Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Studi Memahami Makna Teks Al-Qur’an

1 Pendapat 05.0 / 5

Apakah kitab Al-Qur’an hanya berperan sebagai kitab disucikan? Ataukah ia sebagai hikmah mendasar perbuatan kalam Tuhan, di samping berperan sebagai kitab bacaan, tadabbur, telaah dan berfikir, pemahaman, implementasi hukum dan akhlak, juga berperan sebagai kitab sentral nilai dari kehidupan manusia?


Jika Al-Qur’an di samping sebagai bacaan, juga perenungan, dan pemahaman, apakah setiap orang tanpa syarat pendahuluan bisa menerima dan memahami makna suci cahaya langit serta penyampai pesan rabbani ini? Ataukah dalam memahami teks suci ini memerlukan suatu rangkaian syarat-syarat pendahuluan yang dibutuhkan?


Suatu hal yang aksiomatis bahwa untuk memahami Al-Qur’an sebagai sumber mendasar makrifat agama dibutuhkan serangkaian piranti-piranti khusus sebagai kelengkapan pengetahuan untuk memahami isi dan kandungan kitab wahyu Ilahi ini. Akan tetapi piranti-piranti ini, siapakah yang menentukan dan bagaimana cara mengetahuinya?


Dengan menganalisa masalah ini jelaslah bahwa terdapat dua faktor mendasar dalam menentukan piranti-piranti ini: Pertama, ruang lingkup dan subjek penelitian yang jadi fokus tinjauan, dan kedua, kedudukan pengkaji dan pembaca teks.


Dalam masalah ini, jelas bahwa subjek dan fokus makna yang ingin dipahami adalah Kalam Ilahi. Dimana tidak ada syak, kalam ini sesuai dengan keniscayaan maqam dari pembicaranya secara universal sangat berbeda dengan kalam manusia; kendatipun bisa saja secara partikular akan ditemukan kesamaan di antara keduanya. Dengan demikian, Al-Qur’an secara bentuk dan struktur lahiriah bahasa tetap memperhatikan metode pembicaraan dan pemahaman konvensional masyarakat berakal. Oleh karena itu, secara sistem ia mengikuti piranti-piranti dan kaidah-kaidah pembicaraan konvensional masyarakat.


Meskipun demikian, teks Al-Qur’an dari sudut kandungan mempunyai kekhususan di samping tolak ukur pada umumnya dalam pemahaman bahasa konvensionalnya, yakni ia memiliki serangkaian parameter lain yang bersifat spesifik. Ia sebagai kitab penutup wahyu Ilahi yang mempunyai keuniversalan dan kesempurnaan syariat Ilahi, tentunya secara niscaya mengandung nilai-nilai universal dan prinsip-prinsip mendasar pandangan hidup Ilahiah dan nilai-nilai hidup Ilahiah. Sebagai konklusinya, mengungkap dan menjelaskan pandangan hidup dan nilai-nilai hidup tersebut serta penerapan mereka terhadap dunia eksternal butuh kepada sunnah pembawanya, yakni orang yang diwahyukan (baca: Nabi Saw), dan juga kapasitas pemikiran dan rasionalitas manusia, yakni pembaca teks serta penerapannya atas peristiwa-peristiwa kehidupan keimanan kaum muslimin dalam berbagai zaman.
Dari sudut lain, Al-Qur’an bukan hanya kitab yang mengandung ilmu pengetahuan dan makrifat terhadap nilai-nilai keharusan dan ketidakharusan, akan tetapi misi utamanya adalah menghidayahi ummat manusia dan mentarbiyah mereka untuk sampai pada kesucian dan kesempurnaaan. Al-Qur’an membahasakannya dalam bentuk pernyataan Ilahi tentang tujuan dari pengutusan Rasul di tengah masyarakat:


“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul (Muhammad) dari (kalangan) kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu serta mengajarkan kepadamu al-kitab dan hikmah, dan mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”(QS: Al-Baqarah: 151).
Dengan tinjauan ini maka untuk memahami keseluruhan makrifat kitab wahyu ini tidak hanya cukup dengan aplikasi mental serta penyerapan dari makna-makna teks eksternal, akan tetapi juga dibutuhkan kesucian batin pembaca dan penafsir teks untuk menyentuh kesucian maknanya. Sebagaimana terbahasakan sendiri oleh Al-Qur’an:


انّه لقرآن کریم فی کتاب مکنون لا یمسّه الّا المطهّرون (الواقعة/77-79)
“Sesungguhnya Al-Qur’an yang sangat mulia, dalam Kitab yang terpelihara, tidak menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan”.
Amirul Mukminin Ali Alaihissalam dalam sebuah khutbahnya mengatakan bahwa ilmu dan makrifat Al-Qur’an tidak memahaminya kecuali mereka yang memiliki dzauq terhadap teksnya, karena itu pelajarilah kepada ahlinya:


انّ علم القرآن لیس یعلم ما هو الّا من ذاق طعمه، فعلم بالعلم جهله، و بصر به عماه، و سمع به صممه، و ادرک به ما قد فات، و حیی بعد اذ مات، فاطلبوا ذلک عند اهله… (وسائل، ج18، باب 13، حدیث 26).
Para pakar Al-Qur’an mengutarakan beberapa kriteria ilmu-ilmu mukadimah yang diperlukan untuk membantu memahami teks-teks Al-Qur’an dengan baik, serta di samping itu juga dibutuhkan ilmu “mauhibah” yang didapatkan dari kesucian bathin. Raghib Isfahani seorang ilmuan Al-Qur’an dalam kitab Muqaddimah Tafsirnya menjelaskan tentang hal ini:


و الواجب ان یتبیّن اوّلاً ما ینطوی علیه القرآن و ما یحتاج الیه من العلوم، فنقول و بالله التوفیق. انّ جمیع شرائط الایمان و الاسلام التی دعینا الیها و اشتمل القرآن علیها ضربان: علم غایته الاعتقاد، و هو الایمان بالله و ملائکته و کتبه و رسله و الیوم الاخر. و علم غایته العمل، و هو معرفة احکام الدین و العمل بها. و العلم مبدأ و العمل تمام. و لا یتمّ العلم دون عمل، و لا یخلص العمل دون العلم و لذلک لم یفرد تعالی احدهما من الاخر فی عامة القرآن، نحو قوله: و من یؤمن بالله و یعمل صالحاً.
Selanjutnya ia berkata: Tidak mungkin mendapatkan keduanya (ilmu dan amal) kecuali dengan perantara ilmu lafziyyah, aqliyyah, dan mauhibiyyah. Kemudian ia menyebutkan sepuluh ilmu yang menjadi piranti dan alat seorang mufassir untuk memahami makna dari teks-teks Al-Qur’an. Kesepuluh ilmu itu adalah: Ilmu Lugah dan Isytiqaq, Nahwu, Qira’ah, Sirah, Hadits, Ushul Fiqh, Ilmu Ahkam (Ilmul Fiqh), Ilmu Kalam, dan Ilmu Mauhibah (Raghib Isfahani, Muqaddimah Tafsir, hal. 93).
Berikutnya akan kami susulkan seri tulisan beberapa ilmu-ilmu penting yang sangat berpengaruh dalam memahami isi dan makna dari teks Al-Qur’an.