Meluruskan Makna Mulkulturalisme 1

Salah satu kekeliruan dalam membincangkan multikulturalisme adalah persoalan makna dan defenisinya. Padahal pemaknaan penting sebagai batasan pembicaraan. Jika pembicaraan tidak dibatasi maka akan terjadi campur aduk yang tentunya akan menghilangkan siginfikansi pembicaraan dan berakhir pada pengaburan persoalan. Jika kita membaca beragam literatur dari pengusung hingga pembenci multikulturalisme, maka kita menemukan sederetan pemaknaan yang beragam bahkan sebagian terlihat cenderung untuk menghindar dari mendefenisikannya. Hal ini bisa saja mungkin karena anggapan kejelasan makna multikulturalisme itu sendiri sehingga lebih mudah merujuk pada faktanya daripada konsepnya. Karena itu, maka dimaklumi jika sebagian kalangan salah paham terhadap multikulturalisme—dan beberapa istilah lainnya—sehingga dianggap sebagai sarana pengkafiran, pemusyrikan, sehingga akan mengarahkan manusia pada neraka, seperti ditunjukkan oleh komentar situs voa-islam berikut ini :

        “…Pemusyrikan baru yang dilancarkan di dalam pendidikan Islam di Indonesia dengan nama inklusivisme, pluralism agama, dan multikulturalisme itu menurut Al-Qur’an adalah lebih dahsyat bahayanya dibanding pembunuhan fisik. Karena kalau seseorang itu yang dibunuh badannya, sedang hatinya masih beriman (bertauhid), maka insya Allah masuk surga. Tetapi kalau yang dibunuh itu imannya, dari Tauhid diganti dengan kemusyrikan baru yakni inklusivisme ataupun pluralism agama, ataupun multikulturalisme, maka masuk kubur sudah kosong iman tauhidnya berganti dengan kemusyrikan; maka masuk neraka.”

Tentu saja, komentar di atas lebih cenderung tendensius dalam menyikapi multikulturaslime ketimbang serius dalam mengkajinya. Untuk itu, pada kesempatan ini, kita akan melakukan analisis terhadap multikulturalisme.

Multikulturalisme yang tersusun dari tiga kata, multi yang berarti majemuk atau beragam atau plural; kultur yang biasa diterjemahkan menjadi budaya;  dan isme yakni paham atau ideologi yang dianut. Dengan demikian, secara sederhana, multikulturalisme bermakna paham yang menerima kemajemukan budaya. Dengan begitu, multikulturalisme mengagungkan kebersamaan dalam keragaman; kesejajaran dalam perbedaan; keseimbangan dalam keanekaan; atau juga rasa saling memahami dan menerima realitas perbedaan kultural yang ada.

Bikhu Parekh dalam bukunya National Culture and Multiculturalism, membedakan lima jenis multikulturalisme. Pertama, multikulturalisme isolasionis yang mengacu kepada masyarakat di mana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain.

Kedua, multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat plural yang memiliki kultur dominan, yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi bagi kebutuhan kultural kaum minoritas.

Ketiga, multikulturalis otonomis, yakni masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan mengangankan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif dapat diterima. Kepedulian pokok kelompok-kelompok kultural terakhir ini adalah untuk mempertukarkan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok yang dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat di mana semua kelompok dapat eksis sebagai mitra sejajar.

Keempat, multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural di mana kelompok-kelompok tidak terlalu peduli dengan kehidupan cultural otonom, tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka.

Kelima, multikulturalisme cosmopolitan, yakni paham yang berusaha menghapuskan batas-batas cultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu. Sebaliknya, mereka secara bebas terlibat dalam eksperimen-eksperimen intercultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan cultural masing-masing. Para pendukung multikulturalisme jenis ini, yang sebagian besar adalah intelektual diasporik dan kelompok-kelompok liberal yang memiliki kecenderungan postmodernis memandang seluruh budaya sebagai resources yang dapat mereka pilih dan ambil secara bebas (Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, 2009: 93-95)

Mungkin kita bingung dengan kelima model yang digambarkan oleh Parekh di atas. Untuk melihat benang merah yang menyatukannya, kata Charles taylor, multikulturalisme adalah recognition (pengakuan). Dari recognition inilah terhubungkan sekian banyak konsepsi tentang multikulturalisme seperti different (keberbedaan), equality (kesederajatan), equity (keadilan), dan lainnya. (lihat pembahasannya oleh Charles Taylor, Multiculturalism, Examining the Politics of Recognition, 1994)

Terlepas setiap orang berhak memilih dengan model multikulturalisme yang ada, tetapi model ketiga kelihatannya lebih tepat untuk masyarakat Indonesia. Karena faktanya masyarakat Indoensia terdiri dari beragam individual dan komunitas yang kemudian menciptakan kebudayaan, maka secara nyata akan muncullah keragaman sistem kebudayaan tersebut. Karena itu, keragaman merupakan realitas nyata di tengah-tengah kehidupan kita. Manusia secara faktual kita temukan beragam dalam warna kulit, bahasa, suku, ras, budaya, dan juga tentunya agama. Dimanapun kita menemukan komunitas masyarakat, maka di sana kita akan melihat keunikan mereka yang sekaligus membedakan mereka dari yang lainnya. Inilah kemajemukan yang dipersembahkan Tuhan, termasuk di Negara Indonesia ini. Sebagaimana dikatakan para peneliti bahwa Indonesia memiliki ratusan bahasa dan suku disamping beberapa perbedaan warna kulit, adat istiadat, budaya dan agama.

Azumardi Azra memandang bahwa realitas sosial masyarakat Indonesia yang semacam itu sangat sulit dipungkiri dan diingkari. Untuk itu keragaman, atau kebhinekaan atau multikulturalisme merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan di masa silam, lebih-lebih lagi pada masa kini, dan di waktu mendatang. Multikulturaisme secara sederhana dapat dipahami sebagai pengakuan, bahwa sebuah Negara atau masyarakat adalah beragam dan majemuk. Sebaliknya, tidak ada satu Negara pun yang mengandung hanya kebudayaan nasional tunggal. Dengan demikian, multikulturalisme merupakan sunnatullah yang tidak dapat ditolak bagi setiap negara-bangsa di dunia ini. (Baidhawy, Pendidikan Agama Berbasis Multikultural, 2005: vii)

Keragaman ini mendapatkan legalisasi teologis, karena Tuhanlah yang mempersembahkan keragaman tersebut, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu (manusia) dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa juga bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertawa diantara kamu. sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. al-Hujuran : 13). Dengan demikian keragaman atau kemajemukan sesuatu yang tak bisa diingkari, karenanya pula multikulturalisme sebagai pengakuan atas keberagaman merupakan hal yang niscaya.

Memang, tidak dapat dipungkiri umat manusia terdiri dari beragam suku, ras, bahasa, dan juga agama, baik itu secara esensial maupun aksidental. Tetapi bukan ini yang menjadi persoalan dalam multikulturalisme. Fokus utama multikulturalisme adalah bagaimana kita memandang keberagaman yang faktual itu? Apakah kita menerimanya secara positif atau secara negatif? Apakah kita memandangnya sebagai mosaik keindahan untuk saling berbagi atau sebagai hasrat untuk saling menguasai? (cr/)