Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Budaya Dalam Melihat

0 Pendapat 00.0 / 5

Indera lahiriyah mata, yang melihat, menatap, melirik dan sorotan tajamnya yang bagaikan belatinya, salah satu indra dari fakultas manusia yang paling aktif. Dalam riwayat disebutkan bahwa indera mata adalah indera yang paling kurang bersyukur mengingat sulitnya dikendalikan.  Dan insan yang paling dapat mengendalikan indera mata adalah orang suci, yaitu Rasulullah sendiri, al-Quran mengatakan ma zagha basharu, matanya tidak menyimpang. Logikanya hanya manusia suci yang dapat mengendalikan yang tidak dapat dikendalikan kecuali oleh Allah SWT.

Mata adalah indera lahiriyah yang juga terkait dengan jiwa dan metafisika. Para filsuf berbeda pendapat tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam proses melihat. Sebagian mengatakan cahaya dari luar itu yang membuat mata bisa melihat. Tanpa cahaya di luar yang memancar terhadap mata, maka mata tidak bisa melihat apapun. Filsuf yang lain berpendapat bahwa  jiwa itu yang meluncur ke obyek eksternal dan membuat  tampak bagi mata. Jadi jiwalah yang mengantarkan  mata ke obyek. Indera lahiriyah juga dapat melihat apa yang dilihat oleh mata  batin. Inilah penyatuan antara indera lahiriyah dan indera batiniyyah.

Mata menyukai hal-hal yang indah, yang berwarna-warni, lanskap natural, yang harmonis, bercahaya, yang memberikan inspirasi keagungan, dan kebesaran Tuhan. Alam dari langit , bintang, hingga samudra dan kedalamannya dengan ikan-ikan adalah lanskap yang terindah yang akan melejitkan mata dan menjernihkan mata. Apa yang dilihat itu direkam kemudian oleh memori dan diantarkan kepada nalar. Nalar membutuhkan data-data visual sebagai data yang axiomatik. Mata menjadi bahagia karena  apa yang dilihatnya mencerahkan nalarnya. Mata menjadi isntrumen bagi jiwa natiq, jiwa yang lebih sempurna yang lebih komprehensif dan menjadi jati diri manusia.

Namun mata menjadi menderita dan nestapa kala harus melayani hasrat-hasrat jiwa hewani dan nabati, menjadi budak bagi nafsu-nafsu syahwat dan ghadab sebab mata direndahkan dan dihinakan. Dan jika itu terus-terusan terjadi maka mata lupa akan  kebesaran dan keagungan Tuhan yang pernah dilihatnya. Akhirnya mata menjadi lebih senang dengan obyek-obyek yang dapat memuaskan syahwat jiwa rendah.

Budaya pop dan kultur  modern ingin memanfaaatkan mata seluruh manusia sebagai umpan untuk menjual produk-produknya.  Kekuatan dibalik kafitalisme dan liberalisme melihat satu-satunya  indera yang dapat dibujuk dengan mudah adalah mata.  Mereka sulit meyakinkan pikiran, meyakinkan  hati manusia, tapi mereka dengan mudah mengendalikan pikiran dan hati sebagian besar manusia kalau tidak dikatakan seluruh manusia lewat mata.  Mata yang terpancing, mata yang terbius, mata yang terangsang, mata yang terpukau, mata yang terpikat menjadi jalan untuk menjebak jiwa-jiwa rendah. Yang bangkit dan hidup kemudian adalah jiwa-jiwa rendah yang menghamba pada kesenangan, kelezatan, kepuasaan.  Jiwa menjadi lupa dan lalai ketika dipenuhi dengan segala kesenangan ia akan mati.  Menurut Mulla Sadra dalam tafsirnya, nyamuk itu hidup karena kelaparan dan akan mati jika kekenyangan. Demikian juga manusia akan mati karena kekenyangan dengan kesenangan-kesenangan duniawi.

Mata itu ingin melihat kembali, tentunya karena sebelumnya pernah melihat. Sebagaimana mata tidak mau melihat lagi sesuatu yang menakutkan yang pernah dilihatnya.  Jadi ada pengalaman terlebih dahulu yang mendorong ingin kembali mengulangi menikmati kenikmatan ilusi. Sayangnya sebagian manusia tidak menyadari akan ilusi ini. Mereka mengira kenikmatan memandang yang memancing syahwat adalah real. Padahal pengalaman empiris membuktikan mengikuti dorongan syahwat apalagi yang tidak halal akan mendatangkan rasa sesal, dan juga mendatangkan adiksi (ketagihan).

Dalam melihat mata juga kadang-kadang dituntun oleh  indera batin yang disebut dengan hiss musytarak (sensus communis).  Seperti dalam mempersepsi gerakan, atau garis lurus hujan. Ketika hujan turun, tetesan itu bergerak ke bawah menurun setetes demi setetes. Itulah yang real, tapi mengapa terlihat seperti garis lurus memanjang? Di sini terjadi kerjasama antara indra mata fisik dan indra batin.

Mata sekarang dapat melihat  hal-hal yang sekarang  dibukakan dan diperlihatkan secara bebas oleh kekuatan kafitalis dan imperialis. Hiburan dan kesenangan mata sangat bervariasi dari televisi, bioskop, film, game, interntet, you tube, video streaming, teater, pertunjukan seni dan musik.

Invasi dan penjajahan dimulai dari mata. Ketika seluruh mata bisa ditundukan dan diarahkan untuk melihat pertunjukan kaum kafitalis dan imperialis maka indera yang lain akan tersihir mengikuti indera yang paling depan ini.

Ternyata apa yang dilihat tidak begitu saja menghilang. Obyek yang dilihat itu menjadi eksis dan abadi karena diabadikan oleh mata. Mata ibarat kamera yang memotret apa saja dan kemudian diupload ke memori. Sekalipun di kegelapan atau sedang tertidur. Mata masih bisa melihatnya. Setiap saat mata menatapnya, mengunggahnya kembali, menikmatinya, tenggelam dalam kelezatan obyeknya meskipun sang obyek sudah mati, sudah hancur dan sudah tiada. Tapi ia menjadi hidup kembali dihidupkan oleh mata, dipelihara oleh jiwa-jiwa rendah yang memperbudak mata.