TUJUAN HIJAB ISLAM



Oleh: Murtadha Muthahari

Hijab Memuliakan Wanita
Ada satu masalah yang masih harus dibicarakan, yaitu salah satu kritik yang ditujukan kepada "hijab" yang mengatakan bahwa "hijab" merampas martabat dan kehormatan wanita. Ketauhilah, bahwa martabat manusia telah menjadi salah satu tujuan penting manusia sejak berkembangnya kata-kata mengenai hak-hak asasi manusia. Martabat manusia dihormati; seluruh manusia memiliki martabat ini, baik pria maupun wanita, kulit hitam ataukah kulit putih dan juga semua bangsa serta agama. Setiap manusia memiliki hak atas martabat itu.
Mereka mengatakan bahwa "hijab" Islam bertentangan dengan martabat wanita. Kita menerima hak atas martabat manusia. Pembahasan ini adalah mengenai apakah "hijab", yaitu hijab yang disebutkan dalam ajaran Islam, tidak menghormati wanita dan merupakan suatu penghinaan terhadap martabatnya. Gagasan ini timbul dari gagasan bahwa "hijab" memenjarakan wanita, menjadikannya sebagai budak. Perbudakan berlawanan dengan martabat manusia. Mereka mengatakan bahwa karena "hijab" diberlakukan oleh laki-laki agar ia dapat mengeksploitasi wanita, maka laki-laki menawan wanita dan memenjarakannya di sudut rumahnya. Dan dengan demikian, ia berarti telah memandang rendah atau menghinakan martabat wanita sebagai manusia. Kehormatan, harga diri dan martabat wanita tidak menghendaki "hijab".
Sebagaimana telah kami katakan, dan nanti akan kami jelaskan lebih jauh, kami akan menyimpulkan ayat-ayat suci Al Qur'an bahwa kita tidak mempunyai suatu hak apa pun untuk memenjarakan wanita. Jika pria memiliki kewajiban-kewajiban dalam hubungannya dengan wanita, atau wanita mempunyai kewajiban-kewajiban dalam hubungannya dengan laki-laki, maka kewajiban itu dimaksudkan agar dapat memperkuat dan memperkukuh kesatuan keluarga. Artinya, hal itu memiliki tujuan yang jelas. Selain itu, dari segi social, hal itu mempunyai banyak kepentingan. Yaitu, kesejahteraan masyarakat menuntut agar pria dan wanita membuat hubungan khusus satu sama lain, atau kesucian etika dan keseimbangan etika serta ketenangan ruhani masyarakat menuntut agar pria dan wanita memilih cara khusus untuk berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini tidaklah disebut pemenjaraan dan tidak pula disebut perbudakan, ataupun merupakan sesuatu yang bertentangan dengan martabat manusia.

Seperti kita lihat, jika seorang pria meninggalkan rumahnya dengan telanjang, maka ia akan dicerca dan dipersalahkan, dan barangkali polisi akan menangkapnya. Bahkan jika seorang pria meninggalkan rumahnya dengan mengenakan piyama saja, atau hanya menggunakan celana dalam saja, maka setiap orang akan menghentikannya, karena hal ini bertentangan dengan martabat social. Hukum atau adapt istiadat menetapkan bahwa bila seorang pria meninggalkan rumahnya , maka ia harus berpakaian lengkap. Apakah bertentangan dengan martabat manusia bila diperintahkan agar ia berpakaian lengkap bila meninggalkan rumah?
Sebaliknya, jika seorang wanita meninggalkan rumahnya dengan tertutup dalam batas-batas yang akan kami sebutkan nanti, hal ini menyebabkan penghormatan yang lebih besar baginya. Yaitu, hal ini menghindarkan adanya gangguan dari laki-laki yang tidak bermoral dan tidak mempunyai sopan santun. Jika seorang wanita meninggalkan rumahnya dengan tertutup, hal ini bukan hanya tidak mengurangi martabatnya sebagai manusia, akan tetapi justru menambahnya. Ambil saja contoh seorang wanita yang meninggalkan rumahnya dengan hanya muka dan kedua telapak tangannya yang terlihat, dan dari perilaku serta pakaian yang dikenakannya tidak ada sesuatu pun yang akan menyebabkan orang lain terangsang atau tertarik kepadanya. Artinya, ia tidak akan mengundang perhatian pria kepada dirinya. Ia tidak menggunakan pakaian-pakaian mencolok atau berjalan dengan suatu cara yang menarik perhatian orang kepada dirinya, atau ia tidak berbicara dengan suatu cara yang menarik perhatian.

Kadang-kadang pakaian itu berbicara. Cara dia (pria atau wanita) berbicara mengisyaratkan sesuatu yang lain. Ambil saja contoh seorang pria yang berbicara dengan suatu cara tertentu hingga seolah-olah mengisyaratkan kata-kata "takutlah kepadaku", atau pria yang menggunakan pakaian yang lain dari yang biasa dipakai orang. Yaitu, dengan mengenakan jubah, surban dan berjenggot, dan seterusnya, mengisyaratkan kepada masyarakat, "hormatilah aku".
Bisa saja terjadi wanita mengenakan pakaian sedemikian sehingga terjadi pergaulan yang baik dan terhormat di dalam masyarakat, dan bisa saja terjadi wanita mengenakan pakaian dan berjalan sedemikian sehingga mengisyaratkan:"ayo, ikutilah aku". Apakah martabat wanita, martabat pria, atau martabat masyarakat tidak menyebabkan wanita meninggalkan rumahnya dengan berpakaian dan bersikap sedemikian sehingga tidak menarik perhatian setiap orang yang berpapasan dengannya.

Dia harus berpenampilan sedemikian sehingga tidak mengalihkan perhatian pria dari apa yang ia lakukan. Apakah hal ini bertentangan dengan martabat wanita? Atau apakah hal ini bertentangan dengan martabat masyarakat? Jika seseorang mengatakan sesuatu, yang ada di dalam masyarakat non-Islam, bahwa "hijab" memenjarakan wanita, bahwa wanita harus di tempatkan di dalam sebuah rumah yang terkunci dan ia tidak berhak bergaul di luar rumah, maka itu tidak berkaitan dengan Islam. Seandainya dikatakan bahwa ajaran-ajaran Islam melarang wanita membeli sesuatu dari sebuah toko yang penjualnya adalah seorang pria, dan lalu dijawab:"tidak boleh, hal ini dilarang"; dan seandainya seseorang bertanya, "apakah seorang wanita diizinkan untuk ikut serta dalam pertemuan-pertemuan, perkumpulan-perkumpulan agamawi (acara-acara keagamaan)?" dan seandainya dijawab,"tidak, hal itu tidak diizinkan"; seandainya wanita dibolehkan untuk bertemu antara satu dengan yang lainnya? Dan seandainya dikatakan bahwa semua ini adalah dilarang, bahwa wanita harus duduk di sudut rumah dan tidak boleh meninggalkan rumahnya; maka hal ini menjadi suatu hal; akan tetapi Islam tidak menyatakan hal ini.
Kami mengatakan bahwa hal ini di dasarkan pada dua hal. Yang pertama didasarkan pada apa yang baik bagi keluarga. Artinya, wanita tidak boleh mengerjakan sesuatu yang dapat mengganggu situasi keluarganya, walaupun meninggalkan rumahnya untuk pergi ke rumah adiknya atau bahkan untuk mengunjungi ibunya bila kunjungan itu menimbulkan kekacauan dalam rumah tangganya. Keluarga tidak boleh diganggu.
Dasar kedua adalah bahwa meninggalkan rumah, menurut Al Qur'an, tidak boleh dengan tujuan untuk memperagakan diri, untuk mengganggu kedamaian dan ketentraman orang lain, untuk mengganggu pekerjaan orang lain. Jika bukan demikian, maka tidak ada masalah.


Perintah untuk Meminta Izin dalam Memasuki Rumah Orang Lain
Sekarang kita akan membicarakan ayat-ayat Al Qur'an, dan setelah menjelaskan apa yang telah diterangkan oleh para mufassir tradisional mengenai ayat-ayat itu, dengan bantuan hadits-hadits yang berkenaan dengan topic ini dan fatwa-fatwa fuqaha dalam masalah ini, maka masalah ini akan menjadi lebih jelas. Ayat-ayat yang berhubungan dengan hijab terdapat dalam surah an-Nur dan al-Ahzab. Semuanya akan kami paparkan.
Pembahasan akan kami mulai dengan ayat-ayat dari surah an Nur. Tentunya ayat-ayat yang berhubungan langsung dengan hijab adalah ayat 30 dan 31 dari surah an Nur, akan tetapi sebelum ini ada tiga ayat yang kurang lebih merupakan pengantar hijab dan berhubungan dengan masalah ini.
"hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum minta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu selalu ingat."(Qs. 24:27).

Ayat ini menjelaskan kewajiban seorang pria yang bukan muhrim dalam memasuki rumah orang lain, yaitu rumah seseorang yang istrinya bukan muhrim baginya. Tentunya ada juga aturan-aturan mengenai mereka yang muhrim, dan hal itu akan kami paparkan nanti. Juga ada beberapa tempat yang bukan merupakan tempat khusus bagi mereka yang muhrim. Hal ini berhubungan dengan apa yang harus dilakukan seseorang dalam memasuki rumah orang lain.
Pertama-tama izinkanlah saya mengatakan bahwa selama zaman jahiliyah, sebelum Al Qur'an diwahyukan, rumah-rumah pada waktu itu tidak menggunakan kunci, dan seterusnya. Pada dasarnya pintu ditutup karena takut pencuri. Jika seseorang hendak masuk, dia akan membunyikan bel atau mengetuk pintu. Pada zaman jahiliyah keadaan seperti ini tidak ada. Keadaannya lebih menyerupai keadaan di desa-desa. Orang seperti diri saya, yang tinggal di desa, tahu bahwa pada dasarnya tidak ada pintu yang tertutup. Pintu halaman selalu terbuka. Di banyak tempat bahkan tidak ada kebiasaan mengunci pintu pada malam hari. Di Fariman, sebuah desa dekat Teheran, tempat saya tinggal, saya tidak pernah melihat pintu halaman dikunci walau sekali pun, dan disana hampir tidak pernah terjadi pencurian.

Sejarah menunjukkan bahwa, khususnya di Makkah, rumah-rumah bahkan sering tidak menggunakan pintu. Di dalam Islam ada satu hukum: seseorang tidak pernah memiliki rumah di Makkah. Tentunya ada perbedaan pendapat di antara para fuqaha. Para Imam dan pengikut mazhab Syafi'I sepakat bahwa tanah di Makkah tidak bisa dimiliki oleh siapa pun. Artinya, tanah di Makkah adalah milik seluruh kaum muslimin dan tidak dapat diperjual belikan. Rumah-rumah yang ada disana menjadi milik semua orang (muslim), seperti halnya masjid. Di dalam surah al Hajj dikatakan bahwa orang-orang yang tinggal disana (Makkah) dan orang-orang yang datang dari luar, semuanya sama.
Praktek penyewaan yang sekarang terjadi di Makkah, tidak sesuai bukan hanya dengan fikih Syi'ah, tetapi juga tidak sesuai dengan kebanyakan fikih Sunnah. Harus ada peraturan internasional untuk itu. Mereka tidak berhak memberikan batasan-batasan disana, dan tidak pula berhak melarang seseorang untuk masuk kesana. Ia adalah seperti sebuah ruangan di dalam sebuah masjid, dan setiap orang berhak berada di dalamnya. Namun demikian ia tidak berhak melarang orang lain memasukinya. Orang tidak berhak menutup sebuah ruangan yang kosong. Tentu saja jika seseorang sedang menempatinya, maka dialah yang lebih berhak.
Orang pertama yang menyuruh agar rumah-rumah diberi pintu adalah Muawiyah. Hal ini dilarang dilakukan terhadap rumah-rumah di Makkah. Inilah situasi yang umum.

Di kalangan orang-orang arab pada zaman jahiliyah tidak ada kebiasaan meminta izin ketika hendak memasuki rumah orang lain. Hal ini mereka rasakan sebagai sebuah penghinaan. Di dalam ayat lain Al Qur'an dikatakan bahwa jika kamu tidak diizinkan untuk masuk, maka kembalilah. Hal ini kiranya oleh sebagian orang dipandang sebagai penghinaan, tetapi penekanan ini di dalam Al Qur'an merupakan salah satu aspek pengantar hijab, karena setiap wanita yang berada di dalam rumahnya sendiri berada dalam satu keadaan dimana dia tidak ingin dilihat atau melihat orang lain. Al Qur'an mengatakan:
"jika kamu meminta sesuatu dari istri-istrinya, maka mintalah dari balik tabir (hijab)." (Qs. 33: 53).

Dengan demikian, pertama-tama orang harus meminta izin untuk masuk, lalu bila disetujui pemilik rumah, maka barulah masuk. Nabi saw bersabda:"untuk memberitahukan kedatangan kalian, sebutlah nama Allah dengan suara keras." Kemudian saya mengerti bahwa kata "ya Allah" yang diucapkan oleh seorang muslim, misalnya ketika hendak masuk rumah, merupakan pelaksanaan perintah ini.
Dengan demikian, betapa baiknya bila pemberitahuan ini diucapkan dengan menyebut nama Allah. Nabi saw selalu melakukan hal ini. Ketika beliau ditanya,"apakah hal ini merupakan aturan umum yang harus kita gunakan ketika kita hendak memasuki rumah saudara perempuan kita, anak perempuan kita dan juga ibu kita?" beliau berkata,"jika ibumu dalam keadaan tidak berpakaian, lalu apakah ia mau jika engkau melihatnya? Mereka menjawab,"Tidak." Beliau berkata,"jadi peraturan ini berlaku bagi rumah ibu. Jangan masuk tanpa memberitahunya bahwa engkau akan masuk."
Bila Nabi saw hendak memasuki rumah seseorang, beliau selalu berdiri di belakang pintu agar mereka dapat mendengar suara beliau, dan lalu beliau menyerukan:"assalamu 'alaikum ya ahlul-bait." Beliau bersabda:"jika kalian tidak mendapatkan jawaban, barangkali orang itu tidak mendengar kalian. Ulangi sekali lagi dengan suara yang lebih keras. Ulangi untuk ketiga kalinya jika kalian tidak juga mendapatkan jawaban, mungkin orang itu tidak ada di rumah atau orang itu tidak menghendaki kamu masuk; kalau demikian maka kembalilah." Nabi saw melakukan hal ini, dan banyak kisah yang telah diriwayatkan mengenai hal ini, seperti bila beliau hendak memasuki rumah putrinya, beliau selalu mengucapkan salam dengan suara lantang. Jika putrinya menjawab, beliau lalu masuk. Bila beliau mengucapkan salam tiga kali dan tidak mendapatkan jawaban, maka beliau pulang.

Disini ada sesuatu yang harus dicatat yang merupakan perbedaan antara kata "dar" dan "bait". "dar" adalah yang kita sebut sebagai halaman, sedangkan ruangan disebut "bait". Al Qur'an merujuk kepada "bait", yaitu, bila anda hendak memasuki ruangan seseorang. Selama pintu-pintu halaman terbuka, jelas halaman rumah tidak dianggap sebagai tempat yang bersifat pribadi. Artinya, jika seorang wanita berpakaian sedemikian sehingga dia tidak ingin orang lain melihatnya, tentu dia akan berpakaian seperti itu di ruangan tertutup. Halaman mempunyai aturan seperti sebuah ruangan. Pintunya ditutup dan biasanya dindingnya tinggi. Wanita masih menganggap halaman, pada batas tertentu, sebagai sebuah tempat pribadi. Sekarang "dar" mempunyai aturan yang sama dengan "bait", karena "bait" pada dasarnya berarti tempat pribadi yang di halamannya wanita tidak menghendaki laki-laki asing melihatnya.
"itu lebih bersih bagimu." Artinya, perintah yang kami berikan, lebih baik bagimu, mengandung kebaikan serta logis. "ketahuilah bahwa hal ini adalah baik."
"dan jika kamu tidak menemui seorang pun, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu "kembalilah", maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu. Dan Allah Swt Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."(Qs. 24:28).
"tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu, dan Allah Swt mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan."(Qs. 24:29).

Bagi orang-orang Arab, hal ini sangat sulit dipahami. Minta izin ketika hendak masuk rumah itu sendiri sudah merupakan hal yang sulit, apalagi kemudian diberitahu agar kembali saja, sungguh kembalinya itu sendiri merupakan hal yang hampir-hampir tidak mungkin. Hal ini merupakan suatu penghinaan.
Di dalam ayat, "tidak ada dosa atasmu…," ada suatu kekecualian. Apakah peraturan ini berlaku kapan saja bila seseorang hendak memasuki tempat tinggal orang lain? Al Qur'an mengatakan bahwa hal ini bukan merupakan aturan umum dan hanya berlaku bagi rumah seseorang.
Rumah merupakan tempat pribadi, tempat kehidupan pribadi seseorang, tetapi jika pun bukan, tetap diperlukan izin untuk memasukinya. Jika, misalnya, ada suatu tempat peristirahatan kafilah, dan anda mempunyai urusan disitu, apakah anda harus minta izin, dan seterusnya. Tidak. Di sini tidak diperlukan izin untuk masuk. Bagaimana dengan tempat pemandian umum. Di sini pun tidak perlu. "tidak ada dosa atasmu…" jika tempat itu bukan tempat kediaman dan kamu mempunyai urusan di sana."Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan."

Dari kata "tidak didiami" (uninhibited) dapat dipahami bahwa filsafat mengapa orang tidak dapat masuk rumah orang lain tanpa memberitahu terlebih dahulu adalah pertama-tama dikarenakan adanya istri, dan kedua karena kenyataan bahwa rumah merupakan tempat pribadi. Barangkali ada hal-hal yang orang tidak menghendaki orang lain mengetahui atau melihatnya.
Dengan demikian, bila orang hendak memasuki rumah orang lain, maka ia harus memberitahukan kedatangannya. Orang harus, dengan cara tertentu, memberitahukan bahwa dia akan masuk walaupun si pemilik rumah mengetahui bahwa ia diperbolehkan masuk. Jadi anda harus menyadari bahwa anda hendak memasuki tempat pribadinya.


Perintah Untuk "Menundukkan Pandangan"
"katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:"hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (Qs. 24:30).
"katakanlah kepada wanita yang beriman: 'hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang biasa nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita, atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah Swt, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung." (Qs. 24:31).

Di dalam kalimat, " katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:"hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka" ada dua kata yang harus didefinisikan. Kata yang pertama adalah "ghadz", dan yang kedua adalah "abshar". Jika dikatakan bahwa "abshar", bentuk jamak dari "basher", tidak memerlukan penjelasan, karena kata ini berarti "mata". Akan tetapi, "abshar" pada dasarnya berarti "pandangan". Jika dikatakan " 'ain ", sebagaimana dalam "ghadz 'ain", artinya tentunya adalah "pejamkan mata mereka". Dalam hal ini tentunya ada arti khusus. Apa yang dimaksudkan dengan "ghadz bashr"? "ghadz" berarti "menundukkan", "menurunkan" bukan "menutup". Kita melihat hal ini di dalam ayat yang lain:
"dan hendaklah kamu sederhana dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai." (Qs. 31:19).

Maksud ayat ini bukanlah berarti "harus diam". Suara harus sedang-sedang saja. Begitu pula, "menundukkan pandangan" berarti "tidak memandang dengan cara menatap."
Di dalam sebuah hadits yang terkenal dari Hind ibn Abi Halah yang melukiskan tentang Nabi saw diriwayatkan,"bila beliau sedang berbahagia, beliau selalu menundukkan pandangannya."(tafsir al Qur'an, Safi, 24:31, diriwayatkan dari hadits Ali ibn Ibrahim Qummi.). hal ini jelas tidak berarti beliau menutup matanya.

Di dalam "Bihar", Majlisi menafsirkan kalimat mengenai Nabi saw sebagai demikian:"beliau selalu menutupi pandangannya dan menundukkan kepalanya. Beliau melakukan hal ini supaya kebahagiaannya tidak terlihat."
Di dalam Nahjul Balaghah, Imam Ali as berkata kepada putranya, Imam Hasan as, ketika beliau menyerahkan sebuah panji-panji kepadanya dalam perang Jamal, "walaupun gunung-gunung tumbang, jangan tinggalkan tempatmu. Katupkan gigi-gigimu (sehingga kemarahanmu bertambah), hadapkanlah kepalamu kepada Allah Swt, dan tancapkanlah kakimu ke tanah, amati kekuatan musuh dan tundukkan pandanganmu" (Nahjul Balaghah, khutbah 110). Artinya, "jangan pusatkan pandanganmu hanya kepada musuh."
Pada dasarnya ada dua bentuk pandangan. Yang pertama adalah "melihat orang lain dengan perhatian seakan-akan sedang menilai penampilan dan cara berpakaiannya." Yang kedua adalah "memandang orang lain ketika berbicara kepada orang itu, karena memandang diperlukan dalam bercakap-cakap." Ini adalah pandangan yang merupakan pengantar atau suatu cara dalam berbicara , dan merupakan pandangan organic, sedangkan jenis pandangan yang pertama adalah pandangan otonomis. Dengan demikian, maka maksud ayat itu adalah:"katakanlah kepada orang-orang yang beriman agar mereka tidak menatap atau bermain-main dengan wanita."


Tentang Perintah untuk Menjaga Kemaluan
Di dalam ayat selanjutnya dikatakan:

"katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman…hendaklah mereka memelihara kemaluan mereka." (Qs. 24:30)

Memelihara dari hal apa? Dari segala sesuatu yang tidak benar, menjaga dari penyelewengan dan menjaga agar tidak dipandang orang lain.
Sebagaimana anda ketahui, dikalangan orang-orang Arab jahiliyah tidak ada kebiasaan memelihara (menutupi) kemaluan. Islam datang dan mewajibkan menutup kemaluan.

Harus dicatat bahwa peradaban barat sekarang sedang mengarah langsung ke kebiasaan-kebiasaan orang-orang Arab pra-Islam di zaman jahiliyah, dan mereka terus menerus mengarang filsafat yang membenarkan bahwa ketelanjangan adalah sesuatu yang baik. Russel, di dalam "On Discipline", mengatakan bahwa etika lain yang tidak logis atau tabu adalah seorang ibu dan seorang yang memerintahkan kepada anak-anak mereka untuk menutup diri mereka, sebab hal ini hanya menciptakan rasa ingin tahu yang lebih besar pada diri anak-anak; dan orangtua hendaknya menunjukkan kemaluannya kepada anak-anaknya sehingga mereka dari sejak permulaan sudah tahu akan apa saja yang ada. Sekarang, mereka melakukan hal ini.
Tetapi Al Qur'an mengatakan,"dan peliharalah kemaluanmu," baik dari penyelewengan maupun dari pandangan orang lain. Menutup aurat merupakan kewajiban di dalam Islam kecuali, tentunya, di antara suami dan istri. Dan diantara perbuatan-perbuatan yang paling tercela bagi seorang ibu adalah telanjang di hadapan anak laki-lakinya, atau seorang ayah di hadapan anak perempuannya.
"itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Qs. 24:30).

Nabi saw mengatakan bahwa sejak masa kanak-kanak kejadian tertentu terjadi beberapa kali. Beliau merasa bahwa ada sejenis kekuatan lain di dalam dirinya, dan perasaan tersebut melarang melakukan hal-hal yang dilakukan di zaman jahiliyah. Beliau mengatakan bahwa ketika masih kanak-kanak beliau bermain-main dengan anak-anak yang lain. Ketika sedang bermain-main itu, tak jauh dari situ para tukang batu sedang membangun sebuah rumah bagi seorang Quraisy. Anak-anak dengan senang hati membantu orang yang sedang membangun itu membawakan batu-batu, batu bata dan sebagainya dengan baju putih mereka yang panjang, lalu meletakkannya di hadapan tukang-tukang itu, sehingga kemaluan mereka itu tampak. Nabi saw bercerita bahwa beliau ikut membantu dan meletakkan sebuah batu pada gamisnya yang panjang dan, ketika beliau hendak bangkit, ada sesuatu yang terasa menghentikan perbuatannya itu dan mengenai bagian bawah pakaiannya. Beliau mengulanginya, dan beliau merasakan hal yang sama lagi. Barulah beliau mengetahui bahwa beliau tidak boleh melakukan hal ini, dan beliau pun tidak mencobanya lagi. (Ibn Abil Hadid, Syarah Nahj al Balaghah, khutbah 190).
"katakanlah kepada wanita yang beriman hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka…(Qs. 24:31).

Di dalam dua ayat ini kita melihat aturan yang sama bagi pria dan wanita. Hal ini bukanlah merupakan yang khusus bagi pria. Misalnya, jika wanita dilarang (diharamkan) memandang, dan sebaliknya pria tidak, maka akan ada perbedaan bahwa memandang itu dibenarkan bagi pria tapi tidak bagi wanita. Jelas, dengan demikian, bila tidak dibuat perbedaan antara pria dan wanita, maka hal ini mempunyai tujuan lain yang akan kami pada kesempatan selanjutnya.