Mazhab Sjia'h mewadjibkan kejakinan berpegang kepada imam, jang selalu harus ada ditengah-tengah masjarakat Islam, sebagaimana jang pernah terdjadi dalam masa Rasulullah, bahwa semua orang Islam berimam kepadanja. Imam itu harus merupakan pemimpin dalam urusan dunia dan urusan agama, seolah-olah ia pengganti Nabi dalam kekuasaan dan kesempurnaannja, ia menguruskan peradilan, mengepalai masjarakat. memimpin ketenteraan, mengimami salat, mengurus keuangan negara, menjelenggarakan kepentingan negara, jang semua perkara-perkara itu diatur dengan peraturan-peraturan jang chusus jang disiarkan dan dijalankan oleh pembantu-pembantunja. Semua ini terdjadi pada diri Nabi dalam masa hidupnja.
Dan oleh karena itu mazhab Sji'ah, terutama Imamijah, tidak mau meninggalkan kesempurnaan itu.
Mengenai masaalah pengangkatan imam sesudah wafat Nabi bagi masjarakat Islam seluruhnja, ada bermatjam-matjam pendapat orang.
Orang Sji'ah berkata, kewadjiman itu dikembalikan kepada Allah, ialah jang akan mengkat seseorang imam bagi 'manusia.
Ahli Sunnah berpendapat, kewadjiban itu tidak dapat dikembalikan kepada Tuhan, tetapi kewadjiban itu tetap terletak diatas pundak manusia.
Orang-orang Chawaridj mengatakan, bahwa mengangkat imam itu tidak perlu sama sekali, tidak merupakan suatu kewadjiban jang dikembalikan kepada Tuhan, dan tidak pula merupakan suatu kewadjiban jang dipikulkan kepada manusia.
Seorang ulama Ahli Sunnah, Ala'uddin Ali bin Muhammad Al-Qarasi (mgl. 879 H), berkata dalam kitabnja bernama "Sjarh at-Tadjrid" mengenai sedjarah perkembangan kewadjiban pengangkatan imam sebagai berikut. Dalam menetapkan kewadjiban pengangkatan imam itu, Ahli Sunnah menetapkan dalilnja atas ldjma' sahabat Nabi, sehingga mereka itu menganggap pengangkatan penggantian Nabi itu. jang dinamakan imam atau chalifah itu suatu kewadjiban jang penting. Mereka mengadakan penetapan ini dikala Rasulullah hendak dikuburkan, dan meneruskan adat itu pada tiap-tiap kematian seorang imam. Sebagaimana diriwajatkan, bahwa tatkala Nabi wafat, Abu Bakar lalu berchutbah : "Wahai manusia ! Barangsiapa menjembah Muhammad, Muhammad itu sudah mati, tetapi barangsiapa menjembah Tuhan Muhammad, Tuhan Muhammad itu tidak akan mati-mati, oleh karena itu mesti kita selesaikan pekerdjaan ini, keluarkanlah pendapat dan pandanganmu, moga-moga Tuhan memberi rahmat kepadamu !"
Maka sesudah utjapan Abu Bakar ini, dari segala aliran datanglah mereka mengemukakan pengetahuannja. jang membenarkan pendapat Abu Bakar, bahwa harus ada penjelesaian tentang imam itu, dan tidak ada seorangpun jang mengatakan tidak wadjib pengangkatan imam penggantian Nabi itu.
Chawaridj mendasarkan pendiriannja tidak wadjib mengangKat imam, atas kejakinan, bhw. pengangkatan itu akan menimbulkan fitnah dan peperangan, karena tiap-tiap suku dan golongan akan mengemukakan tjalon sendiri, dengan demikian tidaklah akan didapati persesuaian pendapat diantara golongan-golongan itu. Dengan alasan demikian Chawaridj menganggap lebih baik menutup pintu pengangkatan itu. Tetapi djika didapati kata persesuaian mengenai sjarat-sjarat kesempurnaan imam dan persetudjuan pengangkatannja, barulah mereka membolehkan 'mengangkat imam itu.
Alasan-alasan Sji'ah Imamijah didasarkan kepada kanjataan, bahwa pengangkatan imam itu diserahkan kepada Tuhan Jang Maha Kuasa dan Maha Esa. Ada tiga sebab mereka berbuat demikian. Pertama penentuan itu tidak terdjadi dengan ichtiar manusia, tetapi atas kemurahan Tuhan dan belas kasihannja terhadap hambanja, karena imam itulah jang mendekatkan manusia itu mentaati Tuhannja, dengan memberikan penerangan dan pertundjuk, dan dialah jang mendjauhkan pengikutnja daripada ma'siat, melarang mereka dan mempertakutinja mengerdjakan Kedjahatan-kedjahatan dengan segala akibatnja. Dan oleh karena itu penundjukan ini sebenarnja wadjib daripada Tuhan sendiri.
Pendirian Sji'ah jang demikian itu didjelaskan pula oleh Ah Ardabli (mgl. 993 H), seorang ulama Sji'ah Imamijah terbesar, menerangkan, bahwa alasan kemurahan Tuhan ini. jang dipakai oleh Imamijah itu tepat, karena dialah jang setepat-tepatnja memilih imam itu, mendjadikannja. memberikan kekuasaan dan ilmu kepadanja. dengan taufik Tuhan ia dapat memilih njash jang didjalankan atas namanja. semua ini terdjadi dengan iradah Tuhan, jang menentukan perkara-perkara dan kewadjiban. ada jang diperuntukkan buat imam dan ada jang diperutukkan buat rakjat. jang mentaati imam itu.
Kedua, bahwa Allah dan Rasulnja telah menjatakan semua hukum-hukumnja, jg. ketjil dan jg. besar, tidak ada pekerdjaan dan perkataan seseorang manusiapun. jang terluput dimasukkan kedalam lingkaran hikmah hukum-hukumnja itu. Maka oleh karena itu, bagaimana mungkin manusia mengangkat seorang imamnja dengan meninggalkan kekuasaan Tuhan itu baik jang berkenaan dengan urusan keduniaan, maupun jang bersangkutan dengan kehidupan achiratnja.
Ketiga maka oleh karena itu Sji'ah membuat perbandingan dengan diri Nabi Muhammad sendiri, jang tidak seorang djuapun mengangkatnja ketjuali dengan nubuwah, jang hanja berada dalam tangan Tuhan sendiri, baru diketahui oleh Nabi pada waktu diangkatnja mendjadi Rasul, ia sendiri tidak berdaja upaja.
Oleh karena itu orang Sji'ah menjimpulkan. bahwa ichtiar memilih imam itu dikembalikan sadja kepada Allah, tidak ada jang dapat mengetahui rahasia imam itu, melainkan Allah, hanja Allah jang dapat melihat kesanggupannja.
Meskipun demikian orang-orang Sji'ah menetapkan sifat-sifat imam sebagai sjarat, diantara lain, hendaklah ia ma'sum, karena tudjuan daripada keimaman itu ialah memberi pertundjuk kepada manusia atas djalan jang benar dan melarang mereka berbuat jang salah. Oleh karena itu kalau ia sendiri dibolehkan berbuat salah dalam hukum, bagaimana dapat membersihkan sesuatu dengan kekotoran.
Lain daripada itu seorang imam harus lebih mulia dan utama dalam mata rakjatnja melebihi rakjatnja dalam ilmu pengetahuan dan achlak, karena djika dalam hal ini dia tidak lebih afdhal, tentu ada orang lain jang melebihinja, atau jang menjamainja sehingga tidak lajak ia mendjadi orang utama bersamaan dengan mengutamakan murid daripada guru, jang tentu ditjela oleh agama. Lalu orang Sji'ah mendasarkan pendapatnja kepada firman Tuhan, ajat 35 surat Junus, jang berbunji : "Katakanlah, bahwa Allah jang menundjuki kepada kebenaran. Manakah jang lebih patut diikut, jg. menundjuki kepada kebenarankah atau jang tidak dapat pertundjuk melainkan djika ditundjuki ? Mengapa kamu ini ? Bagaimanakah kamu ? mendjatuhkan hukum ?".
Ada satu persoalan mengenai keimanan Sji'ah ini, jaitu persoalan sesudah Nabi, mengapa Ali ?.
Sesudah Sji'ah menetapkan nash kewadjiban imam daripada Allah, mereka berkata, bahwa menurut hukum imam sesudah Nabi wadjib djatuh kepada Ali bin Thalib, karena dua alasan, menurut alasan Qur'an dan menurut alasan Snnah.
Pertama, sebagai alasan dari Qur'an, diketemukan dlm ajat 58 dari surat al-Ma'idah jg kalau diterdjemahkan berbunji sebagai berikut : ,,Adapun imam kamu itu Allah dan Rasulnja, kemudian mereka jang beriman, jang mendirikan sembahjang. membajar zakat dan mereka itu sedang ruku". Ajat ini turun dengan disepakati oleh semua ahli tafsir mengenai Ali bin Abi Thalib, jang konon ketika itu sedang ruku, sebagai mendjawab pertanjaan orang, siapa pang harus ditaati.
Kedua, sebagai alasan dari Sunnah orang-orang Sji'ah mengemukakan sebuah hadis, dimana Rasulullah sedang berbitjara dengan Ali bin Abi Thalib, jang berbunji demikian : „Engkau terhadapku seperti Harun dan Musa. Barangsiapa jang ingin mentjari wali (imam), maka Ali-lah jang akan djadi walinja Engkau saudaraku, engkau tempat wasiatku, dan engkau akan djadi chalifahku dikemudian hari ", dan banjak lagi hadis hadis jang lain.
Begitulah selandjutnja, orang Sji'ah mempergunakan hadis-hadis, jang menundjukkan ketjintaan Nabi kepada Hasan dan Husain serta keturunannja Ali jang lain, untuk alasan mereka memilih imam dari Ahlil Bait dan keturunan Nabi dari perkawinan Ali' dengan Fatimah itu.