IJTIHAD SEBAGAI DASAR HUKUM.
(III)
Menurut Syi'ah tiap-tiap orang Islam yang mukallaf diwajibkan mengerjakan segala hukum Islam yang dipikulkan kepadanya dengan yakin, dan yakin itu menurut mereka diperoleh melalui salah satu jalan ijtihad, taqlid dan ihtiyath.
Pengertian ketiga macam jalan ini dijelaskan dalam kitab-kitab Syi'ah sebagai berikut.
Ijtihad yaitu menetapkan hukum syara' dengan syaratnya yang sudah ditetapkan.
Taqlid yaitu berpegang kepada fatwa seorang mujtahid dalam mengerjakan segala amal ibadat.
Ihtiyath yaitu beramal dengan sesuatu cara yang yakin dari kebiasaan yang belum diketahui sungguh-sungguh duduk perkara yang sebenarnya.
Bagi orang-orang Syi'ah berijtihad itu wajib kifayah dan apabila ada segolongan manusia mengerjakan pekerjaan ini, terbebaslah manusia yang lain dari pada kewajiban itu.
Tetapi apa bila tidak ada yang sanggup melakukan ijtihad itu, maka seluruh masyarakat Islam berdosa kepada Tuhan.
Orang yang sanggup melakukan ijtihad dinamakan mujtahid, yaitu ada dua macam, pertama mujtahid mutlak dan kedua mujtahid muttajiz.
Yang dinamakan mujtahid mutlak ialah orang Islam yang sanggup menetapkan hukum mengenai seluruh persoalan fiqh.
Sedang mujtahid-muttajiz ialah orang yang berkuasa, menetapkan sesuatu hukum syara' dalam beberapa hukum furu' fiqh.
Seorang mujtahid mutlak diwajibkan beramal dengan hasil ijtihadnya.
Ia boleh juga beramal secara ihtiyath. Mujtahid muttajiz juga diwajibkan beramal dengan hasil ijtihadnya jika ia mungkin dalam menciptakan bukan furu'.
Tetapi jika ia tidak mungkin maka ia dihukum bukan mujahid, dan boleh ia memilih salah satu jalan antara taqlid dan beramal dengan ihtiyath.
Keadaan ini hampir bersamaan dengan pendirian Ahli Sunnah.
Dalam dunia hukum Ahli Sunnah dikenal : Mujtahid Muttah, Mujtahid Mazhab, Mujtahid Fatwa dan Mujtahid Tarjih.
Mengenai taqlid diterangkan, bahwa taqlid itu ialah menuruti cara berfikir seseorang mujtahid karena tidak sanggup berijtihad sendiri.
Amal seorang awam yang tidak didasarkan kepada taqlid atau ihtiyath dianggap batal.
Orang yang bertaqlid dinamakan muqallid dan terbagi atas dua bahagian, pertama awam semata-mata, yaitu seseorang yang tidak mengenai sama sekali hukum syara'.
Kedua muqallid berilmu yaitu seorang yang mempunyai ilmu tentang Islam dalam garis-garis besarnya, tetapi tidak sanggup menetapkan sesuatu hukum dengan ijtihadnya.
Dalam bertaqlid disyaratkan dua perkara sebagai berikut :
Pertama amalnya sesuai dengan fatwa mujtahid yang diikutinya dalam beraqlid.
Kedua benar qasad ibadatnya untuk berbakti kepada Tuhan dengan secara yang diputuskan mujtahid itu.
Seorang muqallid dapat mencapai fatwa yang diikutinya dengan salah satu dari pada tiga jalan :
Pertama ia mendengar langsung hokum sesuatu masalah pada mujtahid itu sendiri.
Kedua bahwa ada dua orang yang adil dan dapat dipercayai menyampaikan fatwa mujtahid itu kepadanya, boleh juga hanya oleh seorang saja yang dipercayainya sungguh-sungguh dan dapat menerangkan keyakinannya, ketiga ia membaca sebaran tertulis, dimana diuraikan mujtahid itu dan keputusan itu hendaknya dapat menenteramkan jiwanya tentang sahnya dan benarnya penetapan hukum tersebut.
Apabila seorang mujtahid mati, sedang muqallid tidak mengetahuinya melainkan sesudah beberapa waktu kemudian, amal muqallid yang sesuai dengan mujtahid yang wafat itu sah menurut Syi'ah.
Bahkan dihukum sah dalam beberapa perkara yang berlainan, asal yang berlainan itu mengenai persoalan-persoalan yang dapat dianggap uzur, seperti antara satu kali atau tiga kali mengucapkan tasbih, yang fatwanya berbeda antara mujtahid yang sudah mati dengan mujtahid yang dibelakangnya, yang berlaku fatwanya dalam masa itu.
Jadi berlainan jumlah kali tasbih karena berlainan fatwa mujtahid tidak merusakkan sahnya sembahyang seorang muqallid dalam mazhab Syi'ah.
Seorang muqallid harus bertaqlid kepada mujtahid yang lebih alim dari yang lain.
Jika ia mendengar ucapan dua yang berlainan dari dua orang mujtahid, dan orang tunjukkan kepadanya, bahwa mujtahid yang seorang itu lebih alim dari yang lain, maka muqallid itu harus mengikuti mujtahid yang alim itu.
Seorang anak boleh bertaqlid, dan apabila mujtahid yang diikutinya itu mati sebelum sampai umurnya, anak itu boleh bertaqlid terus kepadanya dengan tidak usah memilih mujtahid yang lebih alim.
Orang-orang yang dibolehkan bertaqlid kepadanya, harus mempunyai syarat-syarat tertentu, seperti bahwa ia sudah baligh, berakal, seorang laki-laki, seorang yang teguh imannya (dalam hal ini dimaksudkan Syi'ah penganut-penganut Mazhab Isna Asyariyah), adil, bersih keturunannya, ahli agama, mempunyai kekuatan ihtiyath dan masih hidup.
Tidak dibolehkan bertaqlid pada umumnya kepada mujtahid yang sudah mati, meskipun diketahui bahwa ia pada waktu hidupnya adalah seorang mujtahid yang lebih adil dari yang lain.
Dalam Mazhab Ahlus Sunnah hal ini diperbolehkan.
Dalam memilih mujtahid yang lebih alim ditentukan dua buah syarat.
Jika ada seorang mujtahid mengajarkan perselisihan pendapat dalam fatwanya, baik secara besar atau secara perinci, seorang muqallid wajib memilih mujtahid yang lebih alim.
Jika seorang mujtahid memberikan fatwa tidak mengajarkan perselisihan paham sama sekali, kepadanya dibolehkan taqlid dengan tidak usah mencari orang lain yang lebih alim.
Jika seorang muqallid memerlukan sebuah fatwa, ia boleh memilih seorang mujtahid yang sanggup memberikan fatwa itu kepadanya, meskipun ada disampingnya mujtahid lain yang lebih alim.
Ihtiyath artinya boleh mengerjakan, boleh meninggalkan dan boleh mengulang sesuatu yang tidak diketahui caranya, tetapi diyakini dalam melepaskannya dari suatu perintah agama.
Yang masuk bahagian pertama ialah hukum-hukum yang diragu-ragui antara wajib dan tidak haram, mazhab Syi'ah dalam keadaan yang demikian memerintah kan mengerjakannya.
Mengenai macam kedua, jika diragu-ragui antara perintah dan tidak wajib, ihtiyath dalam hal ini' menghendaki agar pekerjaan yang demikian itu ditinggalkan dan jangan dikerjakan.
Dalam perkara yang ketika misalnya mengenai suatu hukum yang diragu-ragui wajibnya mengenai dua macam ibadat, seperti pertanyaan, apakah sembahyang dilakukannya harus lengkap atau dipendekkan dalam bentuk qasar, maka ihtiyath dalam keadaan begini diulang dua kali, sekali secara qasar dan sekali secara tamam atau lengkap.
Mungkin terjadi seorang awam tidak pernah dapat membedakan cara ihtiyath semacam itu, misalnya karena ahli fiqh berbeda paham mengenai harus berwudhu' atau mandi dengan air musta'mal dalam menghilangkan hadas besar.
Ihtiyath dalam keadaan seperti ini ialah meninggalkan seluruh macam itu.
Jika orang awam itu mempunyai air yang tidak musta'mal, maka boleh dilakukannya ihtiyath, yaitu berwudhu' atau mandi dengan itu.
Boleh juga ia tayammum jika ia mungkin melakukan pekerjaan ini.
Demikian beberapa contoh yang kita ambil dari kitab Syi'ah sendiri, yaitu kitab „Al-Masa'il Al-Muntakhabah" (Nejef, 1382 H), karangan seorang ulama Syi'ah terkenal Sayyid Abdil Qasim Al-Khu'i.