar, menuntut ilmu, dan mencari nafkah dan pelayanan sosial, jika dilakukan karena Allah Swt, merupakan laku-laku ibadah. Di sisi lain, Islam menetapkan aturan-aturan ritual dan tindakan-tindakan formal ibadah seperti shalat, puasa dan lain-lain, yang memiliki filsafat tertentu bagi yang menjalankannya.