Merajut Ridha Ilahi
Dikisahkan bahwa seorang sufi bernama Utbah bin Ghulam sering menghabiskan malamnya dalam ibadah, tetapi ibadah yang dilakukannya bukan hanya zikir dan salat. Adakalanya dia menghabiskan satu malam suntuk dengan hanya mengucapkan kalimat, “Ya Allah, jika Engkau mengasihiku, aku akan mencintai-Mu, dan jika Engkau mengukumku, aku pun tetap mencintai-Mu.” Apa yang dilakukan oleh Utbah ini adalah refleksi dari keridhaan.
Rida adalah kerelaan dan kepuasan, yang buahnya adalah cinta. Rida berarti tidak ada rasa kecewa, baik lahir maupun batin, di dalam hati ataupun dalam perkataan, sikap dan perbuatan. Orang yang rida adalah orang yang menghadapi kehidupan dengan optimis dan senantiasa bersyukur serta merasa senang atas segala apa yang diperolehnya, baik itu secara lahir adalah penderitaan ataupun kebahagiaan, kesuksesan atau kegagalan, kekayaan atau kemiskinan. Semua peristiwa yang menimpa dirinya akan diterima dengan lapang dada, rela, dan ikhlas yang dipenuhi dengan kesucian hati. Hal ini karena, orang yang rida telah memiliki kecintaan yang hakiki kepada Allah swt, sehingga apapun yang diberikan Allah kepadanya, dia akan merasa gembira dan bahagia. Jadi, orang yang rida adalah orang yang tidak berontak batinnya terhadap segala cobaan Allah swt, tetapi ia menerimanya dengan senang hati. Di dalam hatinya tidak ada perasaan benci. Ketika malapetaka menimpanya, hatinya merasa rela dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Allah swt. Rabiah al-Adawiyah berkata, “seorang hamba disebut ridha jika dia senang ketika ditimpa musibah sebagaimana dia senang ketika mendapatkan kenikmatan”.
Rida yang seperti ini adalah kondisi jiwa yang terpuji dan merupakan akhlak yang mulia. Rida yang dibalut dengan cinta yang mendalam kepada Allah swt akan membuat seseorang bersikap menerima apapun yang dilakukan oleh kekasihnya (Allah swt). Bila seseorang mendapatkan kesenangan dan kenikmatan, kemudian ia merasa rida, maka itu adalah hal yang lumrah. Namun, jika seseorang merasa rida saat mendapatkan musibah dan bencana, maka hal itu adalah kemuliaan yang menakjubkan. Bukankah pepatah mengatakan, “Cinta sejati adalah keridaan atas pemberiaan yang dicintai”. Allah swt berfirman :“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: “Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah,” (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” (Q.S. at-Taubah : 59)
Rida dapat dibagi menjadi dua jenis :
Rida terhadap syariat, hukum, berbagai peraturan yang diturunkan Allah swt. Allah swt sebagai pencipta manusia telah menurunkan berbagai perintah dan larangan, hukum dan peraturan, agar manusia dapat mencapai kesempurnaan diri. Orang yang rida akan mengikuti segala aturan, perintah, dan hukum-hukum yang diberlakukan Tuhan dan menerimanya dengan sepenuh hati sebagaimana disebutkan pada ayat di atas.
Rida terhadap ketentuan Tuhan yang menimpa dirinya (takdir). Orang yang rida adalah orang yang akan menerima takdir dan ketentuan Tuhan yang telah ditetapkan pada dirinya. Semua ketetapan atau takdir Allah swt, bagi orang yang rida, adalah keindahan dan kenikmatan sehingga ia akan menghiasi dirinya dengan rasa syukur, sabar dan tawakal. Al-Harits berkata : “Keridaan (ridha) adalah ketenangan kalbu terhadap ketetapan yang berlaku”. Dan Dzun Nun al-Mishri berkata, “Keridaan adalah kebahagiaan kalbu terhadap qadha yang pahit.
Kedua jenis rida di atas dengan jelas menunjukkan bahwa rida berarti menerima apa saja yang telah ditetapkan Allah swt, baik itu hukum, ataupun segala bentuk fenomena yang dialami di dalam kehidupan ini, baik yang menyusahkan maupun menyenangkan. Abu Ali ad-Daqaq mengatakan, “Tidak dapat disebut ridha orang yang belum pernah mendapatkan musibah, tetapi, sudah cukup disebut ridha jika seseorang tidak menentang hukum dan keputusan Allah swt.” Nabi Musa as, pernah berdoa, “Ya Allah, tunjukanlah kepadaku perbuatan yang apabila kukerjakan, Engkau meridhaiku.” Allah berfirman, “Engkau tidak akan mampu mengerjakan hal itu.” Nabi Musa as pun jatuh tersungkur bersujud, kemudian Allah mewahyukan kepadanya, “Wahai putera Imran, Aku akan ridha, jika engkau ridha terhadap apapun ketetapan-Ku”. Jadi, rida kepada Allah swt ini muncul dari keyakinan bahwa ketetapan Allah swt terhadap seseorang lebih baik daripada keputusan orang itu sendiri bagi dirinya. Kalau orang sudah rida atas ketetapan Allah, niscaya Allah swt juga akan rida kepadanya. Sayidina Umar ra, pernah menulis surat kepada Abu Musa al-Asyari yang salah satu isinya mengatakan, “…Segala kebaikan terletak di dalam keridhaan, maka jika engkau mampu, jadilah orang yang ridha, dan jika engkau tidak mampu, maka jadilah orang yang sabar.”
Keridaan seorang hamba kepada Allah dan perkenan Allah swt terhadap hamba-hamba-Nya hanya dapat diraih melalui tahapan penyucian jiwa, sehingga seseorang memperoleh ketentraman jiwa. Hanya orang yang memiliki ketentraman jiwa serta tulus kepada Allah yang akan mendapat panggilan keridaan Allah swt, “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhan-mu dengan hati yang puas lagi diridhai, maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (Lihat Q.S. 89 : 27-30).