Bimbingan Manusia Sempurna; Perlukah?



Oleh: el-Hurr

Kita dapat mengatakan bahwa yang mendasari manusia mencari manusia sempurna adalah keinginan manusia itu sendiri terhadap kesempurnaan, keterbatasan pencarian, dan adanya kesamaan dengan Tuhan atau untuk menghindarkan diri dari kelemahan dirinya.
- Dr. Mohsen Miri-[1]

Manusia dalam kefitrahannya, selalu dalam keabadian pencarian dan perjalanannya menuju kesempurnaan. Cinta kepada imortalitas ini selanjutnya mengantar manusia untuk menjauhi segala keburukan, kesedihan, mengejar kebahagiaan, kesenangan bahkan keabadiaan. Dari semua mahluk, manusia dengan seluruh kelebihan penciptaannya, adalah satu-satunya mahluk yang secara potensial dapat bergerak dari keadaan ke keadaan yang lain. Dengan kekuatan ikhtiarinya manusia mampu menciptakan dirinya menjadi yang paling sempurna, dengan daya kreatifitasnya manusia mampu merubah dirinya dalam bentuk dan keadaan apapun yang dia kehendaki. Di samping kemampuan-kemampuan internal manusia di atas, timbul pertanyaan; masih perlukah manusia kepada bimbingan eksternal untuk dapat mencapai cita-cita kebahagiaannya? Masih butuhkan manusia dengan akalnya yang ada kepada bimbingan agama dan orang-orang sempurna (baca: Nabi) untuk sampai kepada kebahagiaan yang abadi?


SIAPAKAH MANUSIA SEMPURNA ITU?

Berbicara tentang manusia sempurna dan karakteristik-karakteristikna, secara bersamaan harus nembicarakan sejumlah system budaya, tradisi, agama, dan filsafat klasik dengan segala perbedaan latar belakang budaya dan pemikiran yang melingkupinya.

Kita hanya akan membatasi pembahasan tentang the perfect man ini dalam pandangan agama-agama untuk selanjutnya lebih memfokuskan pembahan pertofik terutama menurut pandangan agama Islam.

Dalam adama Yahudi, Adam dianggap sebagai manusia sempurna. Menurut perjanjian lama, Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan bentuk wajah-Nya, sehingga dengan demikian, ia akan mengatur seluruh mahluk yang ada di bumi dan karenanya pula ia diakui sebagai maha mulia dan agung.

Dalam agama Zoroaster dan kitan sucinya Avesta, orang yang paling sempurna adalah Sushiant (orang yang bermamfaat). Misi utama dari para Shusiant adalah agar orang lain dapat keluar dari kelalaian dan perbuatan
baik.

Dalam agama Kristen, menurut perjanjian baru, Adam dan Yesus dianggap sebagai anak-anak Allah,. Apapun maksudnya, yang pasti ada kesamaan antara Allah dengan kedua orang tersebut. Pada satu sisi Yesus mensucikan manusia dari dosa yang telah dilakukan oleh Adam sehingga ia rela untuk disalib dan oleh karena itu pula ia disebut sebagai manusia pembebas.

Dalam agama Islam, manusia sempurna itu adalah para Nabi dan orang-orang mendapat bimbingan langsung dari Allah dan Nabinya. Ada banyak Nabi, menurut Islam, yang menjadi manusia-manusia messenger Tuhan yang diutus kepada umat yang berbeda sesuai dengan kapasitas ilmu dan pemahaman umat yang menjadi menjadi objek ajarannya.

Nabi-nabi tersebut dari Adam dan terakhir secreet mission ini berakhir pada Nabi yang diutus untuk agama yang terakhir untuk umat yang terakhir, Muhammad Bin Abdullah saww.


DEFINISI DAN KARAKTERISTIK NABI

Nabiy berasal dari bahasa Arab yang artinya messenger (utusan) atau prophet (pembawa berita), sedangkan kata bahasa Arab Rarsul berarti empoy (duta). Nabi menyampaikan pesan Tuhan kepada manusia, membangkitkan dan mengorganisasikan kekuatan mereka, menyeru mereka kepada Tuhan dan kehendak-Nya, yang berarti kedamaian, pembaharuan, kemerdekaan dari segala sesuatu selain Tuhan, kebenaran, kejujuran, kasih sayang, keadilan dan lain-lain. Para Nabi datang untuk memutuskan belenggu yang mengikat manusia dari nafsu-nafsu badani, berhala-berhala dan tuhan-tuhan palsu.

Iqbal Lahore menjelaskan perbedaan antara Nabi dan seorang pencari Tuhan (gnostics) yang tidak mempunyai misi kenabian dan yang disebut oleh Iqbal: mistikus (mistics).

Mistikus tidak ingin kembali dari ketenangan pengalaman "bersatu" dengan Tuhan. Kalaupun dia kembali, seperti yang seharusnya, maka kekembaliannya itu tidak berarti banyak bagi umat manusia pada umumnya. Sebaliknya, kembalinya seorang Nabi dari pengalaman seperti itu, bersifat kreatif.

Mereka (para Nabi) kembali untuk terjun dalam arus waktu dengan niat untuk mengendalikan kekuatan-kekuatan sejarah dan menciptakan dunia baru yang ideal. Bagi sang mistikus, ketenangan pengalaman "bersatu" dengan Tuhan adalah tujuan; bagi Nabi, ia adalah pembangkit kekuatan-kekuatan, yang dipersiapkan untuk mengubah sepenuhnya dunia manusia.[2]

Konsekwensinya, memimpin manusia, mengeloloa dan menggerakkan kekuatan-kekuatan manusia (masyarakat) ke arah kehendak Tuhan dan demi kebaikan umat manusia, adalah bagian yang tak terpisahkan dari kenabian.


KARAKTERISTIK YANG LAIN

Beberapa karakteristik Nabi yang lain bisa di ringkas sebagai berikut:


A. Keterjagaan dari dosa dan kekeliruan

Manusia adalah mahluk merdeka yang memilih tindakan-tindakannya sesuai dengan kemampuannya untuk membedakan mamfaat dan kerugian sesuatu tindakan. Itu sebabnya kemampuan pembeda, memainkanperanan penting dalam memilih tindakan yang dipandangnya tidak berguna atau bahkan merugikan. Seorang yang bijak, tidak akan dengan sengaja melemparkan dirinya dari puncak gunung atau meminum racun.

Umat manusia berbeda dalam hal keimanan dan kesadaran mereka akan akibat dosa. Semakin kuat iman dan kesadaran mereka akan akibat dosa, semakin kurang kemungkinan mereka berbuat dosa. Jika derajat keimanan telah mencapai tingkat intuitif dan pandangan batin sehingga manusia yang bersangkutan mampu menghayati persamaan antara melakukan dosa dengan melemparkan diri dari puncak gunung atau meminum racun, maka kemungkinan untuk melakukan dosa pada diri manusia yang bersangkutan akan menjadi nol. Artinya, dia akan menghindari dosa. Kondisi kesadaran sepert itu disebut "keterjagaan atau keterbebasan dari dosa", yang dihasilkan oleh iman yang sempurna dan intensitas dalam menjaga diri dari dosa atau kejahatan.


B. Keterjagaan dari kekeliruan

Kekeliruan terjadi karena manusia berhubungan dengan realitas melalui indera internal atau pun eksternalnya. Dia menciptakan gambaran-gambaran mental dalam pikirannya, yang kemudian dianalisisnya, digabungkannya dan diubahnya dengan bantuan nalarnya.kadang-kadang suatu kekeliruan terjad ketika seseorang mengatur dan menggunakan gambaran-gambaran tersebut untuk memahami realitas eksternal. Tetapi manakala manusia dihadapkan langsung dengan realitas objektif oleh suatu indera khusus, yakni jika pemahaman akan realitas tersebut sama dengan hubungan yang langsung dengannya tanpa perlu menggunakan gambaran-gambaran mental, maka tidak akan ada kemungkinan untuk melakukan kekeliruan.

Para Nabi dihubungkan dengan realitas wujud dari dalam diri mereka sendiri. Mereka tidak mungkin melakukan kekeliruan karena mereka berada dalam konteks realitas. Manusia-manusia, yang karena kesadaran mereka, berada dalam konteks alur realitas dan juga dihubungkan dengan asal muasal wujud, adalah bebas dari kekeliruan apa pun.


C. Kepemimpinan dan ketulusan niat

Mesipun kenabian bermula dengan kesadaran ruhani, memperoleh kedekatan dengan Dzat-Nya, dan memutuskan hubungan dengan orang banyak dan cara-cara hidup mereka, yang mengharuskan alienasi dari dunia luar dan memberikan perhatian kepada dunia "dalam", namun pada last mission kenabian berujung pada langkah kembali kepada masyarakat dan dunia luar untuk mengorganisasi dan memimpin kehidupan masyarakar pada jalan yang benar.

Para Nabi, karena mereka memperoleh dukungan Ilahi, secara ekstrim bersifat dedikatif dalam misi mereka. Mereka tidak mempunyai niat atau tujuan lain daripada membimbing masyarakat, yang merupakan kehendak Tuhan. Karena Nabi-nabi tersebut menyadari bahwa mereka ditunjuk oleh Tuhan dan tidak merasa ragu-ragu akan misi mereka, perlunya misi tersebut dan keberhasilannya, maka mereka menyampaikan dan mempertahankan misi mereka itu dengan tekad final sedemikian rupa yang tak ada bandingannya dalams ejarah perjuangan manusia.

Musa, putra Imran, dengan saudaranya Harun, dengan mengenakan pakaian kulit binatang dan membawa tongkat kayu, pergi menemui Fir'aun. Cuma itu senjata lahiriah mereka.

Mereka mengajak Fir'aun untuk menerima seruan agama mereka, dan megatakan dengan tegas tanpa bisa ditar lagi bahwa jika tidak mau menerima ajakan tersebut, kekuasaannya pasti akan runtuh. Tetapi jika dia mau menerima ajakan tersebut dan memasuki jalan yang mereka tunjukkan, maka kekuasaan dan kehormatan akan dijamin. Fir'aun berkata dengan heran "Lihatlah kedua orang ini, yang berbicara terntang jaminan kehormatanku dengan syarat aku mau mengikuti mereka, atau kalau tidak, mereka akan menghancurkan kekuasaanku!"[3]

Pada tahun-tahun awal misi kenabiannnya, ketika jumlah orang-orang muslim masih bisa dihitung dengan jari, Muhammad bin Abdullah (Nabi terakhir yang diutus untuk membawa agama Islam) mengumpulkan pemimpin-pemimpin bani Hasyim dalam suatu pertemuan yang dicatat dalam sejaran sebagai hari peringatan (yaum al-indzar). Ia menyampaikan misinya kepada mereka dan memberitahukan dengan tegas dab terus terang bahwa agama yang dibawanya akan mencakup seluruh dunia, dan bahwa kebahagiaan mereka terletak pada penerimaan mereka atas ajakannya. Kata-kata yang dikatakannya itu demikian serius dan sukar dipercaya sehingga mereka saling pandang satu sama lain dengan tercengang. Mereka tidak memberikan komentar apapun dan bubar.

Ketika Abu Thalib, pama Nabi, menyampaikan permintaan orang-orang Quraisy kepadanya, yang mengatakan bahwa jika ia bersedia berhenti menyampaikan pesan-pesannya, mereka bersedia mengangkatnya sebagai raja, menyerahkan puteri mereka yang paling cantik untuk menjadi istrinya, dan menjadikannya orang yang terkaya di antara suku mereka, ia menjawab "Demi Allah, aku bersumpah, meskipun mereka meletakkan matahari di telapak tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan menghentikan misiku." Ya, sebagaimana keterbebasan dari dosa dan kekeliruan dalam memimpin umat manusia adalah karakteristik Nabi-nabi, maka memperoleh wahyu dan hubungan dengan Tuhan, ketulusan, dan ketegasan, adalah karakteristik-karakteristik mereka yang lain.


D. Konstruktifitas

Para Nabi memberikan energi kepada kekuatan-kekuatan masyarakat dan mengorentasikan mereka agar melatih individu-individu dan membimbingnya, dan membangun masyarakat manusia. Dengan kata lain, Nabi-nabi itu membimbng mereka menuju kesejahteraan manusia. Seorang Nabi tidak akan mungkin bekerja untuk menghancurkan individu-individu atau pun merusak masyarakat. Jika hasil dari klaim kenabiannya adalah keruntuhan manusia dan lumpuhnya kemampuan-kemampuannya, atau meluasnya ketidak-senonohan dan pelacuran, maka jelas bahwa nabi tersebut adalah palsu dan munafik.

Iqbal Lahore, mengemukan pernyataan yang berharga mengenai hal ini "Karenanya, cara lain untuk menilai pengalaman keagamaan seorang Nabi (kebenaran misi mau pun realitas hubungan batinnya denga Tuhan) adalah dengan melihat macam masyarakat yang diciptakannya dan dunia budaya yang tumbuh dari semangat pesannya."[4]


E. Konflik, perjuangan dan aspek manusiawi

Tanda lain dariketulusan seorang Nabi dalam klaimnya adalah bahwa ia berjuang menentang politheisme, tahyul, kebodohan, kepalsuan, penindasan, kekejaman, dan ketidak adilan. Seorang Nabi sejati tidak mungkin membawa risalah yang berbau politheisme, membantu seorang penindas, mengukuhkan kekejaman dan ketidakadilan, berdiam diri dan tidak memerangi politheisme, kebodohan, tahyul dan kekejaman.

Monoteisme (tauhid), kebijaksanaan dan keadilan adalah prinsip-prinsip dakwah setiap nabi. Hanya ajakan mereka yang mengikuti jalan inilah yang layak dipertimbangkan dan dipertanyakan. Artinya, ajakan seorang individu tidaklah mempunyai nilai ajakan tersebut mengandung sesuatu yang bertentangan dengan monoteisme dankeadilan dan dengan kenyataan-kenyataan yang telah diterima kebenarannya, atau menguatkan kekejaman.

Jadi, jika seseorang mengaku sebagai Nabi membuat kekeliruan atau memperbuat dosa, atau tidak punya kemampuan untuk memimpin manusia, meskipun ketidak mampuan tersebut bersumber dari catat fisik atau penyakit yang menjijikkan, atau jika misinya tidak berada pada jalan konstruktivitas manusia, maka risalah yang dibawanya tidak berharga untuk dimintai bukti dan mukjizat. Jadi kebijaksanaan tidak mengijinkan orang untuk mengikuti orang seperti itu, meskipun dia menyuguhkan banyak mukjizat.


PERAN NABI-NABI DALAM SEJARAH

Apakah Nabi-nabi memainkan peran yang positif ataukah negative dalam alur sejarah, ataukah mereka tidak memainkan peran sama sekali?

Tidak seorang pun, termasuk mereka yang menentang agama, yang dapat mengingkari kenyataan bahwa Nabi-nabi telah memainkan peran yang penting dan pengaruh dalam sejarah.

Pada masa lalu, Nabi-nabi merupakan manifestasi dari kekuatan yang melawan dengan kekuatan-kekuatan kekayaan dan penindasan, menjadi kekuatan yang berhadapan dengan semangat rasisme. Para Nabi telah menjadi wakil-wakil para tertindas, termiskiskan dan tersingkir dari hak-hak berkehidupan yang sama. Tidak ada keraguan bahwa para Nabi, dengan bantuan dan dukungan agama, telah memegang kekuasaan yang besar. Yang dipertanyakan adalah penggunaan kekuasaan tersebut, berbagai pendapat telah dilontarkan tentang hal ini.

Satu kelompok, dengan menggunakan premis yang sederhana, dalam tulisan-tulisan mereka menyatakan bahwa Nabi-nabi telah memainkan peran negative. Yakni pandangan Nabi-nabi tersebut telah bersifat spiritual semata-mata dan non duniawi. Inti ajaran Nabi adalah menjauhi dunia, mencurahkan perhatian pada akhirat, cenderung kepada subjektivitas dan meninggalkan objektivitas. Kekuatan agama, dengan Nabi-nabi sebagai manifestasinya, selamanya telah digunakan untuk melemahkan semangat hidup manusia dan mengerem perkembangan manusia.

Kelompok yang lain, berlawanan dengan kelompok yang pertama, mereka yakin bahwa Nabi-nabi mempunyai kecenderungan-kecenderungan duniawi, dan bahwa kecendrungan spritualmereka hanyalah suatu kedok untuk menutupi kecondongan duniawi mereka. Mereka mengklaim bahwa keduniaan para Nabi ini selalu mempertahankan status quo bagi kepentingan kelas penguasa dan menindas kepentingan kaum tertindas, dan bahwa kehidupan duniawi tersebut selamanya telah memerangi evolusi gradual masyarakat. Mereka mengklaim bahwa sejarah, seperti halnya fenomena-fenomena yang lain, mempunyai gerakan dialektis, yaitu gerakan yang ditimbulkan oleh konflik-konflik internal.

Segera setelah pemilikan terwujud di dunia, masyarakat terbagi dalam dua kelas bermusuhan. Kelas yang satu adalah kelas penguasa yang memeras, dan yang lain adalah kelas yang terampas dan terperas. Kelas yang berkuasa selalu mendukung dan menjadi status quo demi mempertahankan hak-hak istimewa mereka. Meskipun alat-alat produksi telah ditingkatkan dan dipercanggih, kelas penguasa menginginkan masyarakat tetap seperti apa adanya, tidak berubah. Dengan adanya peningkatan alat-alat produksi, kelas yang terampas hak-haknya itu ingin menjungkir balikkan status quo dan menggantinya dengan susunan masyarakat yang lebih lengkap. Kelas yang berkuasa memainkan perannya dalam tiga bentuk yang berbeda: agama, pemerintah dan kekayaan. Dengan kata lain, peran tersebutselamanya telah merupakan factor dalam penipuan, factor dalam penumpukan kekayaan, dan factor dalam penindasan.

Peran Nabi-nabi adalah untuk menipu masyarakat demi keuntungan kelas penindas dan pemeras. Kepedulian Nabi-nabi terhadap akhirat tidaklah riil, tetapi hanya muslihat untuk menutupi keduniawian mereka demi untuk menguasai kesadaran kelas masyarakat yang terampas hak-haknya dan revolusioner.

Jadi peran Nabi-nabi dalam sejarah selamanya adalah peran negatife karena peran tersebut adalah menunjang kelas konservatif untuk memelihara sisuasi seperti apa adanya demi untuk kepentingan pera pemilik kekayaan dan kekuasaan.

Inilah penjelasan Marx mengenai sejarah. Dari sudut pandang Marxisme, ketiga factor, yaitu agama, pemerintahan dan kekayaan, yang menyertai prinsip kepemilikan, telah menindas massa rakyat sepanjang sejarah.

Beberapa pemikir menafsirkan sejarah dengan cara yang berbeda dan bertentangan dengan pandangan di atas, meskipun mereka juga meyakini bahwa agama dan wakilwakilnya, yaitu Nbai-nabi, adlah negative. Mereka menyatkan bahwa hukum evolusi alam dan sejarah didasarkan pada memperkuat yang kuat dan memperlemah yang lemah. Pihak yang kuat merupakan factor penunjang kemajuan dalam sejarah, dan pihak yang lemah selamanya dan selalu merupakan faktor kemunduran. Agama merupakan barang ciptaan kaum yang lemah, yang dimaksudkan untuk menjadi rem bagi kemajuan pihak yang kuat.

Para Nabi menciptakan konsep-konsep seperti keadilan, kemerdekaan, kebenaran, kejujuran dan persamaan, kasih sayang dan sebagainya. Keonsep-konsep ini, dengan kata lain, yang merupakan bagian dari "moralitas budak", adalah dimaksudkan untuk memberikan keuntungan bagi kelas masyarakat yang rusak dan anti evplusi, menimbulkan kerugian bagi kelas yang kuat dan progresif yang merupakan penunjang evolusi. Faktor-faktor kemajuan dan pengaruh terhadap kesadaran pihak yang kuat menghalangu pemusnahan dan pelenyapan pihak yang lemah dan sebagai hasilnya, ras manusia terus menjadi baik, dan manusia-manusia unggul diciptakan. Jadi peran agama dan Nabi-nabi merupakan peran yang negative karena dukungannya kepada "moralitas budak" dan mennetang "moralitas bangsawan" yang merupakan faktor dalamkemajuan masyarakat dan sejarah. Filsof materialis Jerman, Nietzche, adalah penyokong tesis ini.

Di samping kelompok-kelompok di atas, kelompok lain meyakini bahwa peran Nabi-nabi di masa lampau memiliki peran positif, bermanfaat dan sejarah dengan perkembangan sejarah.

Kelompok-kelompok ini, si datu pihak telah memberika perhatian kepada konteks moral dan sosial dari ajaran para Nabi dan di lain pihak mereka juga memperhatikan kenyataan-kenyataan objektif sejarah, dan menyimpulkan bahwa Nabi-nabi telah memainkan persan yang paling mendasar dalam perkembangan dan pembaharuan masyarakat.

Peradaban mempunyai dua aspek: materil dan spiritual. Aspek materil peradaban berkaitan dengan sisi teknologi dan industrinya yang telah berkembang sedikit demi sedikit hingga sekarang. Aspek peradaban berkaitan dengan hubungan antar manusia di masyarakat. Aspek ini berhutang budi pada ajaran Nabi-nabi. Karena adanya aspek ini, maka sisi material pedaban manusia bisa maju. Jadi, para Nabi memainkan peran langsung dalam penyempurnaan gradual aspek spiritual peradaban dan peran tak langsung dalam sisi materialnya.

Di antara peran-peran para Nabi di masa lampau, beberapa kasus kadang-kadang ditemukan di masa manusia bebas dari dukungan agama karena kemajuan yang dicapai dalam kesadaran sosial umat manusia. Namun peran-peran yang paling mendasar dari agama adalah perannya di masa lampau dan di masa yang akan datang. Will Durant dalam lecture on history mengakui kenyataan bahwa "….Agama dengan bantuan nilai-nilai tradisionalnya, mengubah janji-janji manusia menjadi hubungan-hubungan yang saling menghormati antara manusia dan Tuhan, yang menghasilkan kekokohan dan stabilitas. Sedang Herbert Spencer berkata "Banyak yang sebelumnya yang tidak diketahui oleh manusia pada alam. Agama kemudian muncul dengan membawa simbol-simbol yang dengan itu kemudia melahirkan kemajuan yang luar biasa.[5]

Akhirnya, peran paling mendasar dari para Nabi adalah berjuang menentang keditaktatoran, penindasan, dan memerangi yang memberontak terhadap perintah-perintah Tuhan. Islam mengungkap tujuan utama peran Nabi dalam kitab sucinya, Al-Qur'an: pertama; menegakkan keaddilan telah dinyatakan sebagai tujuan kenabian. Kedua; pertentangn antara Nabi-nabi dengan wakil-wakil despotisme berulangkali disitir, dalam beberapa ayat al-Qur'an dinyatakan secara khusus bahwa kelas despotic selamanya menentang Nabi-nabi.

Pernyataan Marx dan pengikut-pengikutnya yang mengatakan bahwa agama, pemerintahan dan kekayaan adalah tiga wajah dari kelas penguasa yang menentang kelas tertindas, adalah pernyataan absurd yang dibantah oleh kenyataan sejarah yang tak terbahkan. Hanya ada satu jalan untuk menerima justifikasi-justifikasi dan filsafat-filsafat sejarah seperti itu, yaitu dengan menutup mata dan mengabaikan kenyataan-kenyataan sejarah.

Imam Ali, adalah pahlawan pemegang tasbih sekaligus pedang. Tetapi kelas masyarakat mana yang ingin ditundukkannya? Kelas tertindas dan terampas, ataukah kelas penguasa dan pendominasi? Apa semboyan beliau? Semboyan beliau adalah: "Jadilah musuh orang yang zalim dan teman kaum tertindas."[6] Ini beliau ucapkan setelah di tebas dengan pedang oleh Ibnu Muljam hingga luka parah dan menyebabkan kesyahidannya. Sepanjang masa hidupnya, Ali selalu dekat dengan dengan pedang dan tasbih, dan menjauhi kemewahan. Pedangnya digunakan terhadap para pemilik kemewahan dan keangkara-murkaan. "Imam Ali, pahlawan keadilan yang terbunuh karena keadilannya"[7] demikianlah George Jordac merangkai kalimat terakhir dalam bukunya untuk melukiskan kemuliaan dan konsistensi perjuangan keagamaan Imam Ali. Ali, dengan karakternya, telah membantah filsafat Marx.

Bila kesalahan pendapat Marx dapat dirangkum dalam tiga point; bahwa dia telah menerangkan sejarah semata-mata atas dasar pertentangan kelas dan mengabaikan aspek kemanusian dalam sejarah. Kesalahannya yang kedua adalah bahwa dia menganggap kelas tertindas sebagai satu-satunya faktor perkembangan. Kesalahannya yang ketiga adalah memasukan Nabi dalam kelas penguasa, maka Neitzche bahkan memiliki hipotesa yang lebih absurd lagi dari ini.

Neitzche meyakini bahwa kaum yang kuatlah satu-satunya kelas masyarakat yang maju, dan agama, dengan mendukung kaum yang lemah, telah menjadi sarana kerusakan dan anti perkembangan. Seolah-olah hanya juka hukum rimba berkuasa sajalah masyarakat manusia akan bergerak dengan cepat menuju kesempurnaan, "Agama adalah temuan kaum lemah dan terampas". Demikian kata Neitzche.

Kesalahan Neitzche adalah bahwa dia telah memandang faktor kekuatan sebagai faktor perkembangan dalam sejarah. Artinya, manusia unggul adalah manusia yang paling kuat, dan manusia yang terkuat adalah satu-satunya penyebab kemajuan dalam sejarah.


DARI PENEGAKAN KEADILAN SAMPAI MENGESAKAN TUHAN

Sejauh ini, peran Nabi-nabi dalam perkembangan sejarah telah diulas. Sekarang timbul pertanyaan-pertanyaan lain: apakah tujuan sesungguhnya dari misi para Nabi? Apakah pesan akhir para Nabi?

Dapat dikatakan bahwa tujuan sebenarnya dari misi para Nabi adalah membimbing masyarakat dan memberikan kepada mereka kebahagiaan, , para Nabi adalah keselamatan, kebaikan dan kesejahteraan.

Tak ada keraguan lagi bahwa Nabi-nabi telah ditunjuk untuk membimbing masyarakat kea rah jalan yang benar, dan memberikan kepada mereka kebahagiaan dan kemerdekaan. Pertanyaannya adalah, kemana tujuan jalan yang benar tersebut? Di mana kebahagiaan masyarakat terletak dalam perspektif aliran ini? Perbudakan macam apa yang ingin diperangi? Menurut aliran pemikiran ini, di mana letak kebahagiaan dan keselamatan akhir manusia?

Al-Qur'an, menyitir masalah ini dalam dua konsep tujuan akhir dari misi para Nabi. Kedua konsep tersebut adalah: 1). Pengakuan terhadap Tuhan dan pendekatan diri kepada-Nya, 2). Menegakkan keadilan dan kesederajatan dalam masyarakat manusia. Semua ajaran para Nabi merupakan semacam perkenalan kepada dua konsep ini.

Mengajak manusia kepada Tuhan, mengenal-Nya dan mendekatkan dir kepada-Nya, adalah monoteisme teoritis dan monoteisme praktis yang bersifat sosial. Sekarang, orang bisa bertanya, apakah tujuan sebenarnya dari diutusnya para Nabi adalah untuk memperkenalkan Tuhan dan mengajak menyembah kepada-Nya, dan apakah segala sesuatu yang lain, termasuk menegakkan keadilan dan kesederajatan, sementara mengenal Tuhan dan menyembah-Nya hanyalah pendahuluan dan sarana untuk merealisasikan ideology seperti itu?

Apakah kita mau berbicara seperti yang kita lakukan sebelumnya, maka pertanyaan tersebut mesti dikemukakan sebagai berikut: apakah tujuan sesungguhnya (dari misi kenabian) adalah monoteisme teoritis dan praktis yang bersifat individual, ataukah menotheisme praktis yang bersifat sosial? Beberapa pendapat bisa dikemukakan di sini.

Pertama, Nabi-nabi mempunyai tujuan ganda, artinya, mereka mempunyai dua tujuan yang berdiri sendiri. Salah satu di antaranya adlah berkaitan dengan kehidupan dan kebahagiaan di akhirat (monoteisme teoritis dan monoteisme praktis individual). Tujuan yang lain berkaitan dengan kebahagiaan duniawi (monoteisme sosial).

Di satu pihak, para Nabi memiliki kepedulian sosial karena kebahagiaan duniawi manusia, dan di lain pihak mereka memiliki kepedulian terhadap monoteisme teoritis dan monoteisme individual praktis yang hanya bersifat spritual dan subjektif, demi mempersiapkan keahagian manusia di akhirat.

Kedua, tujuan sesungguhnya dari misi kenabian adalah monoteisme sosial dan prasyarat utamanya adalah monoteisme teoritis dan monoteisme praktis dan individual. Monoteisme teoritis bergantung pada pengenalan pada Tuhan. Tidak perlu bagi seorang manusia, dlaam batas-batas fitrahnya, untuk mengenal atau tidak mengenal Tuhan, untuk menjadikan Tuhan atau apa saja yang lain sebagai satu-satunya faktor pendorong jiwanya. Sebab, tidaklah ada bedanya bagi Tuhan apakah Dia dikenal atau tidak dan atau disembah atau tidak oleh manusia. Tetapi, karena kesempurnaan manusia terletak pada mengubah diri dari "aku" menjadi "kita" dalam monoteisme sosial, yang tidak bisa dicapai tanpa monoteisme teoritis dan monoteisme praktis individual, maka Tuhan telah menjadikan pengenalan dan penyembahan kepada-Nya sebagai prasyarat bagi tegaknya monoteisme sosial.

Ketiga, tujuan yang sebenarnya dari misi kenabian adlah agar menusia mengenal Tuhan dan mendekatkan diri kepada-Nya. Dengan demikian monoteisme sosial menjadi prasyarat dan sarana untuk mencapai tujuan yang luhur ini.

Sebab, sebagaimana disebutkan sebelumnyam dalam pandangan sunia monoteiktik, dunia memiliki sifat "berasal dari-Nya" dan "kembali kepada-Nya". Jadi kesempurnaan manusia terletak pada tindakan manusia menuju kepada Tuhan dan mendekatkan diri kepada-Nya. Manusia memiliki privilese khusus, yaitu bahwa realitas berakar pada Tuhan dan fitrahnya adalah mencari Tuhan.[8]

Sejarah panjang perjalan manusia telah menulis pasang surutnya sistem pemikiran dan ideologi manusia. Agama dan ideology-ideologi langit pun secara beragam dan kondisional diturunkan untuk membimbing manusia untuk sampai pada kesempurnaan ideal. Meskipun para Nabi membawa pesan yang berbeda-beda kecilpembawa pesan yang satu dan sama. Aliran pemikiran ini disuguhkan secara gradual sesuai dengan kemampuan umat manusia, sampai mereka mencapai titik perkembangan di mana aliran pemikiran ini bisa disuguhkan dalam bentuknya yang lengkap dan sempurna. Ketika itulah kenabian berakhir. Dalam sejarah agama-agama langit, versi terakhir dari aliran pemikiran tersebut disuguhkan melalui pribadi Muhammad bin Abdullah dan kitab langitnya yang terakhir adalah al-Qur'an.

Kenapa di masa lampau misi-misi kenabian diulang-ulang dan Nabi-nabi dating susul menyusul? Mengapa setelah Nabi terakhir, kenabian berakhir? Mengapa demikian? Di sini kita perlu membahas alas an-alasan bagi diperbaharuinya misi-misi kenabian.

Meskipun kenabian merupakan alur berkelanjutan dari pesan Ilahi, dan agama hanyalah satu kebenaran tunggal, ada beberapa alasan bagi diperbaharuinya kenabian dan munculnya Nabi-nabi, baik yang membawa hukum maupun bagi yang mendakwahkannya saja. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama: Umat manusia dimasa lampau tidak mampu menjaga kelestarian Kitab Suci disebabkan kurangnya perkembangan mental dan kematangan berpikir mereka. Kitab-kitab suci diubah dan didistorsi atau dirusak isinya sama sekali, hingga diperlukan pembaharuan risalah (pesan). Masa di mana al-Qur'an diturunkan -empat belas abad yang lalu- adalah masa ketika umat manusia telah melampaui masa kanak-kanaknya dan mampu menjaga kelestarian khazanah ilmiah dan keagamaannya.

Kedua: Dalam masa-masa sebelumnya, umat manusia karena kurangnya kematangan dan pertumbuhan, tidak mampu menerima suatu program umum bagi jalan yang mereka tempuh, dan tidak mampu melanjutkan perjalanan mereka di jalan yang mereka tempuh itu dengan bimbingan program tersebut. Mereka perlu diarahkan selangkah demi selangkah dan disertai oleh pemandu-pemandu. Tapi serentak dengan tibanya masa penutup misi kenabian dan di masa-masa selanjutnya, umat manusia telah mampu untuk menerima program umum seperti itu, dan dengan demikian berakhirlah program bimbingan selangkah demi selangkah tersebut.

Karena itu, kebahagian, kesempurnaan, keselamatan dan kesejahteraan manusia bergantung pada pengenalan terhadap Tuhan, menyembah kepada-Nya dan berjalan menuju kepada-Nya. Apabila manusia dipisahkan dari masyarakat, ia tidak akan menjadi manusia lagi, sebab pada fitrahnya dia adalah mahluk sosial, dank arena fitrah manusia berorientasi kepada tuhan tidak akan terealisasi kecuali jika lembaga-lembaga kemasyarakatan yang seimbang telah menguasai masyarakat.

Karena itu Nabi-nabi menaruh kepedulian terhadap keadilan, serta penolakan terhadap penindasa dan diskriminasi. Nilai-nilai sosial seperti keadilan, kemerdekaan, kesederajatan, demokrasi dan juga moralitas-moralitas seperti kemurahan hati, kebaikan budi dan sedekah, tidaklah memiliki nilai-nilai inheren, dan tidak dipandang sebagai an sich mencerminkan kesempurnaan manusia. Semua nilai-nilai ini hanyalah pendahuluan dan alat untuk mencapai kesempurnaan).

Keberadaan dan ketiadaan tidaklah mempunyai arti kecuali jika nilai-nilai tersebut dipandang sebagai syarat-syarat untuk mencapai kesempurnaan, bukan kesempurnaan itu sendiri. Mereka adalah pendahuluan ke arah keselamatan, bukan keselamatan itu sendiri. Mereka adalah sarana menuju kemerdekaan, bukan kemerdekaan itu sendiri.

Keempat, pandangan yang ketiga menyebutkan bahwa tidak hanya kesempurnaan manusia dan tujuan akhirnya saja, tetapi kesempurnaan manusia terletak dalam langkah menuju Tuhan.

Ada dua macam hubungan antara apa yang merupakan pendahuluan kepada sesuatu dan sesuatu itu sendiri. Dalam macam hubungan yang pertama, satu-satunya nilai dari hubungan tersebut adalah bahwa ia bergerak menuju sesuatu itu sendiri, dan mana kala ia sudah mencapainya, maka keberadaan dan ketiadaannya adalah sama.

Macam hubungan kedua adalah bahwa meskipun pendahuan tersebut merupakan sarana untuk mencapai sesuatu, dan bahwa ia memperoleh nilai riil dan uniknya dari sesuatu itu sendiri, namun setelah tujuan dicapai, keberadaannya dan ketiadaannya tidaklah sama. Keberadaannya tetaplah sama dengan keberadaan sebelumnya. Inti masalahnya adalah bahwa kadang-kadang kedudukan prasyarat tersebut sangat lemah vis a vis tujuan yang akan dicapai, dan kadang-kadang tidak. Sebuah tangga bukanlah komponen dari atap, tetapi pengethuan yang diperoleh di kelas yang rendah atau pun di kelas yang tinggi bisa merupakan bagian dari suatu kebenaran yang sama.

Hubungan antara nilai-nilai moral dan sosial dengan pengenalan terhadap Tuhan dan penyembahan kepada-Nya, merupakan jenis hubungan yang kedua. Apabila manusia telah mencapai pengetahuan yang sempurna tentang Tuhan dan penyembahan yang sempurna kepada-Nya, maka keberadaan dan ketidak beradaan kebenaran, kejujuran, kebaikan budi, sedekah, kemurahan hati dan sifat pemaaf tidaklah sama. Bagi manusia, moralitas tertinggi adalah menjadi seperti Tuhan.

Artinya, pencarian manusia atas nilai-nilai tersebut bersumber pada dorongan yang inheren dalam dirinya untuk meraih kualitas-kualitas seperti tuhan, meskipun manusia sendiri tidak sadar akan akar inheren tersebut, dan bahkan mungkin mengingkarinya dalam pemikiran sadarnya.

Inilah alasan mengapa, menurut prinsip Islam, amal-amal manusia yang memiliki nilai-nilai moral yang tinggi seperti keadilan, kebaikan budi, kemurahan hati dan semacamnya, bukan tidak akan memperoleh balasan di akhirat, meskipun manusia tersebut mungkin seorang polities. Manusia semacam ini, jika politeismenya tidak bersumber dari sikap membangkang yang tak beralasan, akan memperoleh ganjaran di akhirat. Sesungguhnya, manusia seperti ini secara tidak sadar telah mencapai sejenis iman.[www.telagahikmah.org]


Catatan Kaki:

[1] . Dr. Mohsen Miri, Sang Manusia Sempurna

[2] . Iqbal Lahore, Rekonstruksi Pemikiran Dalam Islam. 1982

[3] . Nahjul Balaghah, khutbah No. 190 (kitab ini adalah kumpulan khutbah, perkataan dan surat menyurat Imam Ali bin Abi Thalib, Imam pertama mazhab Syi'ah)

[4] . Iqbal Lahore, Rekonstruksi Pemikiran Dalam Islam. 1982, hal. 124-125

[5] . Ahmad Amin, Agama Islam dan Pandangan cendekiawan Barat, 1989

[6] . Nahjul Balaghah, Khutbah No.47

[7] . George Jordac, Imam Ali, Pejuang Keadilan (edisi terjemahan bahasa Indonesia)

[8] . Ulasan-ulasan mengenai fitrah bisa dibaca dalam makalah yang lain dalam site ini

Penulis adalah Mahasiswa S1, Ulumul Qur'an, Imam Khomeini University, Qum.