Tauhid Dzat dalam Tinjauan Teks Wahyu

Tauhid Dzat dalam Ayat Al-Qur’an

Al-Qur’an dalam surah As-Syura dalam menjelaskan tauhid “wahidi” dengan sangat jelas menyampaikan tentang ketunggalan dan ketakserupaan Tuhan: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْ‏ءٌ وَ هُوَ السَّميعُ الْبَصيرُ

“Tidak ada sesuatu yang menyerupai-Nya dan Dia maha mendengar dan maha melihat” (Q.S : As-Syura : 11).

Dengan memperhatikan kaidah bahasa arab, ayat ini menafikan keberadaan semua bentuk keserupaan dan kemisalan bagi Tuhan.

Akan tetapi tentang makna yang dalam “kata” dari kalimat permulaan ayat ini apa, terdapat perbedaan pandangan diantara para ahli tafsir. Sumber perbedaan ini adalah huruf “kaf” dalam kalimat “kamitslihi” yang merupakan huruf “tasybiih” (penyerupaan) dan bermakna misal dan seperti; oleh karena itu, seolah-olah di sini kata “seperti” terulang dua kali dan makna “lafzi” ayat adalah: “Tidak ada sesuatu seperti seperti Dia”. Di sini, masing-masing mufasir berusaha menjelaskan suatu bentuk hikmah dari pengulangan ini. Segolongan berkata secara asas huruf “kaf” di sini adalah huruf tambahan dan digunakan untuk lebih menegaskan kandungan dari ayat. Sebahagian lagi berkeyakinan bahwa kata “mitsl” dalam ayat bermakna “dzat”, oleh karena itu maknanya adalah “Tidak ada sesuatu yang seperti (serupa) dzat-Nya”.

Dari perbedan yang telah  disebutkan, kita lewatkan saja, yang pasti makna ayat secara umum adalah jelas. Dzat Tuhan dari segala sisi adalah tidak terbatas, sedangkan maujud-maujud yang lain semuanya terbatas, dan sudah menjadi kemestian bahwa dzat yang tidak terbatas tidak mungkin dibandingkan dengan maujud-maujud terbatas serta tidak ada tempat mempersoalkan jarak antara terbatas dan tidak terbatas. Dengan demikian, ayat yang menjadi topik bahasan dengan jelas menegaskan tentang ketakserupaan  Dzat Tuhan.

Ayat-ayat lain yang menjelaskan dan mempunyai makrifat tinggi tentang keesaan Tuhan adalah ayat-ayat surah At-Tauhid : “Katakanlah Tuhan adalah satu. Allah tempat meminta. Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Tidak ada sesuatupun yang menyetaraiNya” (Q.S : At-Tauhid : 1-4).

Dalam ayat pertama, Tuhan memerintahkan pada nabiNya mengumumkan secara jelas bahwa Allah adalah satu. Sebahagian dari mufasir berkeyakinan bahwa dua sifat “ahad” dan “wahid” ketika dimutlakkan pada Tuhan, maka satu sama lain adalah berbeda dan “ahad” menunjukkan atas ketidakberangkapan dzat sedangkan “wahid” menunjukkan atas keesaanNya. Dalam bentuk ini, maka ayat pertama surah Tauhid menjelaskan simplisitas dzat dan menafikan segala bentuk rangkapan dari Dzat Tuhan.  Dari sisi lain, pada ayat akhir surah ini, secara gamblang dijelaskan bahwa Tuhan sama sekali tidak mempunyai “kufu” (setara). “Kufu”  bermakna kesetaraan dan keserupaan; oleh karena itu, paedah ayat ini menafikan segala bentuk sekutu dan kesetaraan untuk Tuhan serta menetapkan keesaanNya. Akan tetapi mungkin kita akan berkata bahwa maksud dari “kufu” adalah suatu maujud yang dalam dzat atau perbuatan setara dengan Tuhan. Dalam bentuk ini, ayat yang menjadi topik bahasan, disamping tauhid dzat, menetapkan juga tauhid perbuatan seperti tauhid dalam kepengaturan dan kepenciptaan.

Poin yang perlu diperhatikan juga dari al-Qur’an, terdapat ayat-ayat yang sesudah menyifatkan Tuhan dengan ketunggalan dan keesaan, segera kemudian menegaskan sifat “qahhaar” (keperkasaan) bagiNya: “Maha suci Dia; Tuhan yang Esa lagi maha perkasa”. (Q.S : As-Zumar : 4)

Menurut keyakinan sebahagian ahli tafsir, rahasia kebersamaan dua sifat “ketunggalan” dan “keperkasaan” adalah bahwa jika suatu maujud  terbatas dan terhingga, pada dasarnya, maujud tersebut dikuasai dan dibawah pengaruh kait dan batasan yang membuatnya terbatas. Berasaskan ini, maka keperkasaan mutlak Tuhan bermakna  bahwa tidak ada satupun kait, syarat, dan batasan yang menghukuminya; bahkan Dia adalah wujud mutlak yang meliputi  seluruh maujud-maujud.

Dengan demikian, kebersamaan ketunggalan dan keperkasaan yang menjadi topik bahasan, pada dasarnya menjelaskan bahwa ketunggalan Tuhan bukan suatu bentuk ketunggalan  dari angka; sebab sesuatu yang tunggal secara angka, dari satu sisi dibatasi kemungkinkan dikonsepsinya sesuatu yang semisal dengannya; dengan dalil bahwa dalam wilayah dan batasan, dimana diasumsikan sesuatu yang setara dengannya  tidak mempunyai kehadiran di situ dan ketidak hadiran ini adalah suatu bentuk keterbatasan sehingga dengan demikian maka sesuatu yang pertama adalah dikuasai dan dikalahkan kait dan keterbatasan-keterbatasan.

Konklusi dari ini bahwa ayat-ayat yang menyertakan sifat keperkasaan dengan  sifat ketunggalan, pada dasarnya menjelaskan bahwa Tuhan tidak hanya tidak mempunyai kesetaraan, bahkan secara asas keberadaan sesuatu yang setara dengannya adalah mustahil dan ini adalah makna dari “wahdah hakiki” (kesatuan hakiki) yang berhadapan dengan “wahdah adadi” (kesatuan angka).