Menafsir Ulang Makna Islam dalam Alquran (1)
Selama ini, kita dibingungkan oleh pemaknaan yang umum digunakan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan “kepatuhan total” kepada Tuhan, dalam artian negatif, tetapi dalam konteks komunikasi kemanusiaan kata itu justru dipahami sebagai “paksaan” kepada manusia lain untuk mematuhi dan menjalankan perintah Tuha secara sukarela atau terpaksa. Dengan kata lain, bagi penganutnya kata itu digunakan arti negatif, sebagai sikap tunduk secara total, sebaliknya diartikan secara positif, sebagai tindakan pemaksaan bagi kelompok lain di luar peganutnya.
Berbeda dengan tradisi agama-agama di dunia yang mengikuti nama pembawanya, Islam menurut Smith merupakan agama yang sejak awal membawa namanya sendiri. Kata Islam muncul dalam Alquran dan Umat Islam meyakini konsep ini, sembari menolak penamaan agama ini dikaitkan dengan Muhammad sebagai pembawanya dengan istilah Muhammadanism, sebagaimana dituduhkan para pemikir luar, Orientalis.
Dalam Alquran, bentuk kata yang berkaitan dengan “Islam” berbeda-beda, baik dari segi kata maupu makna. Kata “Islam” dalam Alquran berakar kata “s-l-m” dan dari akar kata ini dapat diturunkan berbagai bentuk kata. Akar kata ini berarti “merasa aman, utuh dan integral.” Karena kata cabang yang diturunkan dari akar kata ini berbeda-beda, tentunya maknanya juga mengalami perbedaan dan bahkan plural. Dari akar kata yang berbeda-beda itu, makna kata “Islam” dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Pertama, kata “Islam” bermakna “agama”. Kata “Islam” dengan makna ini disebutkan sekitar 50 kali dalam Alquran, dengan pembagian 8 kali berbentuk kata benda, 3 kali sebagai kata sifat laki-laki “muslim”, dan 39 kali disebutkan sebagai kata sifat jamak. Namun, ayat yang menunjukkan kata “Islam” sebagai agama dikemukakan hanya sebanyak 3 kali.
Kedua, dengan akar kata yang sama dengan Islam sebagai agama, kata cabang dari kata “Islam” seperti “aslama” dan yang senada dengannya, bermakna ketundukan dan penyerahan diri, dan ia disebutkan sebanyak 24 kali dalam Alquran. Kata bentuk ini bermakna meyerahkan diri seperti aslama wajhahu lillahi yang berarti “menyerahkan diri”, khususnya kepada Allah. Pada masa pra-Islam, kata “Islam” berarti seorang laki-laki yang menyerahkan barang berharga miliknya yang sulit dilepaskan dan ditinggalkan, kemudian diserahkan kepada seseorang yang memintanya. Setelah masuk ke dalam semantik Alquran, kata aslama mengalami perubahan makna, dari yang semula menyerahkan sesuatu kepada orang lain yang memintanya, beralih menyerahkan sesuatu kepada Tuhan. Khususnya menyerahkan diri sendiri dalam bentuk ibadah.
Kedua bentuk dan makna kata “Islam” di atas mengalami dialektika. Kata “Islam” sebagai agama, acapkali dikaitkan dengan kata “taslim”, bentuk mashdar dari “aslama” , sehingga Islam dipahami sebagai ajaran agama yang berarti mengajarkan sikap ketundukan dan kepasrahan total pada kehendak Tuhannya. Pendek kata ia berarti penyerahan diri pada Tuhan tanpa syarat, sebagaimana doa Nabi Ibrahim dan Ismail kepada Tuhan, “Ya Tuhan kami, jadikan kami berdua orang yang tunduk dan patuh kepada Engkau.” Menurut Tosihiku Izutsu, tunduk dan patuh di sini dalam pengertian total dan tidak bersyarat. Bahkan Mahmud Muhammad Thaha, memaknai alam sebagai muslim karena ia tunduk pada aturan kosmos Tuhan, dan agama bagi alam oleh Muhammad Thaha disebut sebagai agama umum. Jika alam yang tidak mempunyai akal saja dapat tunduk pada Tuhan lalu bagaimana dengan manusia. Ketundukan manusia pada Tuhan tentunya berbeda dengan sikap ketundukan alam, karena itu, agama yang dimaksud di mana manusia tunduk kepada Tuhan adalah agama khusus yang disebut agama kesadaran. Namun anehnya, kata “Islam” dan “Muslim” yang berarti agama yang mengajarkan penyerahan diri, acap kali digunakan dalam arti harfiahnya dalam Alquran. Akibatnya, agama Islam bermakna doktrin dan bersifat memaksa kepada semua orang, memaksa mereka tunduk pada Tuhan dan melaksanakan perintah Tuhan.
Ketiga, bermakna kedamaian dengan bentuk kata “salam” yang dalam Alquran disebutkan sekitar 157 kali, dengan rincian : berbentuk kata benda sebanyak 79 kali, sebanyak 50 kali berbentuk kata sifat dan berbentuk kata kerja sebanyak 28 kali. Atau dalam bentuk kata benda sebanyak 129 kali dan kata kerja 28 kali. Yang perlu diperhatikan dari kata Islam yang bermakna kedamaian ini adalah mencari argumen kenapa bentuk kata “benda” lebih banyak jumlahnya dari bentuk kata “kerja”. Jawaban atas pertanyaan ini begitu penting mengingat semagat menjalankan ajaran Islam terdapat di dalamnya. Hal ini tentunya mengandung rahasia tersendiri dari Alquran. Menurut Hassan Hanafi, kata benda berarti “substansi”, sedang kata kerja berarti “aksi”. Sejalan dengan makna tersebut, kata “salam” dalam Alquran berarti merealisasikan nilai-nilai kedamaian secara objektif dan kreatif. Kedamaian bukan saja diucapkan, tetapi juga direalisasikan ke dalam kehidupan sosial masyarakat yang plural.
Dari pelacakan akar kata dan cabangnya mengenai kata “Islam” di atas, terlihat adanya titik terang bahwa di dalam Alquran, makna “kedamaian” lebih populer ketimbang makna “agama.” Jika kepopuleran dipandang cukup signifikan dalam merumuskan suatu wacana, tentunya Islam sebagai nilai-nilai kedamaianlah yang menjadi konsentrasi pesan universal Alquran—sembari tanpa menegaskan Islam dalam arti sebagai agama yang bersifat eksklusif—, bukan agama yang sudah terlembaga yang kerjanya hanya mengadili orang.
Dengan analisis ini, maka penempatan kata “Islam” sebagai agama yang bersifat eksklusif, dalam posisi sentral semantik Alquran, tidak dapat dipertahankan secara semantik, sebaliknya kata “Islam” dalam arti kedamaianlah yang sejatinya ditempatkan sebagai poros semantik Alquran. Dengan cara ini, kata “Islam” dalam pengertian inklusif bakal menjadikan Islam sebagai penebar kedamaian, bukan penghancur kedamaian. Kesimpulan ini sejalan dengan hadis Nabi saw tentang pengertian seorang muslim, “Orang Islam adalah orang yang dapat menyelamatkan orang lain dari lisan dan tangannya”. Orang Islam jika bertemu dengan sesama muslim, menurut pengertian ini, dianjurkan mengucapkan salam demi perdamaian, assalamu ‘alaikum. Ucapan ini mempunyai arti berdoa, baik dalam bentuk lisan maupun aksi, bukan malah menghancurkan dan menyerang dengan tujuan agar bumi Allah hanya dihuni orang-orang Islam. Karena itulah, surga pun disebut “dar as-salam” , rumah bagi orang-orang yang damai, yang bersikap damai dan memberikan kedamaian bagi orang lain.
*Disadur dari buku Dr. Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum Al-Quran : Memburu Peesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya, Pustaka Pelajar : Jakarta, 2009.