Apakah Islam memperbolehkan kita untuk bernadzar untuk selain Allah?(1)
- Dipublikasi pada
-
- pengarang:
- Najmudin Tabasi - Penerjemah: Nasir Dimyati
- Sumber:
- Rowafid al-Iman ila Aqoid al-Islam
Ibnu Taimiyah mengatakan: “Menurut ulama’ kita, tidak boleh hukumnya perbuatan nadzar apapun untuk kuburan atau siapa saja yang bersebelahan dengannya, baik sesuatu yang dinadzarkan itu berupa dirham, minyak, lilin, binatang atau apa saja yang selainnya, semua itu masuk kategori nadzar yang maksiat, karena sungguh telah terbukti dalam hadis sahih bahwa barangsiapa yang bernadzar untuk taat kepada Allah maka hendaknya dia menaati-Nya, dan barangsiapa yang bernadzar untuk maksiat kepada Allah maka hendaknya dia tidak bermaksiat kepada-Nya”.
Dia juga mengatakan: “Jika permintaan itu ditujukan kepada orang-orang yang mati –meskipun mereka adalah para nabi– maka hukumnya terlarang, karena dikhawatirkan terjadi kesyirikan terhadap Allah, itulah sebabnya perbuatan nadzar untuk kuburan atau untuk penghuni kuburan adalah nadzar yang haram dan batil serta menyerupai perbuatan nadzar untuk berhala-berhala, dan siapa saja yang meyakini bahwa perbuatan nadzar untuk kuburan adalah bermanfaat atau berpahala maka dia adalah orang yang sesat dan bodoh”.
Kritik atas Pandangan
Kritikan pertama yang menggugurkan pandangan Wahabisme di atas adalah yang dimaksud dengan nadzar di sini ialah nadzar sedekah dengan tujuan menghadiahkan pahalanya kepada Rasulullah saw., wali Allah, atau orang saleh, dan bukan dengan tujuan menyembah atau mendekatkan diri kepada selain Allah swt.
Maka sepatutnya bagi mereka untuk tidak gegabah dalam mengkafirkan orang lain atau menyerang muslimin dengan fatwa-fatwa yang tidak dipertimbangkan secara cukup, sebaliknya lebih beralasan apabila mereka menghukumi perbuatan orang yang muslim dengan sah dan benar.
Alasan kenapa tempat-tempat tertentu yang dipilih, karena kemuliaannya, sehingga dengan itu diharapkan pahala ibadah yang dilakukan di sana jadi berlipat ganda. Hal yang sama juga menjadi alasan kenapa ada waktu-waktu tertentu yang dipilih untuk beribadah. Selain itu juga didukung oleh beberapa hadis sebagai berikut:
Hadis-hadis tentang Nadzar
1. Diriwayatkan dari Tsabit bin Dhahhak bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah saw. tentang dirinya yang bernadzar untuk menyembelih binatang di Buwanah , Rasulullah saw. bertanya: “Apakah di sana ada berhala-berhala Jahiliyah yang disembah?”, sahabat yang hadir pada waktu itu menjawab: “Tidak”, lalu beliau kembali bertanya: “Apakah di sana dirayakan hari-hari besar Jahiliyah?”, mereka menjawab: “Tidak”, maka Rasulullah saw. bersabda: “Penuhilah nadzarmu, karena nadzar yang tidak boleh dipenuhi adalah nadzar dalam hal maksiat kepada Allah atau dalam sesuatu yang tidak dimiliki oleh anak Adam”.
2. Maymunah meriwayatkan bahwa ayahnya bertanya kepada Rasulullah saw. tentang dirinya yang bernadzar untuk menyembelih lima puluh kambing di Buwanah, beliau bertanya kepadanya: “Apakah di sana ada berhala-berhala?”, dia menjawab: “Tidak”, maka Rasulullah saw. bersabda: “Jika begitu maka penuhilah nadzarmu”.
Mungkin hadis ini satu dengan hadis sebelumnya dan hanya sedikit berbeda dalam redaksinya. Dan mungkin pertanyaan Rasulullah saw., tentang apakah di sana terdapat berhala yang disembah atau apakah di sana dirayakan hari-hari besar Jahiliyah, untuk menyingkirkan kekhawatiran nadzar itu dilakukan sesuai dengan adat istiadat Jahiliyah yang masih belum lama berlalu.
Kritikan yang selanjutnya berkisar dalam makna nadzar itu sendiri. Nadzar adalah hendaknya seseorang mengharuskan dirinya untuk melakukan sesuatu tertentu dengan syarat jika targetnya terealisasi dan kebutuhannya terpenuhi, lalu dia berkata: Wajib bagiku demi Allah untuk melakukan ini (perbuatan) jika itu (target atau kebutuhan) terjadi.
Ini adalah nadzar yang sah menurut syari’at Islam, adapun ibarat nadzartu lifulan (aku bernadzar untuk sifulan) bersifat majas dan merupakan singkatan dari nadzartu lillahi ‘ala an af’ala sya’ian yakunu tsawabuhu lifulanin (aku bernadzar demi Allah untuk melakukan ini (perbuatan) yang pahalanya aku hadiahkan untuk si fulan).
Apakah Keserupaan Membolehkan Pengkafiran
Hal yang sangat mengherankan adalah pengkafiran yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah terhadap orang-orang muslim yang bernadzar sebagaimana di atas dengan alasan mereka telah melakukan sesuatu yang menyerupai perbuatan orang-orang musyrik.
Jika memang keserupaan menjadi tolok ukur, maka banyak perbuatan-perbuatan yang menyerupai perbuatan orang-orang musyrik, seperti beberapa ritual haji yang secara dzohir serupa dengan perbuatan orang musyrik; thawaf mengelilingi Ka’bah, mencium Ka’bah, menyembelih binatang dan lain sebagainya.
Tolok ukur yang tepat adalah niat dan bukan keserupaan dengan sesuatu atau tidak. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya semua perbuatan dinilai dari niatnya”.
Azzami Syafi’i mengatakan: “Siapa saja yang mencari tahu keadaan muslimin yang melakukan nadzar tersebut maka dia pasti sampai pada kenyataan bahwa mereka tidak bermaksud apa-apa dari sembelihan dan sesuatu yang mereka nadzarkan untuk orang-orang mati kecuali sedekah dari pihak orang-orang yang mati tersebut dan menghadiahkan pahalnya kepada mereka.
Mereka juga tahu bahwa Ulama Ahli Sunnah berijmak atau bersepakat bahwa sedekahnya orang yang hidup juga bisa bermanfaat bagi orang mati dan pahalanya bisa sampai kepada mereka, hal itu didukung oleh hadis-hadis yang sahih sekaligus masyhur, seperti:
Hadis sahih dari Sa’ad; dia bertanya kepada Nabi saw.: “Wahai Nabiyullah! Ibuku telah mati, dan aku tahu andaikan dia sekarang hidup maka dia akan bersedekah, oleh karena itu apabila aku bersedekah dari pihak dia apakah sedekah itu bermanfaat baginya?”, beliau menjawab: “Iya”. Lalu Sa’ad bertanya lagi kepada beliau: “Sedekah apa yang paling bermanfaat wahai Rasulullah saw.?” beliau menjawab: “Air”. Maka Sa’ad menggali sumur dan berkata: “Sumur ini diniatkan untuk Ummu Sa’ad”.
Ibnu Taimiyah dan orang-orang yang sependapat dengan dia salah dalam memandang muslimin, mereka beranggapan bahwa kata “untuk” dalam ucapan orang-orang muslim yang mengatakan “Sedekah ini untuk Nabi saw. atau untuk wali Allah” adalah sama dengan kata “untuk” yang digunakan saat kita bernadzar; “Aku bernadzar untuk Allah”, mereka mengira Nabi saw. atau wali itu menjadi maksud utama orang yang menyebutnya sebagaimana saat kita menyebut Allah swt.. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah dan semisalnya lalai atau pura-pura lalai bahwa perbuatan itu dilakukan oleh muslimin untuk mengabdi pada Allah swt. dan mendekatkan diri kepada-Nya, sedangkan kata “untuk” dalam ucapan mereka menunjukkan pihak yang diniatkan dalam sedekah tersebut.
Azzami mengatakan: “Kata “untuk” dalam ucapan Sa’ad digunakan dengan maksud menunjukkan pihak yang diniatkan dalam sedekah dan bukan bermaksud menyembah atau mendekatkan diri kepada pihak tersebut, itulah juga yang dimaksudkan oleh muslimin pada ucapan-ucapan mereka, mereka mengikuti jejak Sa’ad dan tidak mengikuti para penyembah berhala, dan kata “untuk” itu sama halnya dengan kata “untuk” dalam firman Allah swt.:
اِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلفُقَرَاءِ وَ المَسَاکِینِ / التوبة: 60.
Artinya: “Sedekah-sedekah itu hanyalah untuk orang-orang fakir dan orang-orang miskin”. (QS. At-Taubah: 60).
Berkelanjutan......