Pemimpin Islam antara Realitas, Sejarah, dan Apa yang Semestinya
Hari ini kita begitu disibukkan dengan adegan kepemimpinan, “kepemimpinan dalam Islam” yang begitu gaduh dan ramai. Namun jika kita melihat histori dari Islam yang dibawah oleh Nabi Muhammad Saw sang manusia agung dari semananjung Arabia khususnya pasca kenabian maka kita akan melihat carut marut kepemimpinan yang di mulai dari terpilihnya khalifah pertama, kedua, ketiga dan keempat. Yang lebih menarik lagi ketika naiknya dinasti ummayyah di panggung sejarah dan peradaban Islam kemudian dilanjutkan oleh generasi dari abbasiah dengan membentuk Dinasti abbasiah yang berakhir dengan serangan Mongol kaum dari bangsa Jengis Khan. Poin yang ingin kami ulas dalam tema pemimpin Islam pada artikel ini bukan hendak membahas nostalgia ala khilafah dan dinasti-dinasti yang tercatat dan mengklaim diri sebagai bagian dari Islam dan sejarah peradaban Islam.
Islam dan pemimpin Islam adalah dua hal yang kadang disamakan dikarenakan faktor keberislaman seorang pemimpin entah itu dinyatakan secara verbal dalam bentuk syahadat keberislaman ataukah hal tersebut juga termanifestasikan dalam praktikal keberislaman. Islam merupakan agama yang sempurna setidaknya bagi saya pribadi dalam hal ini eksistensi dan substansi yang di ajarkan dalam Islam itu sendiri. Melihat Islam dari sisi ontologi ajaran Islam akan sangat berbeda dari prilaku atau tingkah laku dalam beragama Islam yang di lakukan oleh setiap penganutnya. Sama halnya jika kita harus membedakan antara ajaran Islam sebagaimana Islam dan apa yang dipahami dari ajaran Islam itu sendiri ataukah antara teks-teks Al-Qur’an yang suci dengan apa yang dipahami dari Al-Qur’an baik itu tersirat maupun tersurat begitu juga dengan riwayat yang menjadi perpanjangan tangan dari Al-Qur’an. Selanjutnya dalam persoalan kepemimpinan, kita harus melakukan pemetaan pula antara pemimpin Islam sebagaimana ajaran Islam itu sendiri dengan pemimpin Islam yang kebetulan beragama Islam.
Hal ini akan sangat menarik untuk dikaji, karena dalam sejarah Islam hingga hari ini begitu banyak orang yang mengklaim Islam sebagai satu hal yang terwujud secara otomatis pada diri setiap pemimpin yang kebetulan beragama Islam. Jika kita melihat Rasulullah Muhammad Saw sebagai seorang nabi, rasul, khalifah dan pemimpin ummat maka kita tidak akan menemui satupun literatur dalam sejarah Islam yang mencatat bahwa Nabi Muhammad adalah seorang raja!. Namun dalam kenyataan sejarah Islam khususnya pasca khulafau rasyidin kita akan menemukan deretan para pemimpin yang mengklaim diri mereka adalah pemimpin Islam sekaligus raja bahkan yang lebih parah tercatat dalam sejarah ada di antara mereka yang menggelari diri mereka sebagai Amirul mukminin (pemimpin dari orang yang bertakwa)?! Sekali lagi dalam artikel ini kami tidak hendak membahas sejarah dan tentunya bagi para pembaca yang budiman silahkan merujuk pada buku-buku sejarah terkait dengan sejarah Islam.
Apakah pemimpin Islam sama dengan pemimpin yang kebetulan beragama Islam? Apakah pemimpin Islam adalah pemimpin yang mengikuti sunnah nabi? Apakah pemimpin Islam adalah pemimpin yang ketika pandai bahasa arab, pakai sorban atau peci dengan jenggot sampai dada sambil teriak takbir dapat di kategorikan pemimpin Islam?! Ataukah pemimpin Islam itu yang seperti apa? Jikalau kita melihat Islam sebagai sebuah agama universal yang sempurna dan sebagai agama yang diyakini sebagai rahmat bagi seluruh alam maka konsekwensinya adalah pemimpin Islam adalah pemimpin yang memanifestasikan segenap ajaran Islam dalam setiap kata dan perilaku yang ia miliki secara total tanpa pengecualian sedikitpun! Teringat kita kisah Nabi Ibrahim As ketika beliau akan dijadikan khalifah di muka bumi, yang diabadikan dalam Al-Qur’an : Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia“. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim“ (Surah Al-Baqarah ayat 124). Di sini kita dapat memperhatikan ayat yang saya tebalkan, Imam yang memimpin seluruh manusia adalah janji Tuhan kepada Nabi Ibrahim As, namun Allah mengisyaratkan bahwa hamba-hamba yang zalim tidak akan pernah menjadi seorang pemimpin. Jika kita merujuk pada beberapa tafsir terkait dengan kata zalim dalam ayat ini maka kita akan menemukan bahwa: huruf alif lam dalam bahasa arab dalam kata azh-zhalimin disini meliputi segenap makna kezaliman tanpa ada pengecualian, sehingga orang yang tidak melakukan kezaliman di sini adalah orang yang melakukan keadilan dalam pengertian total dalam segala tindak tanduk, prilaku, dan perkataan.
Keadilan
Ketika kita melihat keadilan adalah syarat mutlak untuk seorang pemimpin khususnya dalam pandangan ayat di atas maka orang yang berhak untuk menjadi pemimpin adalah orang yang apabila kezaliman dengan berbagai macam bentuknya hilang dari segenap perkataan dan prilaku yang ia miliki dan hal ini merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh orang-orang yang ingin menjadi pemimpin dalam Islam. Syarat ini adalah kemestian yang dapat digapai oleh setiap manusia yang berikhtiar dan berkehendak menuju keadilan universal. Untuk penjelasan dan tafsiran terhadap ayat 124 dari surah Al-Baqarah ini kami cukupkan sampai disini. Keadilan adalah sebuah keharusan bagi seorang pemimpin, seseorang yang tidak adil pada dirinya sendiri akan sangat sulit bahkan mustahil untuk bisa berbuat adil secara mutlak bagi orang lain. Mungkin akan ada yang berpikir jika keadilan mutlak yang dimaksudkan di sini mungkin bagi sebagian orang hal ini akan dianggap sebagai hal utopis karena kebanyakan manusia hanya melihat persoalan yang ada dari sisi tinjauan empiris yang ada dihadapan mereka. Karena secara logis ketiadaan sesuatu secara empiris sama sekali tidak berarti tiadanya sesuatu tersebut ataukah ketiadaan pengetahuan akan sesuatu sama sekali tidak memestikan tiadanya sesuatu. Mengapa keadilan yang menjadi salah satu akar penentu dalam urusan kepemimpinan? Karena keadilan mendominasi segenap prilaku benar dalam urusan regulasi, baik itu regulasi pribadi maupun regulasi urusan sosial kemasyarakatan, admistrasi, pemerintahan dan lainnya. Manusia secara fitrawi sangat mencintai keadilan, mencari keadilan, dan rindu pada keadilan itu sendiri, bahkan orang kafir sekalipun paham dengan baik bahwa kezaliman adalah perbuatan yang buruk dan keadilan adalah satu hal yang baik.
Manusia dan substansi yang membentuknya
Telah menjadi kesepakatan umum khususnya dalam pandangan agama Islam bahwa manusia adalah sebuah keberadaan yang terdiri dari jasad (materi) dan ruh (non materi). Kedua unsur ini membentuk substansi diri manusia. Islam membawa manusia untuk memenuhi segenap kebutuhan dari kedua dimensi yang ada dalam diri manusia, baik itu kebutuhan yang terkait dengan jasadiah atau jasmaniah maupun kebutuhan ruhaniah spiritual dari manusia. Ketika kita mengatakan bahwa pemimpin dalam Islam itu adalah orang yang adil dalam pengertian mutlak maka keadilan menjadi bagian dari sifat-sifat kesempurnaan. Lantas mengapa dengan kesempurnaan? Kesempurnaan adalah karakter yang didambakan oleh setiap manusia, dimulai dari keinginan untuk lahir dengan ketampanan dan kecantikan yang tiada terkira laksana Yusuf dari Qan’an ataukah si cantik yang diibaratkan laksana bidadari, ataukah bodi yang kekar ala Ade rai… . Serangkaian sifat fisik senantiasa menjadi idola bagi setiap orang yang melihat hal tersebut sebagai kesempurnaan. Ketika demikian lantas bagaimanakah sifat kesempurnaan yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin dalam Islam? Seorang pemimpin dalam Islam adalah seorang manusia yang telah mengaktualkan segenap potensi yang ada dalam dirinya, tentunya segenap potensi kesempurnaan dalam segenap sikap kemuliaan, meninggalkan segenap sikap tercela dengan menjadikan dirinya sebagai tajalli dan manifestasi kesempurnaan dari segenap keagungan. Ia adalah manusia yang melangkah di muka bumi dengan segenap perwujudan asma kesempurnaan Tuhan, namun ia bukanlah sufi yang menyendiri dan berkhalwat di atas gunung atau dalam goa.
Masyarakat manusia penuh dengan kekurangan, kebodohan, kemiskinan materi dan spiritualitas, kebobrokan dalam bersosial, dan manajerial yang senantiasa dicekoki oleh kepentingan nafsu, baik itu untuk kepentingan pribadi, golongan maupun sanak saudara. Apalagi dalam urusan spiritualitas manusia begitu miskin sementara hal ini adalah komponen pembentuk kedua dari wujud manusia yang non materi. Segenap persoalan ini muncul dikarenakan ketiadaan pengetahuan atau adanya pengetahuan tapi tiadanya amal perbuatan. Setiap individu manusia adalah orang-orang yang mencita-citakan idealitas dalam segala hal, baik itu materi sebagai satu hal yang harus sebagaimana yang kita saksikan, terlebih lagi kebutuhan ruhaniah yang merupakan penentu dari segenap kebahagiaan ideal serta ketenangan batin. Oleh karena itu, ruhaniah adalah sebuah kebutuhan yang tidak kalah penting dari kebutuhan materi. Mengapa? Karena orang-orang yang terpenuhi kebutuhan materinya acap kali dahaga ruhaniahnya tidak terpenuhi hingga harus merujuk pada orang-orang seperti Taat pribadi, Lia eden, atau Si Gatot Brajamusti!!!
Seorang pemimpin Islam adalah pemimpin yang mengetahui betul segenap kebutuhan materi manusia bahkan lebih jauh lagi terhadap segenap kebutuhan ruhaniah mereka. Seorang pemimpin Islam harus mewujudkan masyarakat Madani, Madani dalam kehidupan materi bahkan Madani dalam kehidupan ruhaniah mereka. Seorang pemimpin Islam dapat menunjukkan jalan-jalan kesempurnaan pada setiap individu, menunjukkan jalan pada tujuan penciptaan mereka, menunjukkan jalan kembali kepada fitrah insaniah! Seorang pemimpin tidak akan pernah dapat menunjukkan jalan-jalan idealitas tersebut tanpa ia terlebih dahulu menjalani dan menjadikan dirinya sebagai tauladan di jalan tersebut. Sebagaimana yang kita dapati dalam Al-Qur’an surah Al-Ahzab ayat 21:”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah“. Suri teladan di sini bahwa Nabi itu adalah pemberi petunjuk, hidayah, dan suri teladan yang telah menjadikan dirinya melewati segenap jalan idealitas dan ia sampai pada tujuan penciptaannya. Seorang pemimpin dalam Islam adalah orang yang telah menjadikan dirinya Muhammad-Muhammad baru hingga ia dapat menjadi pemimpin bagi rakyatnya, ia dapat menjadi orang yang menunjukkan segenap jalan kesempurnaan karena ia sendiri telah melaluinya. Pemimpin Islam adalah orang yang sampai pada hakikat penciptaannya dan dengannya ia membawa dan mengantar manusia pada hakikat penciptaan tersebut!. Pemimpin Islam adalah pemimpin universal karena non muslim juga dapat mengambil manfaat dengan jalan idealitas yang ditunjukkan kepada mereka. Pemimpin Islam adalah manusia yang semua agama segan karena keselarasan kata dan prilaku yang mereka miliki. Seperti para arab-arab jahiliah yang mengakui al-Mustafa sebagai al-Amin (yang terpercaya) meski mereka tidak meyakini agama yang dibawa oleh Muhammad Saw. Pemimpin Islam tidaklah terlihat dari tebalnya surban atau panjangnya jenggot yang ia miliki, pemimpin Islam bukanlah orang yang dengan mudah terprofokasi dengan penistaan agama sementara prilaku mereka sendiri bertolak belakang dengan ajaran dan substansi Islam itu sendiri!!!
Manusia dalam pandangan Islam sebagaimana adanya akan berbeda dengan orang-orang Islam sebagaimana yang ada. Prilaku individu ummat Islam tidak dapat disamakan dengan prilaku dari ajaran dan substansi Islam itu sendiri. Sehingga sama sekali kita tidak dapat melakukan justifikasi prilaku seorang muslim dengan menyandingkannya dengan ajaran Islam itu sendiri. Seumpama kita menemui seseorang yang kebetulan beragama Islam namun dia juga koruptor ataukah kita menemui seorang muslimah yang berjilbab besar namun mencuri di toko atau swalayan, dan berbagai contoh lain yang dapat kita temui dalam realitas keseharian kita. Mengapa demikian? Jawabannya jelas karena Islam tidak mengajarkan yang demikian! Mereka ini adalah individu yang tidak melaksanakan ajaran dan perintah agama mereka. Mereka ini adalah manusia-manusia yang menyimpangkan ajaran agama mereka dan secara sederhana mereka ini adalah orang-orang yang mendustakan agama! Sehinggga tepatlah bahasa arif yang mengatakan jika engkau tidak melaksanakan ajaran agamamu paling tidak janganlah engkau melakukan perbuatan yang menyebakan orang lain jauh dan membenci agamamu.
Manusia yang dapat menjadi pemimpin dalam Islam adalah orang-orang sejalan kata dan prilaku mereka, bahkan mereka ini adalah orang-orang yang telah memanifestasikan segenap asma agung Ilahi dalam kedirian mereka dan orang lain mendapati hal tersebut sebagai tauladan dan panutan. Seorang pemimpin Islam adalah orang yang memiliki kebenaran universal yang bukan hanya mereka katakan tapi ia dapat wujudkan dalam alam realitas sehingga orang lain dapat mengambil manfaat darinya bahkan sekiranya mereka bukan muslim.
Seorang pemimpin Islam adalah orang yang memiliki pengetahuan yang multi dimensi dari segenap ilmu yang ada meskipun akar pengetahuan dari seorang pemimpin Islam haruslah memiliki pengetahuan yang benar terhadap siapa yang disebut manusia. Karena manusia adalah obyek yang ingin dipimpin dan diatur dalam kepemimpinannya. Mengetahui manusia dan memiliki pengetahuan tentang manusia haruslah holistik dengan memperhatikan segenap unsur atau dimensi yang membentuk manusia. Kegersangan kehidupan materi pada sebuah masyarakat lebih dikarenakan tiadanya pengetahuan yang benar seorang pemimpin dan tiadanya aplikasi yang benar terhadap pengetahuan yang dimiliki seorang pemimpin terkait bagaimana membangun kehidupan materi masyarakatnya. Demikian juga tentunya kemiskinan ruhani dan spiritual sebuah masyarakat juga dikarenakan ketiadaan pengetahuan yang benar tentang masalah ruhaniah yang merupakan unsur pembentuk dari manusia. Kedua hal ini harus selaras untuk membentuk sebuah masyarakat Islami yang semestinya. Jika seorang pemimpin tidak dapat mewujudkan masyarakat ideal dari sisi materi dan ruhani maka dapat dipastikan bahwa hal itu tidak lebih dikarenakan ia selaku pemimpin tidak memiliki idealitas yang seharusnya ia miliki, ia tidak memiliki sesuatu yang dapat ia berikan kepada masyarakatnya. Sehingga acap kali yang bertahta pada diri seorang pemimpin secara umum adalah bagaimana membangun kesejahteraan kelompok, individu, dan sanak keluarga. Sama sekali tidak ada kepedulian pada masyarakatnya. Kalaupun ada, itu tidak lebih pada batas paling minimalnya. Jika untuk kesejahteraan materi yang begitu empiris tidak dapat kita temui wujudnya dalam sebuah masyarakat apatah lagi kesejahteraan ruhani yang sama sekali tidak empiris dan tidak memiliki penilaian empiris. Sehingga wajarlah yang ada dalam kenyataan masyarakat adalah masyarakat yang miskin harta dan miskin jiwa, sudah dunia mereka tidak miliki akhiratpun tiada berarti! Wallahu a’lam.