Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Perspektif Islam Tentang Batasan dan Jenis Penyimpangan Seksual (2)

0 Pendapat 00.0 / 5

Sebelumnya telah disebutkan bentuk-bentuk penyimpangan seksual berdasarkan Asosiasi Psikolog Amerika (APA). Dalam penjelasan tersebut, zina dan incest atau hubungan seks dengan muhrim (saudara kandung dengan pertalian darah yang tidak boleh dinikahi) tidak dimasukkan dalam kategori penyimpangan seksual. Hal ini menjelaskan bahwa dalam pandangan mereka, kedua hal tersebut tidak dianggap sebagai bentuk penyimpangan seksual dan abnormalitas.

Selain bentuk-bentuk yang disebutkan di atas, penyimpangan seksual dalam pandangan Islam juga melingkupi hal-hal berikut: homoseks, lesbian, seks dengan cara menyiksa pasangan seks (sadisme seksual), mendapatkan kenikmatan seksual dengan cara melukai diri melalui diri sendiri atau dengan bantuan orang lain (masokisme seksual), sadomasokisme (kenikmatan seksual yang diperoleh dari melihat orang yang dihukum), kenikmatan seksual yang diperoleh dari melihat anggota tubuh atau barang-barang milik lawan jenis, berhubungan badan dengan binatang (bestialy), kenikmatan seksual dari bersetubuh dengan mayat (nekrofilia), melihat orang sakit, sakaratul maut, orang terluka atau sekedar hadir di pemakaman, merasakan kenikmatan seksual dari memamerkan tubuh telanjang di depan umum (ekshibisme) dan bersetubuh dengan muhrim (Sutudeh, 1378). Beberapa tindakan seksual lainnya juga tergolong sebagai bentuk penyimpangan seksual, antara lain: onani, masturbasi, pelacuran, dan transeksual.

1. Istimna’ (Onani)

Istimna’ berarti seseorang melakukan perbuatan pada dirinya sendiri hingga air mani keluar dari alat vitalnya. Al- Quran dalam ayat 7 surah al-Mukminun melarang dengan keras perbuatan ini. Dalam sebuah riwayat disebutkan: “Seseorang bertanya kepada Imam Shodiq as perihal istimna’. Imam as menjawab: ”Ia (istimna’) adalah sebuah dosa besar. Siapa yang melakukan perbuatan buruk itu sama halnya dengan menikah dengan dirinya sendiri. Sekiranya saya menemukan orang yang melakukan istimna’, saya tidak akan pernah makan dengannya”. Orang itu kemudian bertanya lagi, apakah ada penjelasan dalam al-Quran yang mengharamkan perbuatan ini? Imam Shodiq as lantas membaca ayat 7 surat al-Mukminun (Hurr Amili, 1409). Ayat tersebut merupakan hukum universal. Artinya, siapapun yang menyalurkan hasrat seksualnya dengan cara apapun diluar ikatan pernikahan termasuk dalam golongan orang-orang yang melampaui batas (Fadhil Miqdad, 1419).

Dalam riwayat yang lain, setelah ditanya tentang bersetubuh dengan binatang dan istimna’, Imam Shadiq as menjawab: ”Barang siapa yang mengeluarkan airnya (sperma) dengan cara tersebut, maka dia adalah pezina”. Yakni, dosa yang dilakukan orang yang bersetubuh dengan binatang dan melakukan istimna’ setara dengan dosa orang yang berzina (Kulaini, 1365). Begitu juga Rasul saw, terkait perkara ini bersabda: ”naakihul kaffi mal’unun : orang yang menikah dengan tangannya adalah orang yang terlaknat” (Muhaddits Nuri, 1407)

2. Liwath (Sodomi)

Salah satu bentuk penyimpangan seksual adalah berhubungan badan dengan sesama jenis. Penciptaan manusia dalam dua jenis; laki-laki dan perempuan merupakan penjelas bahwa laki-laki mesti menikah dengan perempuan. Bukan hubungan badan antara laki-laki dengan laki (sodomi) atau perempuan dengan perempuan (lesbian). Hubungan badan sesama jenis tentu keluar dari koridor fitrah manusia. Secara fitri, pernikahan ditopang oleh asas pelestarian keturunan, bukan sekedar berkumpulnya dua entitas dari spesies manusia dalam kehidupan. Dalam falsafah penciptaan, perempuan tercipta untuk laki-laki dan laki-laki tercipta untuk perempuan (Kajbaf, 1378). Menurut Islam, sebagaimana termaktub dalam al-Quran, menikah merupakan hal yang amat ditekankan. Disebutkan bahwa relasi laki-laki dan perempuan diibaratkan sebagai pakaian satu dengan yang lainnya. Allah swt berfirman:

هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَ أَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ

Artinya:”…mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka…” (al-Baqarah:187).

Ketidakpedulian pada asas pernikahan menyebabkan lahirnya kecenderungan seksual pada sesama jenis. Tindakan suka sesama jenis ini merupakan tindakan buruk yang keluar dari garis fitrah dan kecenderungan alami manusia. Hal ini juga menjadi penyebab kehancuran dan punahnya spesies manusia, serta hilangnya kemuliaan manusia. Dalam beberapa tempat al-Quran menceritakan kisah kaum Nabi Luth as disertai dengan penjelasan dan celaan terhadap perbuatan homoseksual kaum Nabi Luth as. Seperti:

أَتَأْتُونَ الذُّكْرانَ مِنَ الْعالَمين

وَ تَذَرُونَ ما خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْواجِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ عادُون

Artinya: ”Apakah kalian mendatangi jenis lelaki di antara sekian manusia, dan kalian tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhan kalian untuk kalian? (Benar-benar) kamu adalah orang-orang yang melampaui batas” (as-Syu’ara:165-167).

Pada ayat lain disebutkan:

وَ لُوطاً إِذْ قالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفاحِشَةَ ما سَبَقَكُمْ بِها مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعالَمين

إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّساءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُون

Artinya:” Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala ia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan buruk itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu. Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melampiaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas” (Al-A‘raf:80-81).

Memperhatikan ayat di atas, kalimat “لَتَأْتُونَ الرِّجالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّساءِ ” merupakan penjelasan atas tindakan seksual antara laki-laki dengan laki-laki. Selain itu, kalimat tersebut juga menjelaskan bahwa kaum Nabi Luth as meninggalkan hubungan seks dengan istri-istri mereka dan mencukupkan hasrat mereka pada sesama laki-laki. Al-Quran Karim menyebut hal tersebut (liwath) sebagai tindakan yang melampaui batas karena perbuatan tersebut telah keluar dan menyimpang dari jalur fitrah بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُون (Thabathabai, 1374).

3. Musahaqah (Lesbianisme)

Istilah musahaqah (lesbianisme) disebutkan kepada perbuatan dua perempuan yang merasakan kenikmatan dan menyalurkan libidonya dengan saling menyentuh organ kewanitaan. Dalam riwayat, kaum Nabi Luth as tercatat sebagai kaum yang pertama melakukan perbuatan lesbianisme diantara sesama mereka. Saat itu, ketika para lelaki sibuk dengan perbuatan sodomi, istri-istri mereka terabaikan tanpa kehadiran suami. Karena itu, akhirnya mereka mengisi kekosongan dengan menyibukkan diri satu sama lain sebagaimana laki-laki sibuk dengan sesama jenisnya (Hurr Amili, 1409).

Bersambung…