Kearifan dan Keadilan Ilahi
- Dipublikasi pada
-
- pengarang:
- Ayatullah Murtadha Muthahhari
- Sumber:
- (teosophy/ABNS)
Dalam hubungannya dengan konsepsi Ilahiah tentang
dunia, dalam ilmu ketuhanan dibahas beberapa masalah
tentang hubungan antara Allah dan dunia, seperti apakah
dunia ini, sementara atau abadi, dari manakah asal
segala sesuatu yang ada ini. Juga dibahas masalah-
masalah lain seperti itu. Namun, kalau melihat
keseimbangan segenap eksistensi, maka dapat dikatakan
di sini bahwa masalah-masalah kearifan dan keadilan
ilahi saling berkaitan erat. Kalau merujuk kepada
masalah keadilan Ilahi, maka dapat dikatakan bahwa
sistem dunia yang ada ini merupakan sistem yang paling
arif dan adil. Dasar sistem ini bukan saja pengetahuan,
kesadaran dan kehendak. Sistem ini juga merupakan
sistem yang paling baik dan sehat. Tak mungkin ada
sistem lain yang lebih baik daripada sistem ini. Dunia
yang ada ini merupakan yang paling sempurna.
Di sini muncul pertanyaan terkait. Kita tahu bahwa
dunia ini memiliki banyak fenomena seperti tidak
sempurna, buruk, atau tak berguna. Kearifan Ilahiah
menuntut agar yang dominan adalah kesempurnaan dan
bukannya ketidaksempurnaan, kebajikan dan keindahan
bukannya keburukan, kebergunaan bukannya kesia-siaan.
Ketidaksempurnaan gen dan bentuk tubuh manusia dan
binatang yang cacat, bencana alam dan kemalangan, serta
pemandangan yang menjijikkan, semuanya itu tampaknya
tidak sesuai dengan kearifan Ilahiah. Suatu sistem
dapat disebut adil kalau di dalam sistem itu tak ada
kesedihan, penderitaan dan diskriminasi yang tak
semestinya terjadi. Juga jika tak ada bencana dan
kemalangan. Dalam sistem yang adil, tak ada tempat bagi
kehancuran, karena tidaklah adil kalau makhluk
dihalangi dari mencapai kondisi yang sempuma setelah
makhluk itu ada. Kalau sistem dunia ini memang adil,
kenapa ada diskriminasi dan kesulitan seperti ini?
Kenapa yang ini putih dan yang itu hitam, yang ini
buruk dan yang itu cantik; yang ini sehat dan yang itu
sakit? Kenapa yang ini diciptakan sebagai manusia dan
yang itu diciptakan sebagai domba, kalajengking atau
cacing tanah? Kenapa yang ini diciptakan sebagai setan
dan yang itu sebagai malaikat? Kenapa semuanya tidak
diciptakan sama, atau tidak seperti adanya sekarang?
Misal, kenapa orang yang berkulit putih, rupawan atau
sehat tidak diciptakan berkulit hitam, buruk muka atau
sakit-sakitan? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini,
mengenai dunia ini, tampaknya menimbulkan teka-teki.
Konsepsi tauhid yang memandang dunia sebagai karya
Allah Maha Arif lagi Maha Adil harus menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Kalau diingat bahwa menjawab secara terperinci
pertanyaan-pertanyaan itu membutuhkan buku
berjilidjilid, lagi pula pokok masalah ini sudah kami
bahas dalam buku kami “al-‘Adl al-Ilahi” (sudah terbit
dalam edisi Indonesia dengan judul “Keadilan Ilahi”—
pen.), yang beberapa edisinya sudah terbit, di sini
kami cukup menyebutkan beberapa prinsip pokok, dan
kalau prinsip-prinsip ini dipahami maka solusi untuk
problem ini akan mudah didapat. Setelah memahami
prinsip-prinsip ini, pembaca akan mampu membuat
kesimpulan sendiri.
Prinsip Bahwa Allah Ada Sendiri dan Sempurna
Karena Allah mutlak ada sendiri dan memiliki kemampuan,
maka Dia tidak melakukan apa pun untuk mencapai
tujuan-Nya atau untuk meniadakan kekurangan pada Diri-
Nya (karena pada diri-Nya tak ada kekurangan—pen.).
Kearifan-Nya tidak berarti bahwa Dia memilih tujuan
terbaik dan menggunakan sarana terbaik untuk mencapai
tujuan tersebut. Pengertian kearifan seperti ini hanya
berlaku untuk manusia, dan tidak berlaku untuk Allah.
Arti kearifan-Nya adalah bahwa Dia berbuat untuk
memberdayakan segala yang ada agar dapat mencapai
tujuan keberadaannya. Dia membuat apa-apa yang
sebelumnya tak ada menjadi ada, dan membawanya ke
kesempurnaan yang sudah menjadi sifatnya. Berbagai
pertanyaan dan keberatan yang muncul dalam hal ini,
sebagian akibat membandingkan Allah dengan manusia.
Orang yang bertanya tentang kearifan dan manfaat
makhluk tertentu beranggapan bahwa Allah seperti
manusia berbuat sesuatu untuk mencapai tujuan-Nya.
Sebagian besar pertanyaan akan dengan sendirinya
terjawab, kalau sejak permulaan dia ingat bahwa apa
yang dilakukan Allah tak syak lagi ada tujuannya, namun
Allah sendiri tak memiliki tujuan-Nya sendiri. Tujuan
setiap makhluk melekat pada fitrah makhluk itu sendiri.
Dan Allah membawa setiap makhluk menuju fitrah ini.
Prinsip Sekuens
Eksistensi merupakan rahmat Allah untuk segenap alam
semesta. Tatanannya istimewa. Hubungan antar segala
yang ada adalah hubungan “dahulu” dan “kemudian” serta
“sebab” dan “akibat”. Tak ada yang dapat beranjak dari
posisi yang telah ditentukan untuknya. Juga, tak ada
yang dapat menempati tempat sesuatu yang lain. Tingkat
eksistensinya beragam. Satu dengan yang lain bedanya
jauh, bila dilihat dari segi tidak sempurna dan
sempurna, kuat dan lemah. Perbedaan ini merupakan
bagian penting dari tingkat-tingkat eksistensi. Ini
bukan diskriminasi, dan juga tak dapat dianggap
bertentangan dengan keadilan atau kearifan. Baru bisa
disebut diskriminasi kalau dua wujud yang kemampuannya
sama, kepada yang satu diberikan karunia, sedangkan
kepada yang satunya lagi tidak diberikan karunia. Akan
tetapi, kalau perbedaan itu terjadi akibat sifat
makhluk yang memang tidak sempurna, maka tak ada
pertanyaan diskriminasi.
Prinsip Generalitas
Juga ada kesalahpahaman lagi, yang terjadi akibat
membandingkan Allah dengan manusia. Manusia, kalau
mengambil keputusan, itu dilakukan pada waktu tertentu,
di tempat tertentu, dan dalam kondisi tertentu. Misal,
seseorang memutuskan akan membangun sebuah rumah. Agar
dapat membangunnya, dia kumpulkan, padukan dan tata
sejumlah batu bata, semen, baja, dan material lainnya.
Material-material ini tak memiliki hubungan yang
inheren (yang sudah menjadi sifatnya) satu sama lain.
Hasil akhirnya berupa berdirinya sebuah rumah.
Apakah Allah juga seperti itu? Apakah ciptaan Allah itu
ter-wujud dengan cara memadukan beberapa hal yang satu
sama lain tak ada hubungannya? Membuat hubungan-
hubungan tidak natural seperti itu merupakan pekerjaan
makhluk seperti manusia. Karena manusia merupakan
bagian dari sistem dunia. Dan dalam ruang lingkup
terbatas saja manusia dapat memanfaatkan kekuatan dan
kualitas wujud-wujud. Manusia tidak menciptakan
sesuatu. Dia hanya memproduksi gerak pada sesuatu yang
sudah ada. Bahkan gerak yang diproduksinya tidak
alamiah, melairikan dibuat-buat. Sedangkan Allah
menciptakan segala sesuatu beserta segenap kekuatan dan
kualitas segala sesuatu itu.
Manusia memanfaatkan api dan listrik. Api dan listrik
ini sudah ada. Dia membuat persiapan sedemikian,
sehingga dia dapat memanfaatkan api dan listrik bila
dibutuhkan. Dan untuk menyelamatkan diri dari akibatnya
yang merugikan, manusia dapat memadamkannya bila sudah
tidak dibutuhkan lagi. Sedangkan Allah menciptakan api,
listrik beserta segenap dampak dan kemampuannya. Adanya
api dan listrik itu saja sudah berarti bahwa keduanya
dapat menimbulkan panas, gerak dan dapat membakar.
Allah tidak menciptakan api dan listrik untuk orang
teltentu atau untuk kesempatan tertentu. Api dapat
memanaskan gubuk si miskin, sekaligus dapat membakar
pakaian si miskin bila terjilat, karena Allah telah
menciptakan api memiliki sifat membakar. Kalau kita
melihat api dalam konteks keseluruhan sistem dunia ini,
tentu kita dapati api itu bermanfaat dan dibutuhkan.
Tidak penting apakah bagi orang tertentu atau untuk
kejadian tertentu api itu bermanfaat atau tidak.
Dengan kata lain, untuk kearifan Ilahiah, tujuan
akhirnya ber-kaitan dengan perbuatannya, bukan dengan
pelakunya. Allah itu arif, dalam pengertian bahwa Dia
telah menciptakan sebaik-baik sistem untuk
memberdayakan wujud-wujud agar dapat mencapai tujuan
diciptakannya wujud-wujud itu. Arti kearifan-Nya
bukanlah bahwa Dia telah mempersiapkan sebaik-baik
sarana untuk meniadakan kekurangan-Nya sendiri, untuk
mewujudkan dalam bentuk konkret kemampuan potensial-Nya
atau untuk mencapai tujuan evolusioner-Nya sendiri.
Kita juga harus ingat bahwa tujuan tindakan Allah
adalah mencapai tujuan umum dan bukan tujuan tertentu.
Api telah diciptakan untuk pada umumnya membakar. Tidak
diciptakan untuk membakar benda tertentu pada ke
sempatan tertentu pula. Karena itu, dari sudut pandang
kearifan Ilahiah, tidaklah penting apakah api itu
bermanfaat atau merugikan untuk kasus per kasus.
Prinsip Kemampuan Menerima Karunia
Bahwa Allah Mahakuasa lagi Maha Pemurah belumlah cukup
bagi terwujudnya suatu realitas. Agar realitas itu ada,
maka realitas itu harus memiliki kemampuan untuk
menerima karunia-Nya. Dalam banyak kasus,
ketidakrnampuan sebagian wujud menyebabkan wujud-wujud
tersebut kehilangan beberapa keuntungan. Dari sudut
pandang sistem umum ini dan hubungannya dengan Wujud
Yang Ada Sendiri, rahasia munculnya kekurangan-
kekurangan tertentu seperti bodoh dan tidak mampu,
terletak pada ketidak-mampuan wujud-wujud yang memiliki
kekurangan-kekurangan seperti itu.
Prinsip Wajib Ada
Karena Zat Allah itu wajib ada, maka segenap sifat-Nya
juga wajib ada. Karena itu, mustahil kalau sesuatu yang
patut ada, lalu Allah tidak memberikan eksistensi
kepada sesuatu itu.
Prinsip Relatif
Buruk artinya adalah tak adanya suatu kualitas,
contohnya adalah kebodohan, ketidakmampuan dan
kemiskinan, atau artinya juga adalah buruk karena
menyebabkan kehancuran, contohnya adalah gempa bumi,
kuman pembawa penyakit, banjir, hujan es disertai angin
ribut dan seterusnya. Segala yang menyebabkan
kehancuran, sifat buruknya itu relatif dan hanya
berkenaan dengan hal-hal lain. Sesuatu yang buruk,
sesungguhnya ia itu sendiri tidak buruk. Buruknya
adalah untuk sesuatu yang lain. Eksistensi sejati
setiap sesuatu adalah eksistensinya sendiri. Eksistensi
relatifnya hanyalah konseptual dan derivatif, sekalipun
itu bagian integral dari eksistensi riilnya.
Prinsip Saling Bergantung
Baik dan buruk bukanlah dua kualitas yang masing-masing
mandiri. Buruk merupakan suatu kualitas integral dari
baik. Buruk, yang mengindikasikan tak adanya suatu
kualitas, menunjukkan ketidakmampuan sesuatu yang
secara potensial mampu. Begitu sesuatu itu praktis
mampu, maka karunia Allah kepada sesuatu itu tak
terelakkan. Adapun keburukan yang tidak membentuk
kualitas negatif, maka akarnya selalu ada di kebaikan.
Prinsip Tak Ada Keburukan Murni
Tak ada keburukan murni. Non-eksistensi merupakan
pendahuluan untuk eksistensi dan kesempurnaan.
Keburukan merupakan satu tahap dari evolusi. Memang,
setiap awan hitam ada lapisannya yang berwarna perak.
Prinsip Hukum dan Norma
Dunia ini diatur dengan sebuah sistem sebab-akibat.
Seperti sudah dikemukakan sebelumnya, sistem ini
berbasis hukum dan norma universal. Al-Qur’an dengan
tegas membenarkan fakta ini.
Prinsip Satu Unit Tak Terbagi
Di samping sistemnya yang sudah tak dapat disangsikan
lagi, dunia itu sendiri merupakan satu unit yang tak
terbagi dan satu struktur fisis yang tunggal. Karena
itu, keburukan tak dapat dipisahkan dari apa yang baik.
Keburukan dan non-eksistensi bukan saja tak dapat
dipisahkan dari kebaikan dan eksistensi, namun juga
merupakan satu “manifestasi” yang tunggal.
Berdasarkan sepuluh prinsip ini, maka hanya ada dua
kemungkinan: Pertama, dunia ini ada dengan sistem
khasnya. Kedua, dunia ini sama sekali tak ada. Tidaklah
mungkin kalau dunia ini ada tanpa sistem khasnya atau
dengan sistem lainnya seperti, misalnya, sebab
menempati posisi akibat dan akibat menempati posisi
sebab. Karena itu, dari sudut pandang kearifan Ilahiah,
maka yang mungkin adalah dunia ini ada dengan sistemnya
yang ada sekarang, atau, kalau tidak, dunia ini tak ada
sama sekali. Jelaslah, karena kearifan, maka yang
dipilih adalah eksistensi, bukan non-eksistensi.
Karena sesuatu tak mungkin ada kecuali ia memiliki
kualitas-kualitas yang esensial dan tak terpisahkan
dari dirinya, maka tak dapat dibayangkan bila
berpikiran bahwa kebaikan dapat dipisahkan dari
keburukan atau bahwa non-eksistensi dapat dipisahkan
dari eksistensi. Dari sudut pandang ini pula, kearifan
Ilahiah dapat menuntut eksistensi keburukan dan
sekaligus kebaikan, atau kalau tidak, non-eksistensi
keburukan dan sekaligus kebaikan. Kearifan Ilahiah tak
dapat menuntut eksistensi kebaikan dan non-eksistensi
keburukan.
Juga, yang mungkin ada adalah alam semesta ini dalam
bentuk satu unit. Eksistensi satu bagiannya dan non-
eksistensi bagian lainnya tidaklah mungkin. Karena itu,
dari sudut pandang kearifan Ilahiah, masalah yang dapat
dipertimbangkan adalah eksistensi atau non-eksistensi
alam semesta ini, bukan eksistensi atau non-eksistensi
bagian alam semesta ini.
Prinsip-prinsip di atas, jika diselami isinya dengan
saksama, cukup untuk menghilangkan segenap keraguan dan
kesulitan berkenaan dengan kearifan dan keadilan
Ilahiah. Lagi, silakan pembaca merujuk ke buku kami
“al-‘Adl al-Ilâhî” (Keadilan Ilahi). Dan mohon
toleransinya kalau kami menganggap perlu mengangkat di
sini soal-soal yang lebih tinggi tingkatannya
dibandingkan tingkat buku ini. Akhirnya, mengingat
fakta bahwa masalah keadilan Ilahiah memiliki sejarah
khusus, dan oleh kaum Syiah keadilan Ilahiah dianggap
sebagai salah satu rukun iman mereka, maka tak ada
salahnya kalau membahas juga sejarahnya secara singkat.
Sejarah Prinsip Keadilan dalam Budaya Islam
Kaum Syiah menganggap doktrin keadilan sebagai rukun
iman. Dalam prakata untuk buku kami “al-‘Adl al-Ilâhi”
(Keadilan Ilahi), kami katakan bahwa doktrin keadilan
memiliki dua segi: Keadilan Ilahiah dan keadilan
manusiawi. Lagi, keadilan Ilahiah dibagi menjadi dua
bagian: (1) keadilan kreasional dan (2) keadilan
manusiawi legislatif. Keadilan manusiawi legislatif
juga memiliki dua fase: (a) keadilan individual dan (b)
keadilan sosial. Keadilan yang dipandang sebagai ciri
khas doktrin atau prinsip Syiah dan oleh kaum Syiah
diyakini sebagai rukun iman adalah keadilan Ilahiah.
Keadilan Ilahiah merupakan bagian integral dari
konsepsi Islam tentang alam semesta.
Arti keadilan Ilahiah adalah bahwa Allah adil, dan
dalam sistem penciptaan dan sistem pembuatan Undang-
undang-Nya Allah bertindak sesuai dengan kebenaran dan
keadilan. Kenapa prinsip keadilan menjadi rukun iman
bagi kaum Syiah, alasannya adalah karena sebagian kaum
Muslim sedikit banyak telah menafikannya, dan penafian
ini sungguh bertentangan dengan kemerdekaan manusia.
Mereka menafikan bekerjanya prinsip sebab-akibat dalam
sistem alam semesta maupun dalam urusan manusia. Mereka
berpendapat bahwa takdir ilahi bekerja langsung, tidak
menggunakan perantara sebab-akibat. Menurut mereka, api
tidak membakar, namun Allah lah yang membakarnya.
Begitu pula, magnet tak punya peran dalam menarik besi
ke arahnya, namun Allah lah yang menarik besi itu ke
arah magnet. Manusia tidak berbuat baik dan juga tidak
berbuat buruk, namun Allah lah yang berbuat seperti itu
secara langsung melalui perantara manusia.
Di sini muncul pertanyaan penting: jika sistem sebab-
akibat tidak ada, dan manusia tak memiliki daya untuk
memilih, kenapa seseorang diberi pahala atau hukuman
untuk perbuatan baik atau dosa yang dilakukannya?
Kenapa Allah memberikan pahala kepada sebagian orang
dan memasukkan mereka ke dalam surga, dan kenapa Allah
menghukum sebagian lainnya dan mencampakkan mereka ke
dalam neraka, bila Allah sendiri yang melakukan semua
perbuatan baik dan buruk? Jika manusia tak memiliki
kemerdekaan dan tak punya pilihan, maka tidaklah adil
dan bertentangan dengan prinsip keadilan Ilahiah bila
menghukum manusia karena perbuatan yang berada di luar
kemampuannya.
Sebagian besar orang Syiah dan sebagian orang Sunni
(kaum Mu’tazilah) menolak teori yang menyebutkan bahwa
manusia dipaksa (tak punya pilihan—pen.) dan bahwa
takdir Ilahiah bekerja langsung di dunia ini. Menurut
mereka, teori atau pandangan ini bertentangan dengan
prinsip keadilan. Di samping mengemukakan argumen-
argumen berbasis nalar, mereka juga mengutip ayat Al-
Qur’an Suci dan hadis untuk mendukung keyakinan mereka.
Itulah sebabnya mereka dikenal dengan sebutan ‘Adliyah
(kaum pendukung keadilan).
Dan uraian di atas, jelaslah selain fakta bahwa prinsip
keadilan merupakan prinsip Ilahiah dan berkaitan dengan
salah satu sifat Allah, prinsip keadilan juga merupakan
prinsip manusiawi, karena prinsip keadilan juga
menyangkut kemerdekaan manusia dan kemampuan manusia
untuk memilih. Karena itu, bagi kaum Syiah dan kaum
Mu’tazilah, arti mengimani prinsip keadilan adalah
percaya bahwa manusia itu merdeka, bahwa manusia itu
ber-tanggung jawab, dan bahwa manusia itu punya peran
membangun.
Pertanyaan yang sering kali mengusik benak kita dalam
kaitannya dengan keadilan Ilahiah, khususnya di zaman
modern ini, menyangkut kasus-kasus tertentu perbedaan
sosial. Mengapa sebagian orang buruk rupa, sementara
sebagian lainnya rupawan; kenapa sebagian orang sehat,
sementara sebagian lainnya sakit-sakitan, kenapa
sebagian orang kaya dan berpengaruh, sementara sebagian
lainnya miskin dan tak punya pengaruh?
Bukankah perbedaan ini bertentangan dengan prinsip
keadilan Ilahiah? Bukankah keadilan Ilahiah menghendaki
kesamaan bagi semua orang dalam hal kekayaan, usia,
jumlah anak, posisi sosial, popularitas dan
kemasyhuran, dan tidak menghendaki adanya perbedaan
dalam hal-hal ini? Apakah perbedaan dalam hal-hal ini
dapat dijelaskan dengan cara lain selain mengimani
takdir Ilahiah?
Pertanyaan ini timbul akibat tidak memperhatikan
bagaimana kerjanya takdir Ilahiah. Rupanya si penanya
beranggapan bahwa takdir Ilahiah bekerja langsung,
bukan melalui perantara sebab-akibat. Nampaknya juga si
penanya berpikiran bahwa kesehatan, rupawan, kekuasaan,
posisi, popularitas dan karunia-karunia lain Allah
dibagikan langsung kepada manusia oleh tangan gaib yang
mengambil karunia-karunia tersebut langsung dari tempat
penyimpanan karunia.
Fakta bahwa karunia, entah yang material atau yang
spiritual, tidak dibagikan langsung, kurang mendapat
perhatian yang memadai. Takdir Ilahiah telah membangun
sistem dan sejumlah hukum serta norma. Siapa pun yang
menghendaki sesuatu, dia harus berupaya mendapatkan
sesuatu itu melalui sistem itu, dan dengan mengikuti
hukum dan norma itu.
Terjadinya kesalahpahaman juga akibat kurang
memperhatikan posisi manusia sebagai makhluk yang
bertanggung jawab yang berupaya memperbaiki dan
meningkatkan kondisi hidupnya, yang melawan rintangan-
rintangan alam dan yang berupaya keras melawan
keburukan sosial dan tirani.
Kalau terjadi perbedaan dalam masyarakat manusia, dan
bila ada orang yang punya segalanya serta ada orang
yang nasibnya cuma harus selalu berjuang keras untuk
mendapatkan sesuap nasi, maka yang bertanggung jawab
atas keadaan seperti ini bukanlah takdir Ilahiah.
Manusialah yang bertanggung jawab atas terjadinya
perbedaan itu, karena manusia itu sendiri merdeka.