Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

[Momentum] Imam dan Penerapan Syariah

0 Pendapat 00.0 / 5

Dalam silsilah 12 Imam, Mazhab Syiah Itsna 'Asy'ariyah, Imam Muhammad bin 'Ali Taqi al-Jawad telah memangku jabatan agung sebagai imam umat pada usia yang masih belia, kira-kira delapan atau sembilan tahun. Syaikh Mufid dalam Al-Irsyad menukil dari Ma'la bin Muhammad berkata: "Pasca syahadah Imam Ridha As, aku melihat Imam Jawad As dengan segala kesiapannya hingga aku dapat bercerita kepada umat Syiah, pada saat itu Imam Jawad As sedang duduk dan berkata: "Wahai Ma'la! Allah Swt dalam urusan imamah sebagaimana dalam urusan nubuwwah berekspostulasi (ihtijâj) dan berfirman: "Wa 'Atahinahu al-Hukma Shabiyya, "Kami anugerahkan kenabian kepada Yahya selagi ia berusia belia."

Di masa hidupnya yang kendati tidak terlalu lama, Imam Jawad mampu memberikan penyuluhan dan bimbingan kepada umat, secara keseluruhan. Sebagaimana imam-imam sebelumnya, keberadaan Imam Jawad di masanya penuh dengan berkah dan cahaya. Dan tidak jarang, merupakan keselamatan bagi orang lain tatkala didera sebuah permasalahan syar'i. Contoh kasus berikut ini secara tegas peran seorang imam sebagai sosok yang sangat memahami agama dan syariat.

Dinukil dari Razqan yang merupakan salah seorang karib Ibnu Abi Daud, salah seorang hakim pada masa Mu'tashim Abbasiyah, ia berkata: "Suatu hari Ibnu Abi Daud kembali dari pertemuan dengan Mu'tashim sementara kondisinya murung. Aku bertanya kepadanya, katanya: "Hari ini aku berharap sekiranya aku meninggal dua puluh tahun sebelumnya!"

"Kok bisa begitu." Tanyaku penasaran

"Lantaran apa yang telah disampaikan Abu Ja'far (Imam Jawad) kepadaku di majelis Mu'tashim." Katanya bersedih.

Aku berkata: "Bagaimana bisa terjadi?"

Katanya: "Seseorang datang kepada khalifah mengaku telah mencuri, ia meminta pidana Ilahi (had) dikenakan padanya untuk menebus dan mensucikan dosanya. Khalifah mengundang seluruh juris demikan juga Muhammad bin 'Ali (Imam Jawad), dan bertanya kepada kami: "Tangan pencuri ini yang mana harus dipotong?"

Aku berkata: "Dari pergelangan tangan (carpus)!"

Ia bertanya: "Apa dalilnya?"

Aku berkata: "Lantaran yang dimaksud dengan tangan pada ayat tayammum adalah, "Famsahuh biwujuhikum wa aidayakum, "..Usaplah muka dan tanganmu.." (Qs. Al-Maidah [5]:6) yang dimaksud dengan yad di sini adalah hingga pergelangan tangan.

Sebagian kelompok juris setuju dengan pendapatku dan berkata bahwa tangannya harus dipotong hingga pergelangan tangan. Namun kelompok juris lainnya berkata bahwa tangan yang dimaksud di sini adalah hingga siku. Mendengar ikhtilaf ini, Mu'tashim menanyakan dalil kelompok juris ini.

Mereka menjawab: "Maksud tangan di sini adalah tangan pada ayat wudhu, "Faghsilu wujuhakum wa aidiyakum ilal marafiq" (maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku., (Qs. Al-Maidah [5]:6) yaitu hingga sikunya.

Kemudian Mu'tashim berpaling ke arah Muhammad bin 'Ali (Imam Jawad) dan bertanya: "Bagaimana pandangan Anda terhadap masalah ini?"

"Mereka telah mengeluarkan pendapatnya, maafkan Aku!" Sahut Imam Jawad As.

Mu'tashim bersikeras dan bersumpah bahwa Imam Jawad harus menyampaikan pandangannya.

Muhammad bin 'Ali berkata: "Lantaran engkau telah bersumpah bahwa saya harus menyampaikan pendapatku, sesungguhnya pendapat mereka ini keliru. Lantaran anak-anak jarilah yang harus dipotong (yaitu keempat anak jari dan ibu jari tidak boleh dipotong).

Mu'tashim berkata: "Atas alasan apa Anda berkata demikian?"

Imam Jawad As berkata: "Lantaran Rasulullah Saw bersabda: "Sujud hanya dapat ditunaikan dengan tujuh anggota sujud, kening, dua telapak tangan, dua lutut, dua ujung kaki (dua ibu jari kaki). Oleh karena itu apabila tangan pencuri dipotong hingga pergelangan tangan atau hingga sikunya maka tidak ada lagi tangan yang tersisa baginya untuk ia gunakan sujud dan juga Allah Swt berfirman: "Wa anna al-Masajida liLLah falaa tad'u ma'alLah ahadan." Dan bahwa masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah." Tujuh anggota badan yang digunakan untuk bersujud itu adalah kepunyaan Allah "Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah." Dan apa yang dilakukan untuk Allah Swt tidak boleh dipotong."

Ibnu Abi Daud berkata: "Mut'ashim menerima jawaban Muhammad bin 'Ali dan menitahkan bahwa keempat jari pencuri itu harus dipotong dan kami di tengah-tengah hadirin merasa sangat malu dan karena merasa malu dan bersedih sehingga saya berharap sekiranya saya mati saja." (Tafsir Ayyâsyi, jil 5, hal. 319)

Dengan menukil kisah ini segera terlintas dalam benak saya kisah Khalifah Kedua yang juga nyaris menghukum bukan atas apa yang diturunkan oleh Allah dan dititahkan oleh Rasul-Nya. Persis seperti apa yang nyaris dilakukan oleh para hakim kerajaan Abbasiyah. Meski tulisan ini diturunkan untuk berziarah ke hadirat suci Imam Jawad As, bertepatan dengan hari wiladah (kelahiran) beliau, namun menurut penulis ada baiknya penggalan kisah di atas kita urai lebih luas untuk menandaskan perlunya seorang imam yang menjelaskan seluruh permasalahan agama, baik dari sisi akidah atau pun sisi hukum praktisnya.

Acapkali kita mendengar dalam sejarah hidupnya Umar bin Khattab, baik dalam bidang akidah ataupun bidang ahkam, berkata, "Sekiranya tiada Ali maka celakalah Umar." (lihat misalnya Faraidh as-Simthain, jil. 1, hal. 349 dan 350, atau Syarah Nahjul Balagah Ibnu Abil Hadid, jil 1 hal. 18 dan dari kedua belah pihak, Syiah dan Sunni banyak menukil hadis ini)

Sebagai contoh kasus dalam masalah ahkam yang harus diterapkan. Ahmad bin Hanbal berkata: Seorang wanita melakukan zina dibawa ke hadapan Umar; Umar menitahkan supaya wanita pezina itu dirajam. Tatkala wanita pezina itu mereka bawa untuk dirajam, 'Ali bin Abi Thalib berpapasan dengan mereka dan bersabda: "Apa kesalahan wanita ini?"

Mereka memberitahu masalah yang dihadapi wanita tersebut kepada Baginda Ali dan kemudian menghalangi mereka untuk merajam wanita itu. Wanita itu di bawah ke hadapan Khalifah Umar.

'Umar bertanya: "Mengapa Anda menghalangi diterapkannya hukum syariah?"

Imam 'Ali berkata: "Wanita ini adalah wanita yang kurang akalnya. Ia berasal dari suku fulan; Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: "Rufi'al-Qalam an Tsalatsin: 'An Naim hatta Yastaiqizh, was Shabi hatta yahtalim, wa anil Majnun hatta Yufiqa; Qalam (taklif) tidak berlaku bagi tiga kelompok orang: 1. Orang yang tidur hingga ia bangun; 2. Bocah hingga ia mimpi basah (muhtalim, baca: dewasa); 3. Orang gila hingga ia sembuh dari penyakit gilanya."

Mendengar penjelasan ahkam ini, Umar berkata: "Laula 'Aliyyun Lahalak 'Umar (sekiranya tiada 'Ali maka binasalah Umar). (Al-Imam 'Ali bin Abi Thalib, jil. 3, hal. 43, Sunan Abi Daud hadits 3823)

Saya lalu terusik untuk membandingkan dengan apa yang coba diusung oleh sebagian kelompok Muslim di tanah air terkait penerapan syariah Islam yang kini menjadi euphoria umat. Kalau ditinjau dari sisi semangat, masya Allah, semangat ini boleh jadi memancing kita untuk berkata Islam is reviving. Tapi semangat saja tidak memadai untuk dapat menggelontorkan program syariah dalam pentas kehidupan sehari-hari. Tidak dapat dibayangkan sekiranya model hakim atau khalifah yang berkuasa dan menerapkan syariah mirip-mirip masalah ahkam di atas. Hanya dengan bersandar pada lahir ayat Ilahi tanpa menyertakan hadis nabawi untuk menafsirkan ayat yang bersangkutan, menurut saya bukan hanya hakim atau 'Umar yang akan celaka, namun umat yang akan menanggung kecelakaan ini secara kolektif.

Khalifah 'Umar sepertinya tahu akan celaka namun ia tetap tidak menggubris peran sunnah Rasulullah Saw dalam masalah agama. Misalnya ucapan terkenal Khalifah Kedua tatkala detik-detik terakhir wafatnya Rasulullah Saw dimana beliau meminta diambilkan tinta dan dawat untuk wasiat terakhir untuk umat, namun Khalifah Kedua mencegah hal itu dan berkata: "Inna Nabi ghalaba 'alaihi al-waj'e!! Wa Indakum al-Qur'an..Hasbuna Kitaballah.." (Sesungguhnya Nabi telah dikuasai sakit!! Dan pada kalian ada al-Qur'an…Cukup bagi kami al-Qur'an.) (Shahih Bukhari, Kitab al-Mardha, bab 17 (bab qaul al-Maridh qumu anni).

Kalau kita melihat contoh kasus di atas betapa orang yang belum terlalu jauh dari masa kenabian dapat salah dalam mengambil sebuah inferensi hukum dari ayat-ayat Qur'an, dalam penerapan hudud (hukum pidana) atas sebuah pelanggaran seperti mencuri, berzina, minum khamar dan lain sebagainya hanya bersandar pada lahir ayat bahwa mencuri itu harus dipotong tangannya, berzina itu harus dirajam atau dicemeti tanpa memperhatikan sisi-sisi lain ghalibya digunakan dalam proses istinbath hukum seperti, yang bersifat mujmal, mutlaq, muqayyad, am, khas, naskh, mansukh sebagaimana dalam kasus Yahya bin Aktsam. Dan di atas semua itu perlunya bersandar kepada seorang Qur'an Natiq (the walking qur'an) di samping Qur'an Shamit (the silence Qur'an) yang dapat menjelaskan kesemua hal ini.

Kalau di masa kenabian, Rasulullah Saw sendiri yang menjadi penjelas dan penerang segala syariat, pasca Nabi Saw, adalah para imam suci yang hadir dan bahkan harus ada di setiap zaman dan masa. Demikianlah Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka yang berharga; Kitab Allah dan Itrah; Ahlul Baitku. Selama berpegang pada keduanya, kalian tak akan tersesat selama-lamanya. Dan keduanya tidak akan terpisah hingga menjumpaiku di telaga Kautsar, di Hari Kiamat kelak". (H.R. Sahih Muslim : jilid 7, hal 122. Sunan Ad-Darimi, jilid 2, hal 432. Musnad Ahmad, jilid 3, hal 14, 17, 26 dan jilid 4, hal 371 serta jilid 5, hal 182 dan 189. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, hal 109, 147 dan 533)

Kaum Muslimin tidak dapat melepaskan keduanya atau berpegang kepada salah satu di antara keduanya saja. Hanya berpegang kepada al-Qur'an akan tersesat selama-lamanya, demikian juga semata-mata bersandar kepada Ahlulbait. Dalam redaksi hadis di atas ditegaskan sebagai tsaqalain. Dua pusaka berat yang harus kita pegang keduanya untuk tidak tersesat apatah lagi binasa selama-lamanya. Tentu pada penerapan syariah dalam kehidupan sehari-hari tidak terkecuali dari sabda Rasulullah Saw ini. Berikut ini saya mengajak Anda untuk berziarah, melintasi ruang dan lorong waktu untuk menyampaikan salam kepada Imam Jawad As dengan membaca:

السَّلامُ عَلَيْكَ يَا أَبَا جَعْفَرٍ مُحَمَّدَ بْنَ عَلِيٍّ الْبَرَّ التَّقِيَّ الْإِمَامَ الْوَفِيَّ

السَّلامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا الرَّضِيُّ الزَّكِيُّ

السَّلامُ عَلَيْكَ يَا وَلِيَّ

اللَّهِ السَّلامُ عَلَيْكَ يَا نَجِيَّ

اللَّهِ السَّلامُ عَلَيْكَ يَا سَفِيْرَ اللَّهِ

السَّلامُ عَلَيْكَ يَا سِرَّ اللَّهِ [سِتْرَ اللَّهِ‏]

السَّلامُ عَلَيْكَ يَا ضِيَاءَ اللَّهِ

Salam kepadamu wahai Abu Ja`far Muhammad bin Ali, Imam yang baik, takwa dan menepati janji

Salam kepadamu wahai yang diridhai (oleh Allah) dan suci

Salam kepadamu wahai wali Allah

Salam kepadamu wahai yang ditolong Allah

Salam kepadamu wahai duta Allah

Salam kepadamu wahai rahasia Allah (tirai Allah)

Salam kepadamu wahai cahaya Allah

(Penggalan doa ziarah Imam Muhammad Taqi al-Jawad As)