Sejarah Pembahasan Tema Ijtihad dan Taqlid dalam Fikih dan Ushul
Disini tidak dibahas apa dan bagaimana makna dari Ijtihad dan taqlid, tulisan ini lebih membahas sejarah munculnya pembahasan Ijtihad secara khusus dari pembahasan fikih yang lain.
Sebenarnya materi Ijtihad dan taqlid bisa merupakan pembahasan ushuli juga bisa merupakan pembahasan fikhi.
Terkait tema Ijtihad dan taqlid Pada awalnya tidak ada ulama yang membahas tema Ijtihad dan taqlid secara khusus, yaitu sebelum syaikh khurasani penulis kifayah dan almarhum Yazdi. Pada waktu itu ulama fikih dalam kitab-kitab fikih mereka langsung membahas masalah thaharah. Jadi tidak dibahas terlebih dahulu tema ijtihad dan juga taqlid. Padahal tema ijtihad dan taqlid sebenarnya merupakan pembahasan dasar yang menjadi dasar pembahasan materi fikih yang lain. Dalam hal ini Syaikh Khurasani menjadi orang pertama yang membahas tema Ijtihad dan taqlid secara terpisah.
Ulama ulama terdahulu menulis dan membahas tema penting Ijtihad dan taqlid dalam beberapa pokok bahasan, menyatu dengan pembahasan fikih yang sedang dikaji, misalnya mereka sedang membahas masalah pertama masalah qadha, karena syarat untuk menjadi seorang qadhi maka dia harus sampai pada tahap mujtahid, kedua masalah hudud, dalam masalah hudud pemberian hukum atau penetapan suatu hukum maka ini harus keluar dari seorang ahli agama yang sudah bisa mengambil hukum dari sumber-sumber hukum, ketiga masalah jihad, ijtihad dalam masalah jihad harus dibahas karena ijin untuk melakukan jihad fi sabilillah harus keluar dari seorang mujtahid ahli agama, tidak bisa sembarang orang mengeluarkan fatwa untuk melakukan jihad, jika demikian maka akan terjadi pertumpahan darah muslim begitu saja. Jadi jelas pengambil keputusan harus orang yang kompeten, keempat masalah harta muslimin, pembagian ghanimah perang dan semacamnya hal ini juga harus melalui seorang mujtahid yang benar-benar paham hukum. Pada saat ulama membahas tema ini mereka mau tidak mau harus membahas definisi ijtihad, syarat-syarat ijtihad, batasan ijtihad, boleh tidaknya melakukan amalan ijtihad dalam fikih dan semacamnya. Membahas tema ijtihad dan taqlid sebagai sebuah muqadimah dan pelengkap untuk membahas materi fikih yang sedang dikaji. Belum merasa perlu untuk mengkaji tema ini sebagai sebuah tema utuh dan terpisah dari materi fikih yang lain. Hingga akhirnya ditulis oleh penulis buku kifayah dan Almarhum Yazdi.
Apakah perbedaan ketika pembahasan ilmu ijtihad dan taqlid dalam ilmu fikih dibanding pembahasan ini dalam ilmu ushul. Dalam ilmu ushul, pembahasan masalah ijtihad berbicara masalah definisi dari ijtihad, syarat-syarat ijtihad, dibahas juga apakah dalam ijtihad itu yatajaza’ atau ghairu mutajazi’, dibahas seputar subhat-subhat yang ditujukan terhadapa ijtihad, menjawab subhat-subhat yang biasanya dilontarkan kelompok akbhari, kelompok yang tidak mengakui seorang mujtahid, lebih mengedepankan teks-teks hadis yang mereka pahami. Mereka mengklaim harus lebih mempercayai riwayat dibanding hasil ijtihad seorang mujtahid.
Ketika pembahasan ijtihad dalam lingkup fikih, maka ijtihad ini diurai dari sisi fikihnya, jadi dibahas dari sisi mukalaf, tentang amal mukalaf, tentang bagaimana mukalaf menjadi seorang mujtahid, mukalaf harus menjadi mujtahid, mukalid, atau mukhtat.
Terkait masalah taklif yang menyatakan seseorang yang secara ijmali sudah mengetahui bahwa maula memerintah sesuatu maka ada tiga kemungkinan, pertama seorang hamba menjadi mujtahid, yakni dia sendiri meneliti sumber-sumber hukum lalu melaksanakan hasil ijtihad ini, kedua dia menjadi seorang muqalid atas hasil ijtihad dari seorang mujtahid, jadi untuk melaksanakan amal, seorang hamba cukup mengikuti hasil ijtihad dari seorang mujtahid, ketiga adalah menjadi muhtat, yaitu dia melakukan ihtiyath dengan meneliti pendapat-pendapat para mujtahid lalu mengambil pendapat yang paling dekat, misalnya ada dua pendapat yang pertama menyebut amalan itu adalah haram dan yang lain menyebut amalan itu makruh, maka dia mengambil yang haram, jadi meninggalkannya sama sekali, dengan amalan ini maka dia telah sampai tahap yakin, jadi jika pendapat mujtahid yang menilai itu makruh yang matlub indal maula maka tidak masalah bagi dia, dia sudah meninggalkan amalan itu, jika yang benar adalah pendapat yang menilai, amalan itu haram, maka dia juga sudah mengamalkannya.
Taklif kewajiban untuk menjadi mujtahid, muqalid atau muhtath ini hukumnya wajib, wajib disini wajib yang mana, sebab wajib ada beberapa macam, ada wajib fithtri, wajib aqli, wajib thariqi atau syar’i.
#dirangkum dari pelajaran bahtsul kharij uhsul dan fikih kelas Syaikh Hakim.