Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Menikah: Tantangan atau Peluang? (Bagian I)

1 Pendapat 05.0 / 5

Dalam tradisi hampir seluruh masyarakat, perkawinan merupakan hal biasa yang akan dilalui seseorang dalam fase kehidupannya. Anak-anak menjadi dewasa, menyelesaikan pendidikannya sampai tingkatan tertentu, menemukan seseorang sebagai pasangan hidupnya kemudian menikah dan membangun keluarga baru. Karena itu, tak heran pertanyaan ‘Sudah menikah’ atau ‘Kapan kawin’ sering dilontarkan pada laki-laki atau perempuan dewasa. Meski pertanyaan ini kadang tidak disukai atau bahkan menyakitkan pada sebagian orang, namun tetap saja ditanyakan oleh sebagian besar orang.

Kehidupan perkawinan dan keluarga merupakan bahan obrolan paling diminati terutama oleh pasangan muda. Pernikahan akan menjadi topik pembicaraan hangat di kalangan anak muda yang justru belum menikah. Secara sosial menikah akan menaikkan peran dan kedudukan seseorang di masyarakat. Tidak hanya memberi ketenangan sebagaimana yang dijanjikan Alquran, menikah menjadi jalan bagi pemenuhan kebutuhan biologis, emosional dan spiritual bagi seseorang.

Tapi, tidak sedikit pula orang-orang yang beranggapan pernikahan akan menjadi penjara yang akan mengungkung dan menyulitkan kehidupannya. Mereka takut dan tidak siap untuk terikat dan menanggung beban kehidupan berkeluarga. Apa yang menyebabkan adanya perbedaan pandangan terhadap pernikahan? Apa saja yang perlu diketahui tentang pernikahan?

Apakah Makna Pernikahan?

Banyak para ahli yang telah mendefenisikan pernikahan. Dari definisi yang diungkapkan Born B. Ingoldsby, Bonnie J. Fox dan lainnya, perkawinan memiliki 4 ciri yaitu: adanya hubungan fisik, hubungan antar jenis kelamin, kestabilan dan kontrak sosial. Dalam hal ini perkawinan harus dilakukan oleh hubungan dua jenis kelamin yang berbeda berdasarkan hubungan seksual yang stabil. Karena itu hubungan sejenis tidak bisa disebut perkawinan sebagaimana hubungan antar jenis kelamin yang tidak stabil. Selain itu perkawinan juga memerlukan legalitas dan pengakuan secara sosial.

Najafi (1388 HS) dalam bukunya Islam wa Jaamaahsyenasi Khanewadeh mendefenisikan perkawinan menurut ajaran Ahlul Bait sebagai berikut: “Perkawinan merupakan perjanjian yang sah dimana terjadi penyatuan dua orang yang berbeda jenis kelamin dan biasanya telah mencapai usia baligh sehingga aktivitas hubungan seksual keduanya menjadi sah dan diperbolehkan baik dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak ditentukan waktunya/daim”.

Mengapa Orang Menikah?

Pada kenyataannya pria dan wanita yang menikah akan memikul beban tanggung jawab dan kewajiban secara bersamaan. Meskipun telah mengetahui beratnya kosekwensi menjalani kehidupan perkawinan, apa yang membuat banyak orang tetap saja berkeinginan untuk berkeluarga?

Pernikahan bukan saja bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan biologis secara teratur dan menghindarkan seseorang dari keresahan yang berasal dari dorongan insting dasar. Laki-laki dan perempuan yang bersatu dalam bahtera perkawinan akan saling menyayangi. Pasangan sah ini menjadikan satu sama lain sebagai belahan jiwa tempat menjaga seluruh rahasianya dan rujukan untuk menemukan cinta dan kebutuhan emosionalnya.

Memiliki keturunan dan pengasuhan anak menjadi tujuan berikutnya atas pernikahan. Tidak berbeda dengan hewan, manusia juga tertarik untuk melanjutkan garis keturunannya dan merasakan kenikmatan dari memiliki keturunan. Pada masyarakat tradisional, perkawinan dijadikan perantara untuk menjalin hubungan kekerabatan dengan keluarga lain.

Perkawinan juga memiliki aspek penguatan ekonomi. Laki-laki dan perempuan yang bersatu dalam rumah tangga melalui kerjasama yang panjang dari segala sisi berupaya memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan pernikahan mereka memasuki sistem pembagian kerja yang telah ditentukan. Selanjutnya anak-anak yang lahir sebagai buah dari perkawinan kelak akan membantu keuarga dari sisi ekonomi.

Ajaran Islam menganjurkan semua hal yang menjadi tujuan perkawinan. Islam menekankan untuk memenuhi kebutuhan insting dasar dan kebutuhan emosional dari pasangan yang sah, memiliki dan mengasuh anak dan melakukan upaya antisipisasi atas kerusakan masyarakat.

Anjuran Menikah dalam Islam

Anjuran untuk menikah terdapat dalam referensi teks baik al-Quran maupun Hadis. Dalam surah an-Nur ayat 32 Allah SWT menyeru sebagai berikut:
وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“(Dan kawinkanlah orang0orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang saleh dari hamba-hamba kalian laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Luas (pemberian-Nya) dan Maha Mengetahui.”

Dalam Kitab Wasail as Syiah yang ditulis oleh Syaikh Hurr al Amili, anjuran menikah dinukil dalam banyak hadis antara lain:
من سنّتي التزويج فإنّ من أحب أن يتبع سنّتي  

(Rasulullah salallahu alaihi wa alih bersabda: Siapa yang menyukai sunnahku, maka menikah merupakan sunnahku)
تزوجوا فإن التزويج سنة رسول لله صلى لله علیه وآله

(Diriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali as: “Menikahlah kalian, sesungguhnya menikah merupakan sunnah Rasulullah salallahu alaihi wa alih)

Anjuran Menikah dalam Konteks Kekinian

Pimipinan tertinggi Revolusi Islam Sayyid Ali Khamenei dalam salah satu pesannya yang menganjurkan pernikahan menyatakan kita harus percaya pada janji Allah dalam ayat tersebut  di atas. Alih-alih pernikahan dikhawatirkan membuat kehidupan seseorang menjadi sempit, bahkan Allah akan menambahkan rezeki yang berlimpah bagi mereka yang menikah. Beliau melanjutkan karena itu, kita tidak dapat membiarkan pemuda-pemuda melewati usia pernikahannya terutama anak perempuan. Dahulu orang-orang begitu peduli dalam masalah pernikahan pemudanya, misalnya mereka menyediakan dan membantu proses lamaran. Atau memperkenalkan calon pasangan yang baik kepada pemuda yang belum menikah. Pesan ini bermakna anjuran kepada seluruh komponen masyarakat untuk berusaha mendukung dan memudahkan terjadinya proses pernikahan.

Hari ini, pemikir dan peneliti di Negara Islam telah sampai pada kesimpulan bahwa akar kerusakan masyarakat bermuara pada anak-anak muda yang masih sendiri ketika memasuki usia pernikahannya.  Masyarakat mengalami kehancuran moral ketika pemuda dan pemudi seharusnya melakukan hubungan yang sah dalam pernikahan, namun mereka tidak mendapat dukungan ke arah tersebut. Akhirnya, anak-anak muda ini saling berhubungan dan menyalurkan kebutuhannya pada jalan-jalan yang tidak benar.[*]