Proses Peletakan Kata dan Makna
Apakah hubungan antara kata dan makna bersifat esensial seperti asap dan api? Jika demikian, niscaya semua bahasa tak berbeda dan dapat dipahami oleh setiap orang. Akan tetapi, hal kata menunjukkan pada maknanya adalah bagian dari dilalah wadh’iyah (signifikansi konvensional).
Almarhum Syaikh Muzhafar menjelaskan: “Wadh’ (peletakan kata pada makna) ialah penempatan dan pengkhususan suatu kata pada suatu makna.” Penjelasannya, ada tiga pembagian bagi wadh’; dari sisi wadh’ itu sendiri atau si kreator (yang meletakkan kata pada makna), dari sisi obyek (makna) dan dari sisi subyek (kata).
Mengenai sang kreator, siapa dia? Tuhankah, ataukah satu orang misalnya Ya’rab bin Qahthan pencipta bahasa Arab, dan ataukah semua (banyak) orang? Menurut Almarhum, yang benar adalah semua orang.
Penjelasannya bahwa manusia adalah sosok sosial, mau tak mau –dalam kehidupan sosialnya- memerlukan hal saling bantu. Perlu saling bantu dalam memahamkan maksud satu sama lain, melalui isyarat, atau tulisan, atau dengan menghadirkan sesuatu yang nyata di luar. Namun, jalan termudah ialah dengan berbicara.
Macam Pembagian Wadh’
Allah swt mengkaruniakan kepada manusia kemampuan berbicara. Dengan daya inilah ketika ingin menyampaikan apa yang dimaksud, dia rangkai kata-kata yang terdiri dari huruf-huruf. Misalnya, kata “air” terdiri dari huruf a, i dan r. Manusia membuat perkataan untuk menjelaskan maksud dalam dirinya kepada sesamanya. Hingga kemudian tercipta banyak kata dan kalimat yang dapat dihimpun dalam satu kumpulan.
Waktu terus berlalu, jumlah komunitas yang semakin bertambah mengikis jatah kebutuhan hidup setempat, atau perbedaan bermunculan di antara mereka dan sebagainya, menjadi faktor sebagian mereka berimigrasi ke daerah-daerah, memisahkan antara satu dan lainnya. Kemudian tercipta di satu wilayah bahasa bagi masyarakatnya, yang berbeda dengan lainnya. Selain semua itu, sekiranya pencipta tiap bahasa adalah satu orang, tentulah sejarah menyebutkannya dan kita dapat mengetahuinya, namun tidaklah demikian.
Kembali pada soal wadh’ atau pembagian yang pertama dari sisi wadh’ itu sendiri, ia terbagi dua macam:
Apa yang diistilahkan dengan wadh’ ta’yîni; ialah penempatan dan pengkhususan kata pada makna oleh seseorang, misalnya Zaid memberi nama putranya yang lahir, Hasan. Atau satu alat temuan yang disebut oleh penemunya dengan televisi.
Apa yang diistilahkan dengan wadh’ ta’ayyuni; ialah banyaknya penggunaan kata pada satu makna, sampai batas menjadi khusus bagi makna itu. Orang bila mendengar kata tertentu terlintas di benaknya makna yang baru itu. Misalnya, kata “shalat” (yang asalnya bermakna doa) di kalangan mutasyari’ (para pelaku syariat) bermakna ibadah tertentu.
Adapun pembagian yang kedua, yakni dari sisi obyek (makna), wadh’ terbagi empat macam:
Wadh’ dan makna (maudhu’ lah), keduanya bersifat khusus.
Wadh’ dan makna, keduanya bersifat umum.
Wadh’ yang umum dan makna yang khusus, dan 4) Ialah sebaliknya.
Penjelasannya memerlukan beberapa mukadimah berikut:
Pertama, si kreator dalam proses wadh’ bermula dari mengkonsepsi kata kemudian makna, sehingga ia dapat meletakkan kata pada makna. Buktinya bahwa wadh’ merupakan penetapan (penilaian subyektif) dari si kreator atas kata dan makna, dengan mengatakan misalnya: “Aku letakkan kata ini bagi makna ini.” Atau, “Aku jadikan; khususkan; tentukan; tetapkan bahwa makna ini punya kata ini, atau aku sebut –makna- ini dengan nama ini.”
Hal tersebut tidak memungkinkan bagi dia tanpa mengkonsepsi dan mengetahui sesuatu. Terhadap apa yang tak dia ketahui sama sekali (majhul mutlak), dia tak bisa menetapkan sesuatu atau suatu nama bagi apa itu.
Kedua, konsepsi kata dan makna bagi dia dalam dua hal:
1-Entah si kreator mengkonsepsi sendiri secara terperinci, yakni mengkonsepsi makna dengan segenap cirikhasnya. Misalnya, makna “manusia” dengan segala genus dan differensi yang ada padanya. Atau, dia mengkonsepsi spontan secara global. Yakni, pada saat menerapkan wadh’ dia tidak mengkonsepsi makna tanpa semua cirikhas tersebut. Melainkan konsepsi dia adalah titel umum terterapkan pada -dan menjadi pengungkap serta cermin bagi- makna.
Lebih jelasnya, diterangkan dalam logika mengenai proposisi, bahwa subyek proposisi terkadang bersifat parsial sejati (juz`i hakiki), misalnya “Surabaya” adalah kota pahlawan. Terkadang pula bersifat universal (kulli) terterapkan pada banyak hal selain sebagai kota pahlawan.
(Bersambung)
Referensi:
Syarh Ushule Feqh Muzhafar (1)/Ali Muhammadi