Amaliah Praktis
Mukaddimah
Agama Islam -sebagaimana maklum- meliputi masalah-masalah akidah, fiqih dan akhlak. Di dalam masalah aqidah (ushuluddin), khususnya menurut ajaran madzhab Ahlul Bait as tidak dibenarkan bertaqlid buta dan mengikuti akidah orang lain tanpa memahami dalil-dalil dan argumen-argumennya. Misalnya dalam masalah menetapkan dan meyakini adanya Tuhan Sang Pencipta alam semesta ini, adanya hari pembalasan, mengenai keesaan Tuhan dan lain-lain, dalam hal ini kita tidak boleh ikut-ikutan dan bertaqlid buta kepada orang lain, sekalipun kepada guru atau orang tua kita sendiri, artinya kita harus mencari atau memahami dengan baik dan benar akan dalil-dalil dan argument-argumen yang berhubungan dengan masalah tersebut. sehingga ketika kita ditanya orang; apakah Tuhan itu ada? Kalau Tuhan itu ada, apakah dia itu esa, satu ataukah ada tiga? Apakah hari kiamat itu pasti terjadi? Dan pertanyaan-pertanyaan akidah lainnya, kita dapat menjawabnya sekalipun dengan argument-argumen yang sangat sederhana; seperti bahwa Tuhan Pencipta itu ada, dalilnya adalah adanya kita dan alam semesta ini.
Berbeda halnya dengan masalah fiqih atau furu'uddin (cabang-cabang agama). Sehubungan dengan masalah ini, khususnya dalam hal-hal yang sifatnya bukan "daruriyatuddin" seperti kewajiban shalat dll, kaum muslimin secara umum dan apa pun madzhab dan alirannya dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok Ulama Mujtahid, kelompok muqallid dan kelompok Muhtath.
Sebelum kami jelaskan masing-masing definisi Mujtahid, Muqallid dan Muhtaht, dan demi memperjelas pengertian "daruriyatuddin", baiklah akan kami jelaskan pembagian "Ahkam Syari'ah".
Hukum-hukum syari'at (ajaran Islam) ditinjau dari sudut pandang upaya mengenal dan mengetahuinya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Ahkam Daruriah, yaitu hukum-hukum daruriyah yang biasa juga disebut "daruriyatuddin" artinya adalah hukum-hukum yang sudah jelas, gamblang dan ma'ruf serta telah menjadi keyakinan seluruh kaum muslimin. Karena untuk mengetahuinya tidak perlu meguras tenaga dan kemampuan untuk mengkaji, meneliti dan menggunakan kaidah-kaidah ushul, dengan kata lain untuk mengetahui hukum-hukum daruriah itu tidak memerlukan ijtihad, contohnya seperti wajibnya Shalat, zakat, haji dan lain-lain atau seperti haramnya berzina, membunuh dan lain-lain yang mana seluruh kaum muslimin telah meyakini dan mengetahui dengan jelas tanpa berijtihad atau belajar lama di hawzah (pesantren).
2. Hukum-hukum syari'at yang bukan daruri, artinya hukum-hukum yang tidak gamblang bagi setiap muslim yang biasa juga disebut "ahkam ghairu daruriah". Ahkam ghairu daruriah ini menuntut segenap kemampuan dan kerja keras untuk dapat mengetahuinya, yaitu dengan cara menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh dan ilmu-ilmu alat lainnya (seperti tata bahasa arab, ilmu hadits, tafsir, dll) untuk dapat menentukan hukum-hukum tersebut, seperti perincian hukum-hukum ibadat dan muamalat pada umumnya.
Sudah tentu tidak setiap muslim mampu melakukan pekerjaan berat semacam ini, bahkan tidak juga setiap ulama mampu melakukannya. Pekerjaan seperti ini dinamakan ijtihad yang hanya dapat dilakukan oleh para mujtahid. Untuk dapat mencapai tingkat ijtihad ini diperlukan keseriusan dalam belajar di tingkat Bahtsul Kharij, yaitu peringkat tinggi dalam pelajaran fiqih dan ushul.
Tentunya setelah melewati peringkat sutuh satu dan dua. Setidaknya -menurut hemat kami- mereka yang duduk di tingkat Bahtsul Kharij ini menghabiskan waktu kurang lebih selama lima belas tahun untuk dapat melakukan ijtihad. Sedangkan peringkat sutuh satu dan dua itu dapat ditempuh secara normal selama delapan tahun, setelah itu barulah memasuki pelajaran fiqih dan ushul pada tingkat Bahtsul Kharij. Harapan dan doa kami semoga di hari-hari mendatang pelajar Indonesia yang masih berada pada maqta'/sutuh dua dalam spesifikasi fiqih dan ushul dapat segera menyelesaikan studinya dengan lancer dan baik, untuk selanjutnya dapat duduk pada tingkat bahtsul kharij.
Dan setelah menjalani masa kurang lebih lima belas tahun pada tingkat Bahtsul Kharij ini, barulah nantinya akan sampai pada tingkat ijtihad dan menjadi seorang mujtahid. Insya Allah. Dan selanjutnya menjadi seorang marja' dengan izin dan taufiq dari Allah Swt. Seorang Mujtahid mutlak untuk dapat mencapai tingkat marjaiyah (menjadi marja' bagi masyarakat umum) masih memerlukan waktu yang tidak sedikit. Dan ada syarat-syarat khusus yang ia harus tempuh, seperti telah menulis Risalah Amaliah.
Seorang ulama Syi'ah Imamiyah yang merupakan seorang mujtahid dan telah mencapai tingkat marja' berkata: "mengingat ijtihad itu memerlukan ilmu yang canggih, keseriusan dan kerja keras yang istiqamah, oleh karena itu sedikit sekali orang-orang yang mampu mencapai peringkat mulia dan terpuji ini. Keadaan seperti inilah yang menyebabkan mayoritas kaum muslimin harus merujuk kepada seorang mujtahid sebagai nara sumber dalam masalah-masalah fiqih. Dan inilah yang disebut "taqlid".