Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Kecintaan Kepada Allah

1 Pendapat 05.0 / 5

Dalam peristiwa perang Khaibar, setelah orang-orang lain gagal membebaskan benteng kaum Yahudi tersebut Rasulullah SAW bersabda;

لأُعطينَّ الراية غداً رجلاً يحب الله ورسوله، ويحبُّه الله ورسوله، كرَّاراً غير فرَّار، لايرجع حتى يفتح الله على يده

“Sungguh besok aku akan memberikan bendera kepada seorang ksatria yang mencintai Allah dan RasulNya, dan Allah dan RasulNyapun mencintainya, yang menggempur pantang kabur, dan tidak akan kembali sampai Allah membebaskan melalui tangannya.”

Orang-orang lantas berbeda dugaan mengenai siapakah pria yang akan menerima bendera dari beliau. Pagi harinya semua orang menghadap beliau dan masing-masing berharap akan menerima bendera dari beliau. Beliau lantas bertanya, “Mana Ali bin Abi Thalib?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, dia sedang sakit mata.”

Beliau meminta mereka mendatangi Ali dan membawanya kepada beliau. Alipun datang, dan beliau memercikkan air ludahnya ke mata Ali dan berdoa untuk kesembuhannya sehingga Alipun sembuh. Beliau lantas menyerahkan bendera kepada Ali.

Ali bertanya;

يا رسول الله أُقاتلهم حتّى يكونوا مثلنا ؟

“Wahai Rasulullah, apakah aku akan memerangi mereka sampai mereka menjadi seperti kami?”

Beliau menjawab;

انفذ على رسلك حتّى تنزل بساحتهم، ثُمَّ ادعهم إلى الإسلام، وأخبرهم بما يجب عليهم من حقِّ الله، فوالله لأن يهدي الله بك رجلاً واحداً خير من أن يكون لك حمر النعم.

“Tunaikanlah misimu sampai kamu tiba di halaman mereka lalu ajaklah mereka kepada Islam, beritahukan kepada mereka apa yang menjadi hak Allah atas mereka. Demi Allah, Allah memberi petunjuk kepada satu orangpun melaluimu lebih baik daripada kamu memiliki kenikmatan materi.”

Sulmah mengisahkan bahwa dari pihak laskar musuh muncul sosok jawara Yahudi bernama Marhab. Dia bersumbar dengan melantunkan syair:

قد علمت خيبر أنِّي مرحب *** شاكي السلاح بطل مجرَّب

“Khaibar mengetahui bahwa Akulah Marhab, jawara terlatih bersenjatakan pedang.”

Ali kemudian tampil dan meladeninya dengan bersyair;

أنا الذي سمّتني أُمّي حيدره *** كليث غابات كريه المنظره

اكيلهم بالسيف كيل السندره

“Akulah yang dinamai Haidar (singa) oleh ibuku, bagai singa belantara bertampang menyeramkan. Akan aku habisi mereka dengan pedang.”

Ali lantas menghantamkan pedangnya ke kepala Marhab hingga terbelah. Ali berhasil membunuhnya, dan kemenanganpun jatuh ke tangannya.[1]

Kedua, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ketika ditanya tentang ayat 54 surat Al-Maidah [5] tersebut beliau menepuk pundak Salman Al-Farisi sembari bersabda;

هذا وذووه… لو كان الدِّين معلَّقاً بالثريَّا لتناوله رجال من أبناء فارس.

“Ini dan orang-orangnya….. Seandainya agama tergelantung di bintang kejora niscaya yang meraihnya adalah para ksatria Persia.”[2]

Ketiga, dalam Tafsir Ali bin Ibrahim disebutkan; “Turun berkenaan dengan Al-Qaim dan para pengikutnya.”[3]

Telah dinyatakan bahwa ketaatan karena cinta sejati sangatlah istimewa dan berbeda dengan ketaatan sekedar karena pengetahuan. Maksud pernyataan ini ialah pertentangan antara pengetahuan yang kering dan tak sampai mengalir ke dalam sanubari di satu sisi dan cinta sejati yang tak mungkin terpisah dari makrifat akan kemaha indahan dan kemahaagungan Allah SWT di sisi lain yang tentunya tidak mungkin mungkin dicapai tanpa ditunjang pengetahuan tentang Allah SWT.
Dengan demikian, maksudnya jelas bukan pertentangan antara cinta semata dan pengetahuan semata. Sebab dasar cinta ialah makrifat yang dihasilkan dari pengetahuan. Ketika makrifat seorang mukmin menghasilkan cinta nan sejati dan tulus maka ibadah menjadi ibadah berkategori manusia merdeka, ibadah yang identik dengan kenikmatan yang tiada taranya dan menyebabkan pelakunya terjaga dari maksiat dan dosa.