Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Wahyu dan Kenabian

1 Pendapat 05.0 / 5

Petunjuk Universal

Dari konsepsi tauhid tentang dunia dan manusia lahir

keyakinan kepada wahyu dan kenabian. Kalau meyakini

wahyu dan kenabian, maka meyakini pula universalitas

petunjuk Allah. Prinsip petunjuk universal merupakan

bagian dari konsepsi tauhid tentang dunia, dan konsepsi

ini diajukan oleh Islam. Karena Allah SWT wajib ada

sendiri dalam setiap hal dan Maha Pemurah, maka Dia

memberikan karunia-Nya kepada setiap wujud sesuai

dengan kemampuan masing-masing wujud, dan membimbing

setiap wujud dalam perjalanan evolusionernya. Yang

dibimbing oleh Allah adalah segala sesuatu, dari

partikel yang sangat kecil sampai bintang yang sangat

besar, dan dari wujud tak bernyawa yang paling rendah

sampai wujud bernyawa yang paling tinggi yang kita

ketahui, yaitu manusia. Itulah sebabnya Al-Qur’an Suci

menggunakan kata “wahyu” dalam hubungannya dengan

bimbingan untuk wujud inorganis, tanaman dan binatang.

Penggunaan kata “wahyu” ini persis seperti ketika Al-

Qur’an Suci menggunakannya dalam hubungannya dengan

bimbingan untuk manusia.

Di dunia ini tiap-tiap sesuatu senantiasa bergerak.

Tiap-tiap sesuatu selalu bergerak menuju tujuannya.

Pada saat yang sama, semua indikasi menunjukkan bahwa

tiap-tiap sesuatu didorong menuju ke tujuannya oleh

suatu kekuatan misterius yang ada di dalam dirinya.

Kekuatan ini disebut petunjuk atau bimbingan Allah.

Al-Qur’an Suci menyebutkan bahwa Nabi Musa as berkata

kepada Fir’aun pada masanya, yang artinya sebagai

berikut:
Tuhan kami adalah (Tuhan) yang telah memberikan kepada

tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian

memberinya petunjuk. (QS. Thâhâ: 50).

Dunia kita ini merupakan sebuah dunia yang penuh dengan

tujuan. Tiap-tiap sesuatu diarahkan untuk menuju ke

tujuan evolusionernya oleh kekuatan yang ada di dalam

dirinya, dan kekuatan yang ada di dalam dirinya itu

adalah petunjuk Allah.

Kata “wahyu” berulang-ulang digunakan dalam Al-Qur’an

Suci. Bagaimana kata itu digunakan, dan untuk

kesempatan apa kata itu digunakan, memperlihatkan bahwa

Al-Qur’an Suci menganggap wahyu bukan untuk manusia

saja. Menurut Al-Qur’an Suci, wahyu juga untuk tiap-

tiap sesuatu, setidak-tidaknya untuk semua makhluk

hidup. Itulah sebabnya Al-Qur’an Suci bahkan berbicara

tentang wahyu untuk lebah. Yang dapat dikatakan adalah

bahwa wahyu dan petunjuk ada tingkatan-tingkatannya.

Tingkatannya beragam, sesuai dengan beragamnya tingkat

evolusi tiap-tiap sesuatu yang berbeda-beda.

Wahyu yang derajatnya paling tinggi adalah wahyu yang

diberi-kan kepada para nabi. Basis wahyu seperti ini

adalah kebutuhan manusia akan petunjuk Tuhan. Dengan

petunjuk Tuhan inilah manusia dapat melangkah menuju

suatu tujuan. Dan tujuan ini berada di luar alam

material yang kasat mata ini. Dan manusia harus menuju

ke tujuan ini. Wahyu juga memenuhi kebutuhan manusia

dalam kehidupan sosialnya, suatu kehidupan yang

membutuhkan suatu hukum yang diridai oleh Allah. Sudah

kami jelaskan kebutuhan manusia akan sebuah ideologi

yang evolusioner, dan juga sudah kami jelaskan

ketidakmampuan manusia untuk merumuskan sendiri

ideologi semacam itu.

Para nabi merupakan semacam perangkat penerima yang

berbentuk manusia. Mereka merupakan orang-orang pilihan

yang mampu menerima petunjuk dan ilmu pengetahuan dari

alam gaib. Allah sajalah yang dapat menilai siapa yang

tepat untuk menjadi nabi. Al-Qur’an Suci memfirmankan:
Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas

kerasulan. (QS. al-An’âm: 124).

Kendatipun wahyu merupakan sebuah fenomena, dan

fenomena ini berada di luar jangkauan persepsi dan

eksperimen langsung manusia, namun dampaknya dapat

dirasakan—seperti dampak banyak kekuatan lain—dalam

efek-efek yang dilahirkannya. Wahyu Tuhan melahirkan

dampak yang besar sekali pada pribadi penerimanya,

yaitu nabi. Wahyu “mengangkat” nabi ke kebenaran.

Dengan kata lain, wahyu menghidupkan bakat dan

kemampuan nabi, dan mewujudkan revolusi yang besar

serta mendalam pada diri nabi untuk kepentingan umat

manusia. Dengan wahyu, nabi memperoleh keyakinan

mutlak. Sejarah belum pernah menyaksikan keyakinan

seperti keyakinan para nabi dan orang-orang binaan

nabi.


Ciri Khas Nabi

Nabi yang, berkat wahyu, punya kontak dengan sumber

eksistensi, memiliki ciri-ciri khas tertentu:

1.  Mukjizat
Setiap nabi yang diangkat oleh Allah memiliki kekuatan

supranatural. Dengan kekuatan ini nabi dapat melakukan

perbuatan mukjizat, untuk membuktikan bahwa risalah dan

misinya itu benar dan berasal dari Tuhan. Al-Qur’an

Suci menyebut “ayat” untuk mukjizat yang dilakukan oleh

nabi dengan kehendak Allah, yaitu “ayat” (tanda)

kenabian. Al-Qur’an Suci menyebutkan bahwa di setiap

zaman orang meminta kepada nabi di zaman mereka untuk

memperlihatkan beberapa mukjizat kepada mereka. Karena

permintaan tersebut masuk akal, maka nabi mengabulkan

permintaan mereka, karena kalau tidak, maka orang yang

mencari kebenaran mustahil mau mengakui kenabian. Namun

nabi tak mau mengabulkan permintaan untuk

memperlihatkan mukjizat kalau tujuannya bukan untuk

mencari kebenaran. Misal, orang berkata kepada nabi mau

masuk agama yang dibawa nabi kalau nabi memperlihatkan

mukjizat, permintaan mereka diabaikan. Namun, Al-Qur’an

Suci menyebutkan banyak mukjizat nabi, seperti meng­

hidupkan orang yang sudah mad, menyembuhkan penyakit

yang tak dapat disembuhkan, dapat berbicara ketika

masih bayi, mengubah tongkat menjadi ular, menjelaskan

kegaiban dan memaparkan kejadian-kejadian yang akan

terjadi di masa mendatang.

2.  Maksum
Ciri khas lain nabi adalah maksum, yaitu tak mungkin

berbuat dosa atau berbuat keliru. Nabi tak dikuasai

oleh keinginan pribadinya. Nabi tidak berbuat salah.

Kemaksuman nabi tak dapat disangkal lagi. Namun apa

sesungguhnya arti kemaksuman nabi? Apakah artinya

adalah bahwa bila nabi mau berbuat dosa atau salah,

malaikat datang mencegahnya seperti seorang bapak

mencegah anaknya agar tidak tersesat? Atau, apakah

artinya adalah bahwa nabi diciptakan sedemikian rupa

sehingga nabi tak dapat berbuat salah, persis seperti

malaikat yang, misalnya, tak mungkin berbuat zina

karena malaikat tak punya nafsu seksual, atau seperti

mesin, yang tak melakukan kesalahan karena mesin tak

punya otak? Atau, alasan kenapa nabi tidak berbuat

salah adalah karena nabi telah dianugerahi intuisi

(gerak hati), iman dan keyakinan yang istimewa

tingkatannya? Ya, itulah satu-satunya penjelasan yang

benar. Sekarang mari kita bahas satu persatu mukjizat

dan kemaksuman.


Maksum

Manusia adalah makhluk yang merdeka. Manusia menentukan

apa saja yang bermanfaat bagi dirinya dan apa saja yang

merugikan bagi dirinya. Berdasarkan itu manusia

memutuskan apa yang akan dilakukannya. Penilaiannya

berperan penting dalam pilihannya. Mustahil manusia

memilih melakukan sesuatu yang menurut penilaiannya

akan merugikan dirinya. Misal, orang yang sehat

pikirannya yang punya perhatian kepada hidupnya tak

mungkin mau menjatuhkan dirinya dari atas bukit, juga

mustahil dia mau minum racun yang mematikan.

Dari segi kekuatan iman dan kesadaran akan konsekuensi

dosa, tiap-tiap orang berbeda-beda. Semakin kuat

imannya, semakin sadar dia, semakin sedikit dosa yang

akan dilakukannya. Kalau iman seseorang begitu kuat,

maka bila dia berbuat dosa dia merasa seakan-akan

tengah mencampakkan diri dari atas bukit, sehingga

peluangnya untuk melakukan dosa jadi tak ada artinya.

Keadaan seperti ini kami sebut maksum. Di sini

kemaksuman terjadi karena kesempurnaan iman dan takwa.

Agar bisa maksum, manusia tak membutuhkan kekuatan dari

luar dirinya untuk mengendalikan dirinya agar tidak

berbuat dosa. Juga dia tak perlu jadi tidak berdaya.

Tidak berbuat dosa tidak patut dipuji jika manusia

tidak mampu berbuat dosa, atau jika dia dihalangi oleh

kekuatan dari luar dirinya. Posisi orang yang tak mampu

berbuat dosa adalah seperti posisi narapidana yang tak

mampu berbuat jahat. Tentu saja narapidana tak dapat

digambarkan sebagai orang yang jujur dan lurus.

Kemaksuman nabi merupakan hasil dari intuisinya.

Kesalahan terjadi kalau seseorang berhubungan dengan

realitas melalui indera batiniah dan lahiriahnya. Dan

kemudian dia membuat gambaran mental tentang realitas

itu yang dianalisisnya dengan menggunakan kemampuan-

kemampuan mentalnya. Dalam hal itu dia dapat saja

berbuat salah dalam menyusun gambaran mentalnya, atau

dalam menerapkan gambaran tersebut pada realitas yang

ada di luar dirinya. Namun bila dia memahami realitas

itu langsung melalui indera khusus, sehingga tak perlu

lagi menyusun gambaran mental tentang realitas

tersebut, dan pemahamannya tentang realitas itu saja

sudah berarti hubungan langsungnya dengan realitas itu,

maka tidak timbul masalah melakukan kesalahan. Para

nabi berhubungan dengan realitas alam semesta dari

dalam diri mereka. Tentu saja tak dapat dibayangkan

terjadinya kesalahan pada realitas itu sendiri. Misal,

kalau kita menaruh seratus manik-manik tasbih di dalam

sebuah bejana, kemudian menaruh seratus lagi, dan

perbuatan ini diulang seratus kali, maka kita tak

mungkin mampu ingat persis hitungannya dan tak mungkin

yakin apakah kita mengulang perbuatan itu seratus kali,

sembilan puluh sembilan kali atau seratus satu kali.

Namun realitas yang sesungguhnya, yaitu jumlah yang

sesungguhnya dari manik-manik tersebut, tak mungkin

lebih sedikit atau lebih banyak dari realitasnya.

Orang-orang yang berada di tengah-tengah realitas dan

dekat dengan akar eksistensi tak mungkin melakukan

kesalahan. Mereka maksum.


Beda Nabi dan Orang Jenius

Dari sini jelaslah beda antara nabi dan orang jenius.

Orang jenius adalah orang yang memiliki daya

intelektual yang tinggi, dan pemahamannya juga luar

biasa. Orang jenius bekerja berdasarkan data mentalnya

sendiri, dan membuat kesimpulan dengan meng­gunakan

kemampuan otaknya. Orang jenius terkadang melakukan

kekeliruan ketika membuat kalkulasi. Di samping

memiliki kemampuan otak dan kemampuan membuat

kalkulasi, nabi juga memiliki kekuatan lain yang

disebut wahyu, sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang

jenius. Karena itu, tak mungkin untuk membandingkan

orang jenius dengan nabi. Orang jenius dan nabi beda

golongannya. Kita bisa saja membandingkan kemampuan dua

orang dalam melihat dan mendengar, namun kita tak dapat

membandingkan daya lihat seseorang dengan daya dengar

orang lain lalu kita katakan mana yang lebih kuat.

Orang jenius memiliki daya pikir yang luar biasa,

sedangkan nabi memiliki kekuatan yang sama sekali beda,

dan kekuatan ini disebut wahyu. Nabi selalu berhubungan

erat dengan Sumber eksistensi. Karena itu, tidaklah

betul kaiau membandingkan orang jenius dengan nabi.

3.  Petunjuk
Kenabian berawal dari perjalanan spiritual dari makhluk

ke Allah dan memperoleh kedekatan dengan-Nya.

Perjalanan seperti ini mengandung arti meninggalkan

yang lahir dan menuju ke yang batin. Namun demikian,

pada akhirnya ujung perjalanan tersebut berupa

kembalinya nabi kepada manusia dengan maksud

mereformasi kehidupan manusia, dan memandu kehidupan

manusia ke jalan lurus.

Dalam bahasa Arab, ada dua kata untuk nabi: Nabi dan

Rasul Secara harfiah, arti nabi adalah orang yang

membawa kabar, sedangkan arti rasul adalah utusan. Nabi

membawa risalah Allah untuk manusia. Nabi menggali dan

mengorganisasi kekuatan manusia yang terpendam. Nabi

mengajak manusia untuk berpaling kepada Allah dan untuk

mewujudkan apa yang diridai-Nya: Perdamaian, kebajikan,

non-kekerasan, keadilan, kejujuran, kelurusan, cinta,

keterbebasan dari segala yang berbau kekufuran, dan

kebajikan-kebajikan lainnya. Nabi membebaskan umat

manusia dari belenggu ketundukan kepada hawa nafsu dan

Tuhan-tuhan palsu.

Dr. Iqbal, ketika menguraikan perbedaan antara nabi dan

orang yang memiliki “pengalaman menyatu”, mengatakan:
“Orang sufi tak mau kembali dari kedamaian, “pengalaman

menyatua-nya.. Kalau pun dia kembali, dan ini memang

harus, kembalinya dia itu tak berarti banyak bagi umat

manusia pada umumnya. Kembalinya nabi bersifat kreatif.

Nabi kembali untuk memasuki jalan waktu dengan maksud

mengendalikan kekuatan-kekuatan sejarah. Karena itu,

nabi menciptakan dunia ideal yang baru. Bagi orang

sufi, kedamaian “pengalaman menyatu” merupakan sesuatu

yang final. Bagi nabi, itu merupakan kesadaran atau

kebangkitan di dalam dirinya dan leluasanya kekuatan-

kekuatan psikologis, yang diperhitungkan untuk

sepenuhnya mentransformasi dunia manusia.” (The

Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal.

124).

4.  Ikhlas
Nabi percaya kepada Allah, dan tak pernah lalai dengan

misi yang diamanatkan kepadanya oleh Allah. Nabi

menunaikan tugasnya dengan sedemikian ikhlas. Tujuan

nabi tak lain adalah membimbing umat manusia, seperti

yang diperintahkan oleh Allah. Nabi tak minta upah

untuk misinya.

Dalam Surah asy-Syu’arâ` diikhtisarkan apa yang

dikatakan banyak nabi kepada kaum mereka. Tentu saja,

setiap nabi membawa risalah untuk kaumnya. Dan risalah

tersebut sesuai untuk problem-problem yang dihadapi

kaumnya. Namun demikian, ada substansi yang diungkapkan

dalam risalah setiap nabi. Setiap nabi berkata, “Aku

tak menginginkan upah darimu.” Karena itu, tulus

merupakan salah satu watak khas nabi. Itulah sebabnya

risalah para nabi selalu begitu tegas dan pasti. Para

nabi merasa “diangkat”, dan mereka sedikit pun tidak

meragukan fakta bahwa mereka mendapat amanat berupa

misi yang amat penting dan bermanfaat. Kemudian mereka

menyampaikan risalah mereka, dan tanpa ragu membelanya

dengan penuh kekuatan yang belum pernah terjadi

sebelumnya.

Ketika Nabi Musa as dan saudaranya, Nabi Harun as

menghadap Fir’aun, mereka sama sekali tak memiliki

perlengkapan kecuali pakaian yang melekat di badan

mereka dan tongkat kayu di tangan mereka. Mereka

meminta Fir’aun agar menerima risalah mereka. Mereka

mengatakan dengan pasti bahwa jika Fir’aun mau menerima

risalah mereka, maka kehormatan Fir’aun akan

terlindungi, dan kalau tidak, maka Fir’aun akan

kehilangan pemerintahannya. Fir’aun terpesona dengan

perkataan mereka.

Pada hari-hari pertama kenabiannya, ketika jumlah kaum

Muslim tak lebih dari sepuluh orang, Nabi Muhammad saw

suatu hari, yang dalam sejarah dikenal sebagai Hari

Peringatan, mengumpulkan para senior Bani Hasyim, dan

menyampaikan Risalahnya kepada mereka. Nabi saw dengan

tegas mengatakan bahwa agamanya akan tersebar ke

seluruh dunia, dan bahwa kalau mereka memeluk agamanya,

maka hal itu adalah demi kepentingan mereka sendiri.

Bagi mereka, kata-kata ini luar biasa. Mereka saling

pandang dengan mata terbelalak. Kemudian mereka bubar

tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Ketika pamannya, Abu Thalib, menyampaikan kepadanya

pesan dari kaum Quraisy, yang isinya bahwa kaum Quraisy

mau memilihnya menjadi raja mereka, mau menikahkannya

dengan putri suku yang paling cantik, dan menjadikannya

orang yang terkaya di masyarakat mereka, asalkan dia

tak lagi berdakwah, Nabi Muhammad saw menjawab bahwa

dirinya tak akan mundur satu inci pun dari misi

sucinya, sekalipun mereka meletakkan matahari di

tangannya yang satu dan bulan di tangannya yang satunya

lagi. Kemaksuman merupakan hasil wajib dari komunikasi

nabi dengan Allah. Begitu pula, tulus dan teguh had

juga merupakan ciri khas wajib dari kenabian.

5.   Konstruktif
Nabi mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya

untuk maksud-maksud membangun, yaitu untuk mereformasi

individu-individu dan masyarakat, atau dengan kata lain

untuk mewujudkan kesejahteraan manusia. Mustahil kalau

aktivitas para nabi merugikan individu-individu atau

merugikan masyarakat luas. Karena itu, jika ajaran

seseorang yang mengaku dirinya nabi berakibat kerusakan

atau ketidaksenonohan, melumpuhkan kekuatan manusia,

atau menyebabkan jatuhnya martabat masyarakat, maka itu

merupakan bukti jelas bahwa dia adalah penipu.

Dalam kaitan ini, Dr. Iqbal dengan jitu mengatakan:

“Cara lain untuk mengetahui nilai pengalaman religius

nabi adalah mengkaji tipe manusia seperti apa yang

berhasil diciptakannya, dan dunia budaya yang terbentuk

dari roh risalahnya.” (The Reconstruction of Religious

Thought in Islam, hal. 124).

6.  Perjuangan dan Konflik
Perjuangan seorang nabi menentang penyembahan berhala,

mitos, kebodohan, pikiran palsu dan tirani, merupakan

tanda lain kebenaran seorang nabi. Mustahil kalau dalam

risalah seseorang yang dipilih oleh Allah untuk menjadi

nabi-Nya ada nada keberhalaan, nada yang mendukung

tirani dan ketidakadilan, atau nada yang mentoleransi

kemusyrikan, kebodohan, mitos, kekejaman atau

kelaliman.

Tauhid, akal dan keadilan merupakan sebagian prinsip

yang diajarkan oleh semua nabi. Risalah dari orang-

orang yang mengajar-kan prinsip-prinsip ini sajalah

yang patut dipertimbangkan, dan mereka sajalah yang

dapat diminta untuk memberikan bukti atau mukjizat.

Jika risalah yang disampaikan oleh seseorang mengandung

unsur yang tak rasional atau bertentangan dengan

prinsip-prinsip tauhid dan keadilan, atau mendukung

tirani, maka risalah tersebut sama sekali tak patut

dipertimbangkan. Dalam kasus seperti itu, sama sekali

tak perlu memintanya untuk memberikan bukti yang

memperkuat klaimnya. Begitu pula terhadap seorang

penipu ulung yang berbuat dosa, yang melakukan

kesalahan besar, atau yang tak mampu membimbing orang

akibat mengidap cacat jasmani atau penyakit yang

menjijikkan seperti lepra, atau akibat ajarannya tak

memberikan dampak yang konstruktif pada kehidupan

manusia. Andai saja penipu seperti itu memperlihatkan

keajaiban, mustahil atau tak masuk akal untuk

mengikutinya.

7.  Sisi Manusia
Para nabi, sekalipun memiliki banyak kemampuan

supranatural, seperti maksum, mampu melakukan perbuatan

mukjizat, mampu membimbing dan merekonstruksi, dan

mampu melakukan perjuangan luar biasa menentang

kemusyrikan, mitos dan tirani, namun tetap manusia

juga. Mereka, seperti manusia lainnya, makan, tidur,

berketurunan dan akhirnya meninggal dunia. Pada diri

mereka juga ada semua kebutuhan dasar manusiawi. Mereka

berkewajiban menunaikan tugas-tugas agama seperti orang

lain. Seperti orang lain, mereka juga tunduk kepada

semua hukum agama yang disampaikan melalui mereka.

Terkadang mereka bahkan memiliki tugas tambahan. Salat

tahajud yang sunah bagi orang lain, wajib bagi Nabi

Suci saw.

Para nabi tak pernah merasa diberi kebebasan untuk

tidak mengikuti perintah agama. Dibanding orang lain,

mereka justru jauh lebih takwa dan jauh lebih beribadah

kepada Allah. Mereka melakukan salat, berpuasa,

melakukan perang suci, membayar zakat, dan bersikap

baik had kepada manusia. Para nabi bekerja keras untuk

mendapatkan kesejahteraannya sendiri, dan juga untuk

mewujudkan kesejahteraan bagi manusia. Di kala hidup,

para nabi tak pernah menjadi beban bagi siapa pun.
Wahyu dan sifat-sifat khas yang berkaitan dengan wahyu,

merupakan satu-satunya pembeda antara nabi dan non-

nabi. Kenyataan bahwa nabi menerima wahyu tidak

menaflkan kemanusiaan nabi. Kenyataan tersebut justru

menjadikan nabi sebagai model “manusia sempuma”. Itulah

sebabnya nabi sedemikian tepat untuk membimbing

manusia.

8.  Nabi Membawa Syariat (Hukum) Tuhan
Pada umumnya ada dua golongan nabi. Golongan pertama,

yaitu golongan kecil, adalah nabi-nabi yang mendapat

syariat sendiri, yang diperintahkan untuk memberikan

petunjuk kepada manusia dengan berbasiskan syariat.

Al-Qur’an Suci menyebut para nabi ini dengan sebutan

nabi-nabi “berjiwa besar atau berhati mulia.” Kita tak

tahu persis berapa jumlah mereka. Al-Qur’an Suci dengan

tegas mengatakan telah menceritakan hanya kisah-kisah

tentang sedikk nabi. Kalau saja kisah-kisah tentang

semua nabi itu dicedtakan, atau setidaknya Al-Qur’an

Suci menyatakan telah menceritakan kisah-kisah tentang

semua nabi yang penting, tentu kita akan tahu jumlah

nabi yang berjiwa besar atau berhati mulia itu. Namun,

kita tahu bahwa Nuh as, Ibrahim as, Musa as, Isa as dan

Nabi terakhir Muhammad saw, termasuk di antara nabi-

nabi itu. Syariat diberikan kepada semua nabi yang

berhati mulia dan berjiwa besar itu. Nabi-nabi ini

diperintahkan untuk mendidik para pengikut mereka

dengan berdasarkan syariat.

Golongan kedua, adalah nabi-nabi yang tidak memiliki

syariat sendiri. Meski demikian, mereka ini

diperintahkan untuk mendakwahkan syariat Tuhan yang

sudah ada. Kebanyakan nabi termasuk dalam golongan ini.

Dalam golongan ini terdapat nama-nama seperti Hud as,

Saleh as, Luth as, Ishaq as, Ya’qub as, Yusuf as,

Syu’aib as, Harun as, Zakaria as dan Yahya as.