KUDA ITU TETAP BERGEMING
Telapak kaki Al-Husain dan karavannya kembali memahat padang pasir dan menangkal sinar surya, melintasi dusun demi dusun.
Tiba-tiba kuda Al-Husain berhenti, enggan bergerak. Al-Husain berusaha memacunya, namun tetap juga bergeming. Setelah gagal mencoba beberapa kuda lain, Al-Husain menyapu dusun itu dengan tatapan penuh makna.
“Apa nama dusun ini?” tanyanya memecah kesunyian.
“Al-Ghadhiriyah,” sahut beberapa pengikutnya.
“Adakah nama lain untuk dusun ini?,” tanya Al-Husain seakan tak percaya.
“Syathi’ul Furat,” sahut mereka.
“Adakah nama lain?”
“Nainawa,”
“Adakah nama lain?”
“Karb (Duka) dan Bala (Bencana) Karbala..” jawab mereka serentak.
Al-Husain menarik nafasnya dalam-dalam lalu berkata dengan nada tinggi:
“Inilah Karb dan Bala…
Di bumi tandus inilah tangisan gadis-gadis Ali akan terdengar!
Di dusun inilah yatim-yatim Muhammad akan dianiaya!!
Di sinilah wanita-wanita Ahlul-Bait akan dikejar-kejar!!
Di sinilah aku dan para pengikutku dicincang dan dibantai!
Di sinilah aku akan dikunjungi!!
Turun dan dirikan tenda!!!
Sambil melompat dari atas punggung kudanya, al-Husain bersyair:
Hai zaman! Celaka kau!
Kau saksi bisu
Kala saksikan kekasih merana karena janji palsu
Kala pangeran didaulat lalu terhenyak lesu
Kala tamu dipaksa meneguk racun bercampur madu
Hanya Tuhan-lah tempat mengeluh dan mengadu
Dialah sumber cinta dan muara rindu
Mendengar syair pilu itu, Zainab lari menghampirinya seraya memekik sedih, “Saudaraku, oh seandainya kematian datang menyambarku.. Biarlah maut merenggutku agar tak kusaksikan bencana ini!!
Angin kencang menerpa wajah Zainab yang sembab. Al-Husain dengan lembut mengelus kepala adiknya sambil menghiburnya, “Adikku, jangan biarkan setan melenyapkan ketabahanmu! Seluruh penghuni dunia pasti akan berhenti pada titik terakhir kehidupan. Kakek dan ayahmu, meski manusia-manusia sempurna, juga mengalaminya.”
Al-Husain menuntun Zainab menuju kemahnya. Para peserta kafilah sibuk menyalakan api unggun dan mendirikan tenda-tenda dalam jarak yang berdekatan.
Sementara itu, di Kufah, Ubadillah menunjuk Umar bin Sa’d bin Abi Waqqash sebagai panglima pasukan terdiri atas lima ribu tentara yang dikerahkan untuk mengepung dan memaksa Al-Husain dan kafilahnya untuk mengakui Yazid sebagai pemimpin.
Debu-debu mengepul menutupi udara. Umar bin Sa’d dan pasukannya meninggalkan halaman istana Ubaidillah bin Ziyad menuju Nainawa. Pesta perburuan segera dimulai!!
Sejarah menggelar drama nyata…
“Pesta darah” di penghujung Dzil Hijjah…
Bumi tandus tampilkan konvoi “Duka Bencana”…
Hujan matahari guyur paras-paras tak berdosa…
Musafir-musafir dahaga ratakan bukit tandus Nainawa…
Kafilah kesucian berarak tinggalkan dunia fana…
Nafas-nafas tersengal iringi desau angin gurun di sana…
Tubuh lunglai Sukainah
Wajah pasi Shafiyyah
Mata sembab Atikah
Suara parau Ummu Kultsum
Langkah-langkah gontai Zainab
Karavan gembel-gembel nan tampan
Menggoyang genangan fatamorgana…
Bumi Duka Bencana, Karbala…
Selamat datang di Karbala!!!