Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Bulan Perjamuan Tuhan (17)

1 Pendapat 05.0 / 5

Perjalanan paling suci yang pernah terjadi di sepanjang sejarah adalah Mi'raj Nabi Muhammad Saw ke langit dan kembalinya beliau ke bumi. Al-Quran menjelaskan kisah perjalanan spiritual ini dalam surat al-Isra dan an-Najm.

"Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."  

Dari kata Lail (malam) dan Asra (perjalanan) dapat dipahami bahwa Mi'raj terjadi di malam hari. Pada suatu malam, Allah Swt memberangkatkan Rasulullah Saw dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil al-Aqsa di Palestina dan dari sini diterbangkan ke langit. Diriwayatkan bahwa Malaikat Jibril mendatangi Rasulullah pada malam Mi'raj dan memberinya sebuah tunggangan yang disebut Buraq. Rasul Saw menaiki Buraq tersebut dan berangkat ke Baitul Maqdis. Menurut banyak riwayat, selama perjalanan beliau sempat singgah di Madinah, Masjid Kufah, dan beberapa tempat suci lain untuk menunaikan shalat, dan kemudian tiba di Masjid al-Aqsa.

Di Masjid al-Aqsa, Rasulullah menjadi imam shalat untuk para nabi seperti Ibrahim, Musa, Isa dan nabi-nabi lain. Setelah itu, beliau memulai perjalanan ke langit dan diterbangkan sampai langit ketujuh. Nabi Muhammad Saw menyaksikan berbagai peristiwa menakjubkan dan tanda-tanda kebesaran Allah Swt di setiap lapisan langit yang dilewati.

Rasulullah Saw menyaksikan makhluk-makhluk ciptaan Allah, para malaikat, dan keajaiban penciptaan, serta bertemu dengan para nabi. Di sana diperlihatkan surga dan neraka, kondisi para penghuni surga beserta nikmat yang mereka peroleh, serta kondisi ahli neraka dan siksaan yang mereka terima. Malaikat Jibril menemani beliau di sepanjang perjalanan spiritual ini.

Rasul dan Jibril naik hingga langit keenam dan menyaksikan keagungan penciptaan yang tidak terhitung jumlahnya. Mereka akhirnya sampai di langit ketujuh dan di sini Malaikat Jibril harus berpamit sambil berkata kepada Nabi Muhammad, “Aku tidak diizinkan untuk memasuki tempat ini (Sidratul Muntaha) dan jika aku mendekat selangkah lagi ke sana, niscaya sayapku akan terbakar.”

Rasul Saw melihat Sidratul Muntaha (sebuah tempat atau pohon di langit yang disinggung dalam al-Quran) di langit ketujuh. Beliau mencapai puncak kedekatan tertinggi dengan Tuhan di Sidratul Muntaha. “Maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).” (QS: An-Najm ayat 9).

Allah Swt kemudian memberikan perintah dan pesan-pesan yang sangat penting kepada Rasulullah, dan terjadi sebuah dialog yang indah antara Tuhan dan Muhammad yang diabadikan dalam Hadis Mi’raj. Ia adalah sebuah hadis qudsi yang menerangkan tentang percakapan Allah Swt dengan Nabi Muhammad Saw dalam perjalanan Isra dan Mi’raj.

Setelah dialog tersebut, Nabi Muhammad Saw kembali ke bumi dan tiba di rumah Ummu Hani di Mekkah sebelum terbit fajar. Dari beberapa riwayat, sebagian ulama menyimpulkan bahwa Rasul kemungkinan telah melakukan Mi’raj lebih dari dua kali dan Mi’raj yang paling besar terjadi pada malam ke-17 Ramadhan tahun kesepuluh Bi'tsah.

Mi’raj besar ini dialami oleh Rasulullah Saw dalam keadaan terjaga serta melibatkan fisik dan ruhnya. Selama perjalanan spiritual ini, beliau diberitahu tentang rahasia langit dan bumi. Rasulullah memperoleh hak istimewa ini berkat ibadah dan penghambaan yang beliau lakukan. Rasul menyaksikan bukti-bukti keagungan Tuhan, melihat penduduk surga, penduduk neraka, dan para malaikat. Beliau juga melihat arwah para nabi besar, seperti nabi Adam, Ibrahim, Musa, Isa as.

Mi’raj Rasulullah Saw adalah sebuah peristiwa yang benar-benar terjadi dan ini dibuktikan dengan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis mutawatir. Isra-Mi'raj adalah bagian dari sejarah dan keyakinan umat Islam dan semua mazhab menyepakati masalah ini. Sejumlah riwayat mutawatir dan sebagian doa juga menyinggung peristiwa Isra-Mi’raj dan orang yang mengingkarinya dianggap kafir.


Setelah tiba di Mekkah, Rasulullah Saw untuk pertama kalinya menceritakan peristiwa Isra-Mi’raj kepada Ummu Hani dan pada hari berikutnya, beliau menjelaskan kesaksiannya tentang keagungan alam penciptaan kepada masyarakat. Dengan begitu, pemahaman manusia akan meningkat dan pandangan mereka tidak hanya terpaku pada alam materi ini.

Hadis Mi’raj telah merekam percakapan antara Allah Swt dan Nabi Muhammad Saw di Sidratul Muntaha. Di salah satu dialog tersebut, Rasul berkata kepada Tuhan, “Ya Ilahi! Bimbinglah aku untuk melakukan sesuatu sehingga aku bisa dekat dengan-Mu.” Tuhan menjawab, “Jadikanlah malam-mu sebagai siang dan siangmu sebagai malam.” Muhammad kembali bertanya, “Bagaimana aku bisa melakukan itu?” Allah berfirman, “Jadikanlah tidurmu untuk shalat, sedangkan makananmu adalah rasa lapar.”

Tuhan berkata, “Wahai Muhammad! Aku bersumpah dengan kemuliaan dan keagungan-Ku, barang siapa yang bisa menjamin untuk-Ku empat sifat, aku juga akan menjamin surga untuknya; mengkunci lisannya dan tidak membukanya kecuali untuk hal bermanfaat, menjaga hatinya dari godaan syaitan, menyadari bahwa Aku selalu hadir dan mengawasi pekerjaannya, dan cintailah rasa lapar.”

Allah Swt kembali berfirman, “Wahai Ahmad! Apakah engkau mengetahui kenikmatan dari rasa lapar, keheningan, dan kesendirian, serta manfaatnya?” Rasulullah berkata, “Ya Rabb! Apa gunanya rasa lapar?” Tuhan menjawab, “Ia akan (mendatangkan) kebijaksanaan, pengamanan hati, kedekatan dengan-Ku, kesedihan yang berlanjut, bebannya menjadi ringan dibandingkan orang lain, akan berkata benar tanpa peduli apakah seseorang hidup dalam kesulitan atau kemudahan."

Tuhan berkata, “Wahai Ahmad! Apakah engkau tahu kapan seorang hamba menjadi dekat dengan Aku?” Nabi menjawab, “Tidak, Tuhan, aku tidak tahu." Yang Maha Kuasa berfirman, “Dia dekat dengan Aku ketika dia lapar atau bersujud.”

Berdasarkan Hadis Mi’raj, langkah pertama yang akan mengantarkan manusia pada ibadah dan kedekatan dengan Allah Swt adalah sikap diam dan menahan lapar. Mengenai sikap diam, Imam Ali Ridha as berkata, “Diam adalah salah satu pintu hikmah; ia akan mendatangkan kecintaan dan membimbing manusia kepada setiap kebaikan.”

Manusia tidak akan sampai pada derajat penghambaan dan mencapai tujuan akhir selama lisannya bergerak liar serta tidak canggung untuk berkata ucapan batil dan sia-sia. Jika manusia bisa mengontrol lisannya, mereka akan terbebas dari banyak dosa seperti, berdusta, menggunjing, menyebarkan fitnah, dan jenis-jenis lain dosa lisan.

Tentu saja tidak semua diam akan membawa kebaikan, tetapi sikap diam yang akan mendatangkan kebaikan dan berkah harus disertai dengan perenungan dan tafakkur. Ada banyak hadis yang berbicara tentang keutamaan diam. Dalam sebuah riwayat, Imam Jakfar Shadiq as berkata, “Nabi Sulaiman as berwasiat kepada anaknya, ‘Wahai putraku! Jika engkau mengira berbicara itu adalah perak, maka sesungguhnya diam itu emas.’”

Hadis Mi’raj juga menganggap menahan lapar dan berpuasa sebagai mukaddimah menuju penghambaan. Para guru irfan berpendapat salah satu jalan mensucikan jiwa dan membersihkan diri adalah menahan lapar. Menahan lapar pada batas yang wajar akan membuka pintu pemahaman bagi manusia. Perut yang penuh terisi akan menutup pintu hati dan orang yang makan berlebihan tidak akan pernah memiliki pemahaman yang tajam dan tidak akan mencapai derajat irfani. Banyak makan akan membuat seseorang malas dan tidak semangat, sementara makan secukupnya membuatnya sehat, panjang umur, dan kecerahan hati.

Makan berlebihan juga akan membuat manusia malas dan mengantuk. Energinya habis terkuras untuk mencerna makanan. Rasulullah Saw bersabda, “Tidak ada wadah yang dipenuhi oleh manusia yang lebih buruk daripada perut.”

Berpuasa adalah latihan terbaik untuk menahan lapar. Selama bulan Ramadhan, sistem pencernaan memiliki kesempatan untuk beristirahat dan berpuasa akan mengendalikan nafsu manusia untuk memenuhi perutnya dengan berbagai jenis makanan. Kondisi ini memberinya kesempatan untuk meningkatkan amal ibadah dan menapaki jalan untuk meraih ridha Allah Swt.