Ngaji Rumi: Jendela Cinta, Melihat Segalanya lebih Indah
Sebab cinta bersatulah semesta, tanpa cinta dunia menjadi gulita
Sebab cinta dal yang lengkung menjadi alif, tanpa cinta alif menjadi dal
(Rumi, Divan-e Kabir, puisi kedua, bait ke 14)
Membincang Rumi tanpa menyebut kata cinta adalah kemustahilan. Seperti kita berbicara kehidupan tanpa memperhitungkan unsur air dan udara. Rumi dan cinta, dua hal yang selalu melekat. Bahkan, dalam ranah mistisme, Rumi dikenal sebagai pendiri tariqat mazhab cinta. Persoalannya, dari mana kita akan mendedah konsep cinta Rumi, sementara ribuan, kalau tidak ingin disebut seluruh puisi Rumi bercerita tentang cinta.
Izinkan saya memulai dari pengalaman pribadi ketika pertama kali mengikuti kelas Rumi, akhir Januari 2015. Di gedung Evan-e Shams, masih terngiang suara Malikian, salah seorang pakar Rumi Iran. Ia membacakan bait pertama kitab Matsnawi. “Beshenav in ney cun hekayat mikunad, az judaiha shekayat mikukand”(Dengarkan bagaimana kisah seruling ini, yang mengaduh rindu karena keterpisahnya). Rumi tidak main-main ketika menempatkan puisi ini sebagai pembuka dari ribuan syair lainnya.
Menurut Rumi, suara mendayu yang keluar dari seruling, adalah nyanyian kerinduan sepotong bambu yang terpisah dari rumpunnya. Dari filosofi bambu, Rumi memaknai perjalanan hidup manusia. Ketika terlahir ke dunia, manusia merasa terasing karena berpisah dari zdat yang dicintainya. Menurut Malikian saat menafsikan puisi Rumi ini, Tuhan sebagai yang dicinta memberikan kesempatan kepada manusia untuk melakukan perjalanan. Sehingga saat kembali dari safar, manusia akan memiliki bekal cukup untuk mencinta.
Jadi, dalam pandangan dunia Rumi, tugas manusia di dunia adalah belajar terus menurus menjadi seorang pecinta yang bermanfaat bagi semesta sampai kelak ia berjumpa kembali dengan Sang Kekasih sejati. Nampkanya, dari sinilah konsep cinta Rumi berasal hingga melahirkan ribuan puisi-puisi cinta yang mengagumkan. Lalu bagaimana sebenarnya, Rumi memaknai kata cinta itu sendiri?
Dalam banyak puisinya, Rumi memberikan pengakuan bahwa cinta tidak dapat didefinisikan. Seperti pada puisi ke 113-115 jilid pertama Masnawi, Rumi mengatakan, meski bahasa merupakan media penjelas yang sangat baik, tapi tidak untuk menjelaskan cinta. Seindah apapaun bahasa yang digunakan untuk mendefinisikan cinta, akan mengalami keterbatasan. Begitu juga, sehebat apapun para penulis mengolah kata, tidak akan dapat mewakili makna cinta yang sebenarnya.
Karakteristik Cinta Sejati Menurut Rumi
Meskipun secara eksplisit Rumi tidak pernah mendifinisikan cinta yang ia maksudkan, tetapi dengan menelusuri karya puisi-puisinya, kita akan menemukan ciri khas cinta menurut Rumi. Karim Zamani dalam karyanya Bayangar-e Eshg (Pensyarah Cinta), begitu juga Mehdi Kampanizare dalam bukunya Maoulana va Madrese Eshg (Rumi dan Madrasah Cinta), mendedah secara luas dan mendalam puisi-puisi Rumi yang bertema cinta. Dari sinilah, saya mencoba memetakan karakteristik cinta menurut Rumi.
Pertama, Cinta adalah Hadiah dari Tuhan
Dalam banyak puisinya, Rumi menjelaskan bahwa semesta ini tercipta karena cinta. Dan Tuhan memasukkan rasa cinta itu ke setiap hati manusia. Mereka yang selalu merawat fitrah cinta yang Tuhan anugrahkan ini, akan berlapang dada dalam menyikapi berbagai persoalan hidup.
Tuhan, Engkalulah yang menyalakan api cinta di dunia
Hingga semestaku menjadi manis dan penuh suka cita
(Rumi, Divan-e Shams, puisi ke 19, baris ke 13)
Tidak hanya pada manusia dan makhluk bergerak, bahkan menurut Rumi seluruh bagian alam ini diciptakan berpasang-pasangan dan mereka saling mecinta.
Hikmat Tuhan dalam qada dan qadarnya
Ia hadirkan kita sebagai para pecinta
Seluruh bagian alam tercipta berpasangan
Dan pasangan itu saling mencinta
Seperti langit yang berkata pada bumi
Engkau dan aku ibarat magnet dan besi
Jika langit adalah lelaki maka bumi sebagai perempuan
Setiap butir biji yang jatuh, bumi akan memeluk dan merawatnya
(Rumi, Matsnawi jilid 3, bait 4400-4404)
Kedua, Cinta Harus Terus Dirawat
Meskipun cinta merupakan fitrah yang dihadiahkan Tuhan kepada kita, tetapi sebagaimana fitrah-fitrah lainnya, ia dapat memudar bahkan hilang sama sekali. Menurut Rumi, cinta sejati itu perlu terus dirawat dan diusahakan hingga membekas dalam diri.
Belajarlah cinta dan kebijaksanaan
Seperti lukisan dalam batu, ia akan membekas
(Rumi, Matsnawi, jilid 5, bait 3194)
Ketiga, Cinta Sejati tidak Mengharap Balasan
Dalam filsafat Yunani, kita mengenal istilah agape atau cinta tanpa syarat. Meskipun tidak sama persis, barangkali seperti itu juga konsep cinta yang dimaksud oleh Rumi. Perjalanan seorang pecinta harus sampai kepada titik tidak mengharapkan balasan apapun. Karena itulah, dalam tasawuf kita sering mendengar, seorang sufi tidak lagi menginginkan surga. Apa yang ia lakukan, atas dasar kecintaan kepada Tuhan.
Tak ada sesuatu di dunia ini yang bergerak tanpa motif
Hanya jasad dan ruh para pecinta yang berjalan tanpa pamrih
(Rumi, Matsnawi, jilid 1, bait 2800)
Dalam konteks sosial, apakah konsep cinta Rumi ini masih relevan dengan kehidupan manusia yang semakin ego sentris? Meskipun sulit, tapi bukan berarti tidak mungkin. Cerita perjuangan Nakamura, seorang dokter Jepang yang mengabadikan hidupnya di pedalaman Afganistan, tentu masih hangat dalam ingatan kita. Bagaimana usahanya mengubah gurun pasir menjadi ladang gandum yang produktif demi menghidupi 600 ribu penduduk lokal, bahkan jutaan orang di sekitarnya.
Keempat, Cinta Sejati itu Menggerakkan
Cerita kesusastraan tentang kekuatan cinta, hampir dapat kita temukan di setiap tempat. Bagaimana dorongan cinta dapat melahirkan hal-hal manakjubkan dan di luar nalar. Dari cerita Romeo dan Juliet, Laila dan Majnun, Shirin dan Farhad, sampai cerita dari tanah leluhur kita sendiri, Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang. Sekuat itu juga Rumi menggambarkan cinta dalam banyak puisinya. Cinta mampu mengubah yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Karena cinta, pahit menjadi manis
Karena cinta, tembaga menjadi emas
Karena cinta, keruh berganti jernih
Karena cinta, derita berganti bahagia
Sebab cinta mampu hidupkan yang tiada
Sebab cinta, raja rela menjadi hamba sahaya
(Rumi, Matsnawi, jilid 2, bait 1529-1531)
Namun, Rumi juga tidak selalu menggunakan bahasa hiperbolis untuk membuktikan bahwa cinta itu dapat menggerakkan. Sekali waktu, Rumi mengajak kita untuk merenungi kejadian sederhana di sekitar kita. Sebagaimana biji-bijian yang tertanam dalam tanah yang gelap, kemudian tumbuh menjadi pohon yang rindang dan berbuah. Begitu juga, dari tubuh manusia yang ringkih dapat membuahkan kesempurnaan dan akhlak mulia. Dengan cinta manusia dapat mengubah sisi tergelap dalam dirinya menjadi insan mulia.
Kami hadiahkan pada tanah kesuburan dan penghijauan
Agar kau renungkan bagaimana cinta mampu mengubah
(Masnawi, jilid 5, bait 2743)
Dalam puisi lainnya, Rumi memberikan ilustrasi menarik dengan meminjam huruf hijaiyah. Rumi seolah ingin menunjukkan bahwa jika kita berdakwah dengan cinta, bukan tidak mungkin dapat mengubah karakter manusia menjadi lebih baik. Sebaliknya, jika ajakan kita kering dari nilai-nilai cinta, bisa jadi mereka yang berpotensi menjadi baik akan berbalik. Alif dalam ibarat yang dibawakan oleh Rumi sebagai jalan lurus.
Sebab cinta bersatulah semesta, tanpa cinta dunia menjadi gulita
Sebab cinta dal yang lengkung menjadi alif, tanpa cinta alif menjadi dal
(Rumi, Divan-e Kabir, puisi kedua, bait ke 14)
Kelima, Cinta Sejati Membahagiakan
Sebagaimana jalan tasawuf Rumi yang berpijak pada konsep kebahagiaan. Maka bagi Rumi, cinta haruslah memberikan jendela pandang yang membahagiakan. Ini tidak sama artinya dengan kita mengingkari peristiwa-peristiwa menyedihkan dan menyakitkan yang kita alami. Tentu semuanya merupakan bagian hidup yang tidak dapat dipungkiri. Sebagaimana pengakuan Rumi sendiri lewat sebaris puisinya.
Dunia bermula dari cinta dan akan berakhir dengan bencana
Tapi para pecinta, bersyukur saat kesulitan. Berdamai saat guncangan
(Rumi, Divan-e Kabir, puisi kedua, baris ke 20)
Inilah mengapa puisi-puisi Rumi selalu terasa segar, meski telah ratusan tahun berlalu. Apalagi mencermati kondisi sekarang, ketika dunia terus menerus dihujani kabar duka dan memilukan, bait-bait Rumi seperti taman bunga yang memberikan semerbak harapan untuk terus optimis dan melihat segalanya lebih indah melalui jendela cinta.
Andai dunia ini penuh duri
Hati pecinta bagai taman kesturi
Andai bumi ini tak berputar
Semangat para pecinta tak kan pudar
Bahkan andai semua orang berduka
Ruh pecinta tetap bening dan bahagia
Berikan sepuluh lilin padam pada pecinta
Ia akan menjelma seratus ribu cahaya
Seorang pecinta tak kan merasa sunyi sendiri
Karena bersamanya kekasih yang tersembunyi
Pergilah bersama kafilah cinta dan usah kau tanya mengapa
Karena jalan cinta akan mengantarmu pada kemuliaan
(Rumi, Divan-e Kabir, Ghazal 662)