Mengapa Allah Swt harus memiliki segala kesempurnaan?


Dalam pembahasan ihwal keesaan Tuhan, kita berkata bahwa apabila terdapat dua Wujud Mesti (Wâjib al-Wujud) maka di antara keduanya harus terdapat perbedaan; artinya salah satu dari keduanya harus memiliki sifat wajib dan yang lainnya tidak. Demikian sebaliknya. Dan sebagai kesimpulannya disebutkan, karena wajib ini hampa kesempurnaan maka ia membutuhkan dan bersifat mumkin (kontingen). Namun pertanyaan yang mengemuka bagi saya adalah, mungkinkah wajib ini sama sekali tidak membutuhkan pada tipologi ini. Atau dengan kata lain, mengapa Wajib mesti memiliki keseluruhan kesempurnaan?

Kesatuan yang berlaku di alam semesta menjadi penghalang bagi kita untuk menggambarkan adanya entitas yang memiliki sebagian kesempurnaan tertentu dan pada saat yang sama tidak membutuhkan pada jenis kesempurnaan dari yang lain. Hal ini hanya dapat diilustrasikan pada berbagai kesempurnaan non-hakiki (i’tibâri) dan keseharian, namun pada tataran eksistensial hal seperti ini tidak dapat terealisir.

Dalam penalaran dan argumentasi, terdapat sebuah entitas yang diasumsikan memiliki seluruh kesempurnaan kecuali sebagian kesempurnaan yang menjadikannya berbeda dengan asumsi wujud Mesti lainnya. Berdasarkan asumsi penanya, tidak memerlukan kesempurnaan-kesempurnaan yang lain.

Nah sekarang harus disimak apakah asumsi yang terdapat dalam pikiran seperti ini dapat diterapkan pada alam eksistensi dan dapat terealisir pada alam luaran?

Faktanya adalah bahwa segala kesempurnaan penciptaan dan eksistensial berbeda dengan kesempurnaan-kesempurnaan non-hakiki (i’tibâri) dan urf yang tidak dapat mengada tanpa adanya hubungan sama sekali dengan yang lain sehingga dapat terealisir pada alam kenyataan. Pembahasan ini pada tempatnya sendiri dapat dijelaskan dan ditetapkan secara detil.

Dengan ungkapan lain, apa yang kita saksikan pada alam luaran (nyata), hubungan di antara kesempurnaan-kesempurnaan ini tidak terpisah dan terkotak-kotak melainkan setiap entitas selaras dan sejalan dengan entitas-entitas alam lainnya. Tiada batasan hitungan detik yang dapat diklaim secara sempurna terpisah dari yang lainnya. Yang ada adalah bahwa, semakin kita menanjak naik pada tingkatan kesempurnaan yang lebih tinggi, maka semakin kita menyaksikan kesatuan, keselarasan dan kesejalanan yang lebih besar diantara kesempurnaan-kesempurnaan yang banyak di alam semesta.

Dengan menetapkan pra-asumsi seperti ini kita tidak dapat mengilustrasikan sebuah entitas yang memiliki seluruh kesempurnaan kecuali sebagian kesempurnaan dan sama sekali tidak memiliki hubungan dengan kesempurnaan-kesempurnaan lainnya. Karena berhubungan dengan kesempurnaan-kesempurnaan lainnya maka secara esensial ia akan membutuhkan kesempurnaan dalam kesempurnaannya (hal ini telah ditetapkan dalam Filsafat sesuai dengan kaidah imkân asyrâf).

Karena itu, entitas seperti ini meski berada pada tingkatan tertinggi kesempurnaan namun ia tidak dapat menjadi Wajib Mesti (Wâjib al-Wujud). Mungkin dengan mengadakan komparasi dengan tradisi keseharian manusia, gambaran ini juga berlaku pada Wujud Mesti yang diasumsikan. Karena acap kali terjadi bahwa seseorang yang memiliki sebagian kesempurnaan mengklaim bahwa tidak terdapat lagi kesempurnaan yang lain dan tetap berkutat dengan kebodohan ganda ini. Namun pada alam takwini (penciptaan) tidak demikian adanya. Setiap kebenaran adalah sebuah realitas dan hakikat yang terpendam pada zat satu entitas. Sifat ‘tidak membutuhkan’ tidak dapat direalisir hanya dengan mengklaim bahwa ia tidak membutuhkan.

Dengan demikian, dalam satu kalimat, kesatuan yang berlaku di alam semesta menjadi penghalang bagi kita untuk menggambarkan adanya entitas yang hanya memiliki jenis khusus kesempurnaan secara eksklusif dan sama sekali tidak membutuhkan jenis kesempurnaan yang lain. Hal ini hanya dapat diilustrasikan pada kesempurnaan-kesempurnaan non-hakiki dan tradisi keseharian masyarakat atau ilmu-ilmu teknik, namun tidak dapat terealisir pada tingkatan-tingkatan tertinggi alam eksistensi.

Dalam al-Qur’an, sehubungan dengan keesaan Tuhan disebutkan demikian, “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa.” (Qs. Al-Anbiya [21]:22)

Dalam penjelasan ini diungkap secara langsung ihwal keesaan Tuhan dengan berlakunya keselarasan, kesinambungan dan tiadanya perbedaan dan perselisihan di alam eksistensi dan sistem penciptaan. Prinsip gamblang ini telah dijadikan sandaran untuk menjelaskan absurditas dan kemustahilan adanya kejamakan pada Wujud Mesti (Wâjib al-Wujûd). Prinsip ini juga menjelaskan sebaik-baik dan seglobal-global cara untuk menetapkan tiadanya kemungkinan kejamakan dalam Wujud Mesti.

Terdapat argumen-argumen filosofis lainnya yang dijelaskan secara lebih detil dan lebih rumit yang ujung-ujungnya kembali pada prinsip ini. [IQuest]