Mestikah Tuhan itu Dikenal?



Oleh: Rabbani Gulpaigani
Hal pertama yang muncul menjadi pertanyaan bagi seseorang dalam kaitannya dengan masalah atau pun kajian tentang keyakinan dan kepercayaan, khususnya mengenai ma'rifatullah adalah kenapa mesti Tuhan itu dikenal? Apa yang memotifasi pemikiran manusia untuk tertarik kepada pembahasan ini? Apa manfaat serta nilai urgennya? Kira-kira kerugian apa yang akan muncul seandainya hal ini diabaikan? Dengan demikian, disini ada dua masalah yang perlu dikaji dan diteliti:

Pertama: kira-kira factor-faktor apa saja yang membuat manusia termotifasi untuk membahas tentang eksistensi Tuhan?

Kedua: apa fungsi dan manfaat dari mengenal dan beriman kepada-Nya?

Para teolog Islam, untuk menjawab pertanyaan pertama, mencoba merekomendasikan berbagai jawaban yang akan kita lihat berikut ini:


1. Kemestian mencegah berbagai petaka penting
Tidak ada seorang manusia berakal pun yang meragukan akan kemestian dan keharusan ini. Prinsip "kemestian mencegah petaka" merupakan salah satu prinsip yang dianggap paling fundamental bagi kehidupan manusia dan hal ini didukung serta dipertegas oleh berbagai eksperimen atau pun pengalaman berabad-abad umat manusia. Ketika petaka dan bahaya memiliki nilai bahaya yang relative besar, maka prinsip yang telah disebutkan di atas semakin pasti dan nampak lebih jelas. Pada kondisi seperti ini, probabilitas petaka dan bahaya juga cukup untuk mengajak dan memotifasi manusia mencari solusi dan mencari bagaimana supaya bisa terhindar dari itu.

Di sisi lain, di sepanjang sejarah muncul pula manusia-manusia unggul dan suci yang disebut sebagai para nabi dan pemimpin-pemimpin langitan yang telah banyak menyampaikan mengenai keberadaan Tuhan, hokum dan aturan-aturan Ilahi, balasan pahala dan siksa api neraka, dan mereka mengajak umat manusia untuk mempercayai serta mengimani ajaran-ajaran suci ini dan mereka sendiri sangat konsisten dengan ajaran-ajaran yang mereka bawa dari sisi Allah Swt. Tak syak lagi, kalaupun dari perkataan atau perbuatan mereka tidak bisa melahirkan sebuah konklusi yang membuktikan keberadaan Tuhan, agama dan aturan Ilahi, akan tetapi kemungkinan adanya hal itu bisa menjadi realistis. Sangat jelas ketika kemungkinan seperti ini benar, maka pengabaian terhadap hal ini akan menjadi sumber petaka yang jauh lebih besar dan akan menjadi derita batin yang menyedihkan. Dengan demikian, berdasarkan pengakuan akal dan fitrah, tidak semestinya memandang enteng dan meremehkan kemungkinan-kemungkinan seperti ini akan tetapi hal itu harus dibahas dan dijadikan bahan kajian.

Oleh karena itu, pembahasan serta adanya kajian tentang eksistensi Tuhan dan adanya agama samawi menjadi niscaya dan mesti. Muhakkik Bahrani, terkait dengan masalah ini, mengatakan:

"mencegah atau pengambilan langkah preventif terhadap adanya petaka yang sifatnya belum pasti (zanni) yang mana muncul karena ketidaksadaran akan ma'rifatullah (mengenal Allah), merupakan hal yang mesti dan wajib menurut akal sehat, dan adanya kewajiban mencegah petaka seperti ini memiliki konsekuensi logis akan keniscayaan mengenal Allah Swt."(Ibnu Maitsam Bahrani, Qawaidul Maram Fii 'Ilmil Kalam, hal. 28).


2. Kemestian berterima kasih kepada pemberi nikmat
Logisnya bahwa berterima kasih kepada siapa yang menganugerahi nikmat kepada manusia, merupakan sebuah perbuatan yang banyak mengandung nilai-nilai positif dan sebuah keharusan dan meninggalkan hal ini adalah hal yang sangat tidak terpuji dan bahkan tercela. Dari dimensi lain, manusia dalam menjalani kehidupan duniawinya begitu telah banyak menggunakan dan memanfaatkan ribuan nikmat, kendati ada kemungkinan bahwa pemberi nikmat-nikmat ini tidak ada akan tetapi tidak menutup kemungkinan pula adanya sang pemberi nikmat. Oleh karena itu, menjadi sebuah keharusan untuk menyeriusi kemungkinan ini, dan harus dibahas tentang ada atau tidak adanya sang pemberi nikmat ini, sehingga nantinya ketika betul-betul ada maka kita akan bersyukur serta berterima kasih kepadanya.

Muhakkik Bahrami, terkait dengan masalah ini, menyatakan:"manusia yang berakal ketika memikirkan penciptaan dirinya, maka ia akan menemukan tanda-tanda berbagai nikmat dan sungguh akan mengikrarkan dalam pikirannya kewajiban berterima kasih kepada sang pemberi nikmat tersebut, jadi semestinyalah berterima kasih, dan mengetahuinya itu menjadi hal yang wajib." (Ibnu Maitsam Bahrani, Qawaidul Maram Fii 'Ilmil Kalam, hal. 29).


3. Fitrah mencari dan mengenal penyebab
Perasaan ingin tahu merupakan salah satu unsur diri manusia yang paling kuat, mencari tahu penyebab berbagai peristiwa dan kejadian yang terjadi merupakan salah satu bentuk ejawantah dari unsur fitrah ini. Berdasarkan fitrah ini, manusia senantiasa mempertanyakan penyebab-penyebab munculnya berbagai peristiwa dan kejadian. Unsur fitrah ini juga memotifasi manusia untuk mencari tahu tentang penyebab berbagai peristiwa yang ada hubungannya dengan wujud. Apakah peristiwa-peristiwa yang ada hubungannya dengan wujud juga memiliki penyebab-penyebab metafisik, sebagaimana halnya peristiwa-peristiwa alami atau pun non-alami yang memiliki berbagai macam penyebab itu?

Berdasarkan hal ini, kajian atau pembahasan mengenai keberadaan sang Pencipta alam merupakan sebuah jawaban untuk memenuhi tuntutan atau pun keinginan sense fitrah manusia, yaitu fitrah mencari dan mengenal penyebab.

Terkait dengan hal ini, Allamah Thabathabai mengakatan bahwa:"kalaupun kita menganggap bahwa pembuktian tema ini bukanlah fitrah manusia (kendati hal ini memang adalah fitrah), namun pada dasarnya pembahasan tentang pencipta alam adalah fitrah, karena manusia melihat alam ini dalam kondisi menyatu dan menyaksikannya dalam bentuk sebuah kesatuan dan ingin mengetahui apakah kecenderungan fitrahnya yang telah membuktikan tentang adanya penyebab bagi berbagai peristiwa dan kejadian alam, juga bisa menjadi bukti adanya komponen alam?(Ushul-e Falsafeh wa rawesy-e Realism, jilid 5, hal. 4).


Fungsi dan Manfaat Mengenal Allah Swt
Untuk menjawab pertanyaan kedua perlu diperhatikan bahwa:

Pertama: ketika sebuah bahasan atau kajian yang berkisar pada masalah-masalah yang sifatnya logis dan fitrah, maka bertanya tentang manfaat dan fungsinya itu tidaklah dianggap wajar karena bahasan semacam ini pada dasarnya memiliki nilai manfaat. Manusia hidup di sebuah alam yang ia sendiri tidak tahu menahu tentang awal, akhir dan sumber keberadaannya. Tentunya dengan kondisi ini, manusia ingin tahu tentang awal, akhir dan sumber tersebut dan keingintahuan ini - tanpa melihat manfaat yang lain - merupakan sesuatu yang sangat positif. Bukanlah sebuah kemestiaan bahwa setiap permasalahan ilmiah dan teoritis memiliki manfaat dan fungsi ilmiah.

Kedua: keyakinan dan percaya pada Allah Swt merupakan hal yang paling urgen dan bermanfaat serta yang paling mesti bagi keyakinan-keyakinan manusia dalam kehidupannya. Keyakinan dan kepercayaan kepada Allah Swt dilihat dari dampaknya pada per individu, bisa membawa ketenangan jiwa dan psikis dan dapat membangun akhlak dan moral yang utama, dan dari dimensi sosial ia bisa menjadi jaminan kemampuan hukum serta terpeliharanya hak-hak setiap individu antara satu dengan yang lainnya. (Ushul-e Falsafeh wa rawesy-e Realism, jilid 5, hal. 4).


Ma'rifatullah; puncak segala pengetahuan
Di akhir tulisan ini kita akan mencoba menukilkan beberapa untaian hikmah dari para Imam Ma'shum as yang ada kaitannya dengan Ma'rifatullah; puncak dari segala pengetahuan.

1. Suatu hari seseorang datang kepada Rasulullah saw dan meminta beliau saw untuk menceritakan tentang keunggulan-keunggulan ilmu (gharaibul 'ilm) kepadanya. Nabi saw bertanya kepada orang tersebut: punya pengetahuan apa anda tentang puncak segala pengetahuan, sampai-sampai kamu mempertanyakan tentang keunggulan-keunggulannya? Orang tersebut balik bertanya: apa puncak dari segala pengetahuan itu? Nabi saw menjawab: mengenal Allah Swt sebagaimana mestinya.(Syekh Shaduq, al Tauhid, bab 40, hadits 5).

2. Terkait dengan kedudukan Ma'rifatullah, Imam Ali as bersabda:"ma'rifatullah adalah setinggi-tingginya pengetahuan"(ghurar wa durar, hal 81).

3. Imam Shadiq as bersabda:"sesungguhnya paling utama kewajiban bagi manusia adalah ma'rifatullah dan pengakuan atasnya dengan bukti penghambaan."(www.alhassanain.com)