Hakikat Wahyu (Bagian kedua)
Wahyu Kepada Langit dan Bumi
Tuhan mengingatkan dalam beberapa ayat al-Qur’an tentang undang-undang yang berkuasa atas langit dan bumi yang menyebabkan terjadinya keteraturan akurat dan perputaran yang teratur serta manfaat-manfaat yang layak darinya; seperti: “Kemudian Dia menuju kelangit dan (langit) itu masih berupa asap, lalu Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi, “Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku dengan patuh atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami datang dengan patuh.” Lalu diciptakan-Nya tujuh langit dalam dua masa dan pada setiap langit Dia mewahyukan urusan masing-masing. Kemudian langit dunia ini, Kami hiasi dengan bintang-bintang, dan (Kami ciptakan itu) untuk memelihara. Demikianlah ketentuan (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui”.
Berasaskan ini, ruang lingkup wahyu Tuhan meliputi seluruh langit dan bumi, dan langit serta bumi memiliki pendengaran dan menerima perintah lewat wahyu-Nya. Keduanya patuh dan tidak akan keluar dari ruang lingkup undang-undang yang berkuasa atas mereka; seolah-olah mereka seperti manusia yang memiliki kesadaran dan kognisi yang berserah diri atas perintah dan menerima aturan-aturan.
Langit dan bumi menerima wahyu dan kesadaran rumusannya ada sejak pada awal kejadiannya dan hingga kini melanjutkan perjalanan kesempurnaannya, sampai suatu ketika mereka akan menceritakan apa yang telah dilewatinya, sebagaimana Tuhan berfirman: “Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat, dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung) nya, dan manusia bertanya, “Apa yang terjadi pada bumi ini?” Pada hari itu bumi menyampaikan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah mewahyukan (yang demikian itu) padanya.”
Perlu disadari bahwa meskipun dalam pancaran pengetahuan kontemporer dan penemuan-penemuan baru hari ini telah banyak menyingkap wahyu-wahyu yang diperoleh langit dan bumi (undang-undang yang menata dan mengatur mereka), akan tetapi tentu saja masih terdapat jarak yang sangat jauh untuk sampai menjangkau seluruhnya. Ini adalah suatu telaahan dan bacaan yang menuntut ribuan bahkan jutaan tahun penelitian dan observasi tentangnya; sebab sebagian dari matlab-matlabnya adalah fisika dan sebagian lagi dari makrifat-makrifatnya adalah metafisika.
Wahyu Kepada Lebah
Sebelumnya telah diungkapkan bahwa seluruh alam ini mempunyai kehidupan dan kesadaran dan seluruh maujud-maujud mengikuti tata tertib dan aturan wahyu mereka masing-masing. Al-Qur’an mengungkapkan bahwa sebagian hewan-hewan mendapatkan wahyu, seperti ayatnya: “Dan Tuhanmu mewahyukan (ilham dalam bentuk instink) kepada lebah, “Buatlah sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia, kemudian makanlah dari segala (macam) buah-buahan dan tempulah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berfikir.”
Dalam ayat ini, wahyu berkenaan dengan pemberian “pengambilan keputusan” dan wahyu yang berkaitan dengan ‘azm, iradah, dan motivasi. Sebagaimana ayat menyebutkan; pertama, keputusan lebah tentang keharusan berumah dan membuat sarang dengan bentuk spesifik dan arsitek khusus, dan perkara ini harus tercipta pada tempat yang sesuai, seperti gunung-gunumg atau pohon-pohon. Pada tahap kedua, harus menyediakan makanan yang sesuai –itupun dengan bunga-bunga yang semerbak dan wangi– yang mana untuk menentukannya tidak mungkin dilakukan oleh seorangpun kecuali dengan wahyu rabbani. Pada tahap ketiga, perjalanan dalam rangka mencari makanan yang memestikan pengenalan jalan dan melewati perjalanan serta perjalanan yang mesti sejalan dengan wahyu (sesuai dengan ayat “tempulah jalan Tuhanmu”). Pada tahap keempat dan akhir dari pekerjaan, natijah dan hasil dari pekerjaan yang tak mengenal lelah dari hewan ini, adalah madu yang beragam warnanya yang memiliki khasiat menyehatkan dan menyembuhkan.
Wahyu atau Ilham Kepada Perbuatan
Wahyu, kadang berhubungan dengan tashawwur (konsepsi) atau tashdiq (pembenaran) yang berada di seputar pengajaran dan makrifat, dan terkadang juga berhubungan dengan kecenderungan dan keputusan; seperti kesukaan, motivasi, peringatan, ancaman, dan lainnya. Sebagian dari perkara-perkara wahyu yang aplikasinya terdapat dalam al-Qur’an di antarnya:
1. “Lalu Kami wahyukan kepadanya (Nuh), “Buatlah kapal di bawah pengawasan dan wahyu Kami.”
2. “Dan ingatlah, ketika Aku wahyukan dan ilhamkan kepada pengikut-pengikut Isa yang setia (Hawariyyûn hadhrat Isa As), “Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku.”
3. “Dan Kami wahyukan kepada Musa As, “Pergilah pada malam hari dengan membawa Bani Israil, sebab pasti kamu akan dikejar” , dan juga ayat: “Dan Kami wahyukan kepada Musa As ketika kaumnya meminta air kepadanya, “Pukullah batu itu dengan tongkatmu!” Maka memancarlah dari (batu) itu dua belas mata air”.
4. “Dan Kami wahyukan kepada ibu Musa As, “Susuilah dia (Musa), dan apabila engkau khawatir terhadapnya maka hanyutkanlah dia ke sungai Nil. Dan janganlah engkau takut dan jangan (pula) bersedih hati, sesungguhnya Kami akan mengembalikan kepadamu, dan menjadikannya salah seorang rasul.” Sebab ibu nabi Musa As memperoleh takdir anaknya secara informasi rahasia dari Tuhan maka al-Qur’an menamakan itu sebagai wahyu. Tidak diragukan bahwa ibu nabi Musa As bukanlah seorang nabi, tetapi kepadanya telah diilhamkan informasi rahasia yang al-Qur’an menyebutnya dengan wahyu. Demikian pula kondisi nabi Yusuf As ketika masih remaja, dimana saudara-saudaranya membuat rencana untuk membunuhnya dan Tuhan memberitahukan perkara ini dalam peristiwa pembuangannya ke dalam sumur sebagai wahyu, dan berfirman: “Maka ketika mereka membawanya dan sepakat memasukkan ke dalam sumur, Kami wahyukan kepadanya, “Engkau kelak pasti akan menceritakan perbuatan ini kepada mereka, sedang mereka tidak menyadari.”
5. “Dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, dan Kami wahyukan kepada mereka agar berbuat kebaikan, melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka menyembah.” Tuhan, terhadap semua pemimpin-pemimpin Ilahiah –para nabi As, para imam As, dan para ulama rabbani– mungkin saja mewahyukan dan memberi petunjuk untuk mengambil sikap dan keputusan serta menunjukkan kepada mereka tanggung jawab yang mesti dikerjakan. Ini semua adalah sejenis ‘azm (tekad yang bulat) dan keputusan amal yang dilontarkan dan diilhamkan kepada pemimpin-pemimpin Ilahiah. Oleh karena itu, yang terkena curahan jenis wahyu-wahyu ini adalah akal amali; akal yang dengannya Tuhan Maha Rahman disembah dan surga diusahakan. Terdapat saham yang cukup luas dari ayat-ayat wahyu yang mengungkapkan seputar pengambilan keputusan, sikap, amal, dan prilaku. Jenis wahyu ini dinamakan juga ilham dan bagi setiap orang –dalam batas dan kapasitas dirinya– mempunyai kemungkinan untuk mendapatkannya; sebagaimana sangat banyak penemuan ilmiah dan penyingkapan pengetahuan timbul lewat inspirasi dan ilham Ilahi dan mungkin saja syiir-syiir yang bermuatan tinggi dan transendental diperoleh dari jalan ini.
Hurr bin Yazid Riyâhi, ketika berada di antara jajaran pasukan Imam Husain As dan Umar Sa’d yang saling berhadapan, berkata: Saya mendengar senandung yang memberi kabar gembira dan menjanjikan padaku surga. Dia pada awalnya menunjukkan rasa takjub terhadap berita gembira ini, namun ketika dia mengambil keputusan dan membulatkan tekad untuk bergabung dengan Imam Husain As, dia yakin bahwa basyârat itu adalah ilham dari alam gaib.
Di sini ada dua poin yang urgen diperhatikan:
– Jika wahyu berhubungan dengan hukum insyâi (perintah) dan disertai dengan undang-undang dan aturan baru maka ini adalah tipe tasyrii yang hanya dikhususkan bagi para nabi As.
– Jika wahyu berhubungan dengan perbuatan, iradah, ‘azm, motif, dan lainnya dan tidak dari tipe hukum insyâi maka wahyu dalam bentuk ini tidak terkhususkan untuk para nabi As.
Bersambung ...