Sirah Uqalaiyah; Jalan Semua Orang Berakal
Di masa hidup Rasulullah, tugas-tugas syar’i atau hukum Islam didapat melalui beliau saw sebagai sumber wahyu. Kemudian sepeninggal beliau, hukum syar’i (menurut Syiah Imamiyah) bisa diperoleh dari para imam Ahlulbait, atau (menurut Ahlussunnah) dari para sahabat Nabi saw, tabi’in dan generasi sesudahnya yang pakar hukum syar’i sampai masa para imam mazhab-mazhab. Bagaimana dengan masa sekarang ini? Kepada siapa mereka harus merujuk?
Menurut Syiah Imamiyah, kegaiban besar (ghaib kubra imam keduabelas/yang terakhir, al-Mahdi) berakibat terpisah dari -imam sebagai- sumber hukum syar’i. Hal ini mengharuskan adanya sumber lainnya, jalan alternatif yang ditempuh dan menjadi rujukan, ialah yang diistilahkan dengan “Sîrah uqalâ`iyah”.
Tak terlepas begitu saja tanpa arahan sebelumnya dari Imam, bahwasannya beliau pada masa kegaiban kecil (ghaib sughra) telah meninggalkan pesan kepada Syiahnya, di antaranya; agar mereka dalam urusan agama dan dunia merujuk kepada fuqaha:
من كان من الفقهاء صائناً لنفسه ، حافظاً لدينه ، مخالفاً لهواه ، مطيعاً لأمر
مولاه فللعوامّ أن يقلّدوه
“Seorang dari fuqaha (para pakar hukum syar’i) yang menjaga dirinya, memelihara agamanya, menentang hawa nafsunya dan mematuhi perintah maulâ (imam)nya, maka hendaklah kaum awam mengikuti dia.” (Wasail asy-Syiah 27/131; dan lainnya.)
Dari arahan inilah lahir ide ijtihad dan taqlid, sebagaimana tuntutan di masa kegaiban yang menghijab hubungan langsung dengan Imam. Maka pintu ijtihad dan taqlid menjadi terbuka, hingga masa bila al-Mahdi muncul atas kehendak Allah swt.
Makna Sirah Uqalaiyah
Maksud dari sîrah ‘uqalâ`iyah ialah bersinambungnya kebiasaan semua orang berakal/konvensi umum (‘urf âm) -mencakup muslimin dan selain mereka. Juga terbangunnya amal mereka -bersama- dalam melakukan sesuatu atau meninggalkannya. Jadi, sîrah‘uqalâ`iyah membuahkan keharusan merujuknya orang bodoh kepada orang berilmu (ahlul khibrah). Adalah makna lain hukum akal praktis, yang berarti memahami bahwa sesuatu itu harus dilakukan atau ditinggalkan. Juga adalah hukum fitrah, yang mengharuskan orang bodoh terkait hal yang tak diketahuinya merujuk kepada orang berilmu.
Kepada sîrah ‘uqalâ`iyah atau akal praktis atau fitrah inilah mereka diarahkan oleh hukum irsyâdi (pengarahan) yang terdapat di dalam Alquran dan Sunnah, atau yang diperoleh dari akal atau ijma’ atau sirah ma’shumin (Ahlulbait Nabi saw). Dengan kata lain yang menjadi kesimpulan dari atas, bahwa riwayat tersebut merupakan hukum syar’i yang mengarahkan ke hukum akal atau fitrah atau sîrah ‘uqalâ`iyah.
Perlu diketahui bahwa sîrah ‘uqalâ`iyah tidak menjadi hujjah dalam arti tidak boleh beramal atasnya, atau tidak berpegangan padanya kecuali jika telah disahkan oleh Syâri’ (Allah dan Rasul-Nya) melalui Alquran dan Sunnah. Atau, minimal tidak ada larangan dari seorang ma’shum.
Sebagaimana bahwa akal, fitrah dan sîrah ‘uqalâ`iyah mengharuskan merujuk kepada ahlul khibrah (pakar ilmu) di bidangnya, setiap orang dimungkinkan menghadapi taklîf (tugas syar’i) atau dia mengetahui –sekalipun secara global- taklif yang tertuju kepada dirinya, maka dia harus mengkajinya untuk kemudian diamalkannya atas sepengetahuan dia. Hal ini takkan terwujud kecuali dia menjadi seorang mujtahid atau muqallid atau muhtâth (yang akan diterangkan di kesempatan lain), sebagaimana diterangkan di dalam semua risalah amaliyah.
Mujtahid adalah seorang yang telah meluangkan banyak waktu di sepanjang hidupnya dalam mempelajari ilmu-ilmu hauzah ilmiah yang mengantarkan dirinya pada kemampuan ber-istinbath. Yakni, mampu menyimpulkan atau mengeluarkan hukum syar’i dari sumber-sumbernya: Alquran, Sunnah, akal dan ijma’. Dari empat sumber inilah ia ber-ijtihad yang berarti pengerahan usaha yang cepat untuk menyimpulkan hukum syar’i.
Adapun ilmu-ilmu yang dikuasainya antara lain ilmu bahasa Arab, fikih, usul fikih, manteq, hadis dan rijal. Adalah bidang-bidang ilmu khusus yang tak dipelajari oleh semua orang. Melainkan sedikit orang yang mempelajari dan menguasai ilmu-ilmu ijtihad ini. Hal ini telah diisyaratkan di dalam QS.At-Taubah 122:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ
مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ
لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak ada beberapa orang dari tiap-tiap golongan di antara mereka yang (diam di Madinah) untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepada kaum mereka itu? Semoga mereka itu takut (untuk menentang perintah Allah).
Referensi:
Kaifa Nafhamu ar-Risalah al-‘Amaliyah (1)/MM.Al-Mu`min