Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Nabi Muhammad saw Menurut Imam Ja’far Shadiq as (Bag. Terakhir)

1 Pendapat 05.0 / 5

Tanda Lahiriah Muhammad saw[1]

Imam Ja’far Shadiq as berkata, “Imam Hasan as meminta kepada pamannya, Hind bin Abi Halah[2] yang sangat mahir memberikan gambaran rupa Nabi saw, untuk mendeskripsikan bentuk lahiriah Nabi saw. Hind bin Abi Halah menjawab, “Pandangan Nabi penuh dengan keagungan, dada Nabi penuh dengan kewibawaan…selalu mengucapkan salam kepada siapa saja dan selalu menjadi penunjuk serta pembimbing umat.

Tidak menampakkan kemurkaan saat kehilangan hal-hal duniawi. Demi membela jalan Allah, Nabi akan menampakkan kemurkaan dahsyat yang sedemikian rupa sehingga orang tidak mengenal beliau. Tertawanya hanya senyuman. Orang yang paling dekat dengannya adalah orang yang paling sering memberikan bantuan dan berbuat baik kepada orang lain.””[3]

Sifat Nabi Muhammad saw dalam Taurat dan Injil

Allah swt berfirman:

الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Orang-orang yang telah Kami beri Al-Kitab mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Dan sesungguhnya sebagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.”[4]

Imam Shadiq as berkata, “Mereka mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri, karena Allah swt menjelaskan sifat tentangnya, diutusnya sebagai nabi, hijrahnya, dan sahabat-sahabatnya dalam Taurat dan Injil sebagai berikut: “Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil…””[5]

Imam Shadiq melanjutkan, “Sifat-sifat Nabi saw dan sahabat-sahabat beliau disebutkan dalam Taurat dan Injil. Ketika Allah swt mengutus Nabi saw dengan risalah, Ahlul Kitab (orang-orang Yahudi dan Nasrani) telah mengenal beliau, namun mereka mengingkari beliau, sebagaimana Allah swt berfirman, “Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya.””[6] [7]

Allah saw menyifati Nabi saw di ayat lain sebagai berikut:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”[8]

Sementara di tempat lain disebutkan: “Keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka,” bagaimana kedua hal ini dapat dipertemukan?

Ayat ini penting untuk diperhatikan, terutama bagi pendukung pemikiran toleransi. Apakah mungkin manusia paling sempurna yang diutus dengan membawa kitab paling lengkap sebagai petunjuk untuk seluruh alam, tidak menunjukkan reaksi di hadapan musuh-musuh agama selain kasih saying?!

Untuk mengatur masyarakat beragama dan mempertahankannya harus berdiri tegak dan bersifat tegas di hadapan musuh-musuh agama. Menunjukkan reaksi keras terhadap orang-orang kafir dan melawan mereka untuk menghilangkan penghalang hidayah adalah rahmat itu sendiri.

Makhluk Teragung

Husain bin Abdullah berkata, “Aku bertanya kepada Imam Shadiq as, apakah Rasulullah penghulu Bani Adam?”

Beliau menjawab, “Demi Allah! Beliau adalah penghulu seluruh makhluk. Allah tidak menciptakan satu makhluk pun yang lebih mulia dari Muhammad saw.”[9]

Imam Shadiq as dalam hadis lain berkata, “Saat Rasulullah dibawa mi’raj, Jibril menyertai beliau hingga pada satu tempat yang setelah itu tidak lagi dapat menyertai beliau. Nabi saw bertanya, “Wahai Jibril! Apakah engkau akan meninggalkanku sendirian dalam perjalanan ini?!”

Jibril menjawab, “Pergilah! Demi Allah, engkau berpijak di satu titik yang belum pernah dan tidak akan pernah dipijak oleh seorang manusia pun.”[10]

Muammar bin Rasyid berkata, “Aku mendengar Imam Shadiq berkata, “Seorang Yahudi datang kepada Rasul dan melihatnya dengan teliti.

Nabi saw berkata, “Wahai orang Yahudi! Apakah engkau memiliki keperluan?”

Ia menjawab sambil bertanya, “Apakah engkau lebih mulia atau Musa bin Imran yang diajak bicara oleh Allah, dianugerahi Taurat dan Injil, dengan tongkatnya laut dibelah, dan senantiasa dinaungi awan?”

Nabi saw menjawab, “Tidak layak seorang hamba memuji diri sendiri, namun untuk memberikan jawaban dari pertanyaanmu aku katakan bahwa Nabi Adam ketika ingin bertaubat atas kesalahannya berkata, Ya Allah! Demi Muhammad dan keluarga Muhammad, aku memohon ampunan kepada-Mu.”[11] Allah swt pun menerima taubatnya.

Nabi Nuh saat merasa khawatir tenggelam di laut, berkata, “Ya Allah! Demi Muhammad dan keluarga Muhammad, aku memohon keselamatan dari-Mu supaya tidak tenggelam di laut.”[12] Allah swt pun menyelamatkannya.

Nabi Ibrahim saat berada dalam lautan api, berkata, “Ya Allah! Demi Muhammad dan keluarga Muhammad, aku memohon kepada-Mu keselamatan dari kobaran api.” Allah swt pun menjadikan kobaran api menjadi dingin dan penuh keselamatan.

Nabi Musa saat melemparkan tongkatnya ke tanah dan merasakan ketakutan dalam dirinya, berkata, “Ya Allah! Demi Muhammad dan keluarga Muhammad, aku memohon keselamatan dari-Mu.” Allah swt berfirman kepadanya, “Janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang).”[13]

Wahai Yahudi! Sekiranya Musa hari ini ada, hidup semasa denganku dan tidak beriman kepadaku dan kenabianku, niscaya keimanan dan kenabiannya tidak akan berguna sedikit pun baginya.

Wahai Yahudi! Seorang dari keturunanku bernama Mahdi akan muncul (di akhir zaman). Saat ia muncul Nabi Isa akan turun untuk membantunya dan shalat di belakangnya.”[14]

Nabi saw dan Politik

Dalam istilah dunia hari ini, politik didefinisikan dengan arti “trik dan kebohongan untuk meraih kekuasaan atas masyarakat”. Namun politik dalam bahasa artinya mengatur urusan kenegaraan dan pemerintahan. Allah swt menyebut Nabi saw dan para pelanjut beliau (para imam maksum) sebagai ‘politikus-politikus’ terbaik. Dalam ziarah Jami’ah saat menyifati para imam maksum sebagai alumni madrasah kenabian disebutkan:

و ساسة العباد

“Sebagai politikus-politikus (yang mengatur urusan) hamba-hamba-Nya.”

Fudhail bin Yasar berkata, “Aku mendengar Imam Ja’far Shadiq berkata kepada salah seorang sahabat beliau bernama Qais bin Mashir, “Allah swt mendidik Nabi-Nya dan mendidiknya dengan baik. Ketika telah menyempurnakan dalam mendidiknya, Dia berfirman: وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”[15]

Kemudian Allah swt menyerahkan urusan agama dan umat kepadanya untuk mengatur urusan[16] hamba-hamba-Nya, kemudian berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Dan apa yang dibawa Rasul kepada kalian, maka ambillah (laksanakanlah) dan apa yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah.”[17]

Nabi saw juga dianugerahi dengan Ruh Al-Qudus dan tidak pernah melakukan kesalahan dalam mengatur hamba-hamba-Nya karena telah mendapatkan didikan langsung Allah swt…[18]

Sumber: www.hauzah.net

============================

Catatan kaki :

[1] Bihar Al-Anwar, jilid 17, halaman 30.

[2] Hind bin Abi Halah, putra Sayidah Khadijah as dari suami sebelumnya yang tumbuh besar di rumah Nabi saw.

[3] Bihar Al-Anwar, jilid 16, halaman 147 – 148.

[4] QS. Al-Baqarah [2]: 146.

[5] “مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ…”

 Al-Fath [48]: 29

[6] “فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ”

    Al-Baqarah [2]: 89.

[7] Tafsir Nur Ats-Tsaqalain, jilid 1, halaman 138 dan jilid 5, halaman 77.

[8] QS. Al-Anbiya’ [21]: 107.

[9] Ushul Kafi (Terjemahan Persia Sayid Jawad Mushtafawi), jilid 2, halaman 325.

[10] Ibid, halaman 321.

[11] “اللهم انی اسالك بحق محمد و آل محمد لما غفرت لی”

[12] “اللهم انی اسالك بحق محمد و آل محمد لماانجيتنی من الغرق”

[13] “لَا تَخَفْ إِنَّكَ أَنْتَ الْأَعْلَى”

    Thaha [20]: 68.

[14] Bihar Al-Anwar, jilid 16, halaman 366, menukil dari Jami’ Al-Akhbar, halaman 98.

[15] QS. Al-Qalam [68]: 4.

[16] Inilah arti sesungguhnya politik.

[17] QS. Al-Hasyr [59]: 7.

[18] Ushul Al-Kafi, jilid 2, halaman 5 dan 6.