Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Sedih Karena Allah (1)

1 Pendapat 05.0 / 5
 
Suatu hari tujuh orang miskin dari kalangan Ansar datang dan memohon kepada Rasulullah saw untuk mendapat fasilitas kendaraan yang memungkinkan mereka terlibat dalam jihad, namun beliau tak dapat memenuhi permohonan mereka karena fasilitas itu memang tidak tersedia.
 Mereka lantas pulang dalam keadaan bersedih dan berkucur air maka, lalu turunlah firman Allah SWT;
وَلاَ عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لاَ أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَناً أَلاَّ يَجِدُوا مَا يُنفِقُونَ.
“Dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: ‘Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu,’ lalu mereka kembali, sedang mata mereka berkucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.”[1]
Setelah kejadian dan turunnya ayat ini  tujuh sahabat Nabi saw itu dikenal dengan sebutan “al-bakka’un” (orang-orang yang menangis).[2]
Al-Huzn (kesedihan) di sini dapat berupa rintihan atas kehilangan sesuatu yang masih bisa ditebus dengan qadha’, taubat dan lain-lain, dan dapat pula berarti keprihatinan atas keterhalangan dari sesuatu yang diinginkan sebagaimana terjadi pada peristiwa yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut.
Yang jelas, semua kesedihan ini menandakan kerinduan kepada Allah SWT dan kebaikan, kerinduan yang termotivasi oleh hasrat manusia untuk menggapai kesempurnaan. Manfaatnya antara lain mendorong manusia untuk menebus kekurangan dan mengejar ketertinggalan serta melindungi manusia dari motivasi lain yang dapat melemah mental.
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as dalam khutbahnya yang terkenal dengan nama Khutbah Humam atau Khutbah al-Muttaqin, yaitu khutbah yang menjelaskan sifat-sifat orang-orang yang bertakwa, bertutur;
قلوبهم محزونة، وشرورهم مأمونة، وأجسادهم نحيفة، وحاجاتهم خفيفة، وأنفسهم عفيفة، صبروا أيّاماً قصيرة أعقبتهم راحة طويلة. تجارة مربحة يسّرها لهم ربّهم. أرادتهم الدنيا فلم يريدوها، وأسرتهم ففدوا أنفسهم منها. أمّا الليل فصافّون أقدامهم، تالين لأجزاء القرآن يرتّلونه ترتيلاً، يحزّنون به أنفسهم، ويستثيرون به دواء دائهم.
“Hati mereka bersedih, keburukan mereka terkendali, raga mereka ringkih (karena banyak berpuasa), kebutuhan mereka ringan, jiwa mereka bersih, bersabar atas derita nan sementara yang akan disusul kebahagiaan nan abadi. Allah memudahkan bagi mereka perniagaan yang menguntungkan. Dunia menghendaki mereka tapi mereka tak menghendakinya. Dunia menawan mereka tapi mereka mengorbankan jiwa untuk lepas darinya. Tengah malam mereka bangkit (mendirikan shalat), membaca bagian-bagian al-Quran secara tartil, dengannya mereka melarutkan jiwa dalam kesedihan, dan dengannya mereka mencari obat bagi penyakit mereka.”[3]
Kesedihan di sini tentu saja bukanlah kegalauan yang membuat seseorang terjauh dari aktivitas sosial dan dari minat bergaul dengan sesama orang yang beriman dan masyarakat secara umum seperti biasa terjadi sufi-sufi gadungan. Kesedihan seorang arif cukuplah terpendam dalam kalbu untuk menjaganya dari keburukan dan pengingkaran nikmat, sehingga wajahnya justru tampak ceria, perilakunya santun dan senang bermasyarakat, mengundang simpati banyak orang, dan terobsesi untuk membantu memenuhi kebutuhan orang-orang yang beriman dan masyarakat pada umumnya.
Imam Ali as berkata;
المؤمن بِشره في وجهه، وحزنه في  قلبه، أوسع شيء صدراً، وأذلّ شيء نفساً، يكره الرِفعة، ويشنأُ السُمعة، طويل غمّه، بعيد همّه، كثير صمته، مشغول وقته، شكور، صبور، مغمور بفكرته، ضنين بخلّته، سهل الخليقة، ليّن العريكة، نفسه أصلب من الصلد، وهو أذلّ من العبد.
“Seorang mukmin keceriaannya ada di wajahnya, kesedihannya terpendam dalam hatinya, dadanya paling lapang, jiwanya paling merendah, tak suka berbusung dada, membenci gengsi, panjang rasa keprihatinannya, jauh kepeduliannya, banyak diamnya, sibuk waktunya, banyak bersyukur, banyak bersabar, tenggelam dalam keberpikirannya, kikir dalam menunjukkan kebutuhan (tak suka meminta), perangainya toleran, perilakunya lembut, jiwanya paling teguh tapi lebih merendah daripada hamba sahaya.”[4]
Penjelasan mengenai beberapa bagian penting dalam kata mutiara Amirul Mukminin as ini ialah sebagai berikut;
(Bersambung)
CATATAN : 
[1] QS. Al-Taubah [9]: 92.
[2] Lihat Tafsir Namuneg, jilid 8, hal. 80.
[3] Nahjul Balaghah, Khutbah 193.
[4] Nahjul Balaghah, Hikmah 333.