Filosofi Hukum dalam Islam (2)
Sebelumnya, kita telah membahas masalah bahwa rasionalitas memiliki tempat khusus dalam budaya Islam, dan dalam pencerahan akal dan wahyu, seseorang dapat mengenali beberapa filosofi, kebijaksanaan, dan maslahat dari hukum ilahi.
Tetapi prinsip paling penting yang harus dipertimbangkan secara serius dalam proses ini adalah prinsip "ibadah dan penghambaan". yang diperlukan untuk fokus dan fondasi atas seluruh fungsi dalam menjalankan kewajiban agama di semua bidang pribadi dan sosial, ibadah dan politik, ilmu pengetahuan dan budaya dan perilaku serta ucapan setiap Muslim. Dan ayat surgawi ini akan menjadi pedoman dan inspirasi dari semua pasang surut kehidupan, yang mengatakan, "Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam." (QS. Al-An'am: 162)
Dengan sikap seperti itu, prinsip fundamental lain yang disebut "ikhlas dan ketulusan" muncul berdasarkan semua pengambilan sikap dan tindakan yang memiliki warna ilahi. Segala tindakan dalam catatan perbuatan manusia yang berpusat pada Tuhan, tidak akan terlihat tanda riya, tidak ingin menunjukkan diri dan tidak ada motif non-ilahi. Imam Sadiq as dalam hal ini mengatakan, "Siapa pun yang mencintai karena Allah dan marah karena Allah serta memberikan kepada orang yang butuh karena Allah, ia termasuk orang yang sempurna imannya."
Dalam dunia irfan, ibadah "ikhlas" memiliki tempat khusus. Imam Ali as berbicara tentang ini sebagai berikut, "Ya Allah! Saya menyembah-Mu bukan karena takut akan neraka dan bukan karena ingin surga, tetapi karena Engkau layak untuk disembah, maka saya menyembah-Mu." (Nahj al-Balaghah, Hikmah 290)
Mencapai posisi setinggi itu hanya mungkin bagi para arif dan orang-orang terkasih ilahi. Banyak manusia, yang tidak memiliki pemahaman dan perasaan lingkungan ibadah spiritual dan surgawi, memasuki bidang ini dengan motivasi dan tujuan yang berbeda. Seperti beberapa pemimpin pilihan Allah, termasuk Ali as dalam menggambar dan membagi kelompok-kelompok ini dengan mengatakan, "Beberapa orang menyembah Tuhan karena takut akan neraka, dan ini adalah penyembahan para budak. Sebagian lain menyembah Allah karena menginginkan surga, dan ini ibadah para pedagang. Dan sebagian lain berterima kasih kepada Allah (atas berkah-Nya yang tak terbatas), mereka menyembah-Nya, dan ini adalah penyembahan orang bebas." (Nahjul Balaghah, Hikmah 237)
Dalam konteks cara pandang seperti ini, dapat dikatakan bahwa tindakan ibadah kita terdiri dari dua bagian yang sama sekali berbeda. Bagian yang hanya mencakup penampilan lahiriah dan cangkang ibadah, dan dimensi lainnya adalah jiwa dan otak ibadah. Alasan mengapa banyak penyembah tidak mendapat banyak manfaat dari penyembahan mereka adalah karena mereka hanya memperhatikan etiket penyembahan lahiriah, dan sebagai akibatnya kehilangan pengaruh ibadah dan kesempurnaan perilaku ibadah. Tetapi tidak seperti kelompok ini, ada beberapa orang yang memperhatikan kedalaman dan semangat ibadah. Mereka begitu terbenam dalam ruang itu sehingga tidak ada kesenangan lain yang bisa dibayangkan oleh mereka.
Imam Ali as dengan indah menggambarkan wajah kedua kelompok ini dan berkata, "Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapat manfaat dari puasa mereka selain dari menahan lapar dan haus. Dan berapa banyak orang yang beribadah di malam hari tidak mendapat manfaat dari ibadah malam mereka, kecuali kesulitan tidak tidur..." Kemudian, beliau menggambarkan kelompok lain yang secara sadar memperhatikan semangat ibadah dan kedalaman serta keluasannya. Imam Ali as berkata, "Betapa baik dan indahnya tidurnya orang cerdas, cermat dan bagaimana mereka memberi hidangan buka puasa bagi yang berpuasa." (Nahjul Balaghah, Hikmah 45)
Al-Quran menggambarkan wajah kedua kelompok ini secara berbeda. Manusia saleh dan sadar yang tidak lalai dari Allah oleh apapun, mengatakan, "Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang." (QS. Al-Nur: 37)
Berbeda dengan kelompok ini, yang menjadikan ingat Allah meliputi semua posisi material dan spiritual mereka dan memperhatikan semangat dan isi dari perbuatan mereka, al-Quran berbicara tentang kelompok lain yang hidup di masa awal Islam dan hanya memperhatikan penampakan perbuatan. Allah berfirman, "Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah, 'Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan,' dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezeki." (QS. Al-Jumu'ah: 11)
Menurut -sumber-sumber tafsir, semua pelaku shalat yang lebih mementingkan sisi lahiriah, itupun dilakukan ketika yang berkhotbah adalah Nabi Muhammad Saw, mereka bergegas ke rombongan dagang dan penyelenggara acara yang melalaikan. Hanya ada 12 orang yang sadar akan batin ibadah yang tetap tinggal. Mereka secara lahiriah hadir dalam shalat Jumat, tetapi batin mereka tidak memahami keagungan dan peran ibadah dan sosial dari shalat Jumat, tanpa berpikir banyak, mereka meninggal Rasulullah Saw yang tengah berkhotbah untuk mencari tujuan materi.
Sementara mereka yang hadir di shalat Jumat dengan kesadaran dan pemikiran, tidak akan pernah meninggalkan ibadah ini dan melakukan perbuatan aneh dan menimbulkan pertanyaan. Tidak diragukan lagi bahwa tujuan al-Quran dengan menukil peristiwa yang patut disesalkan ini adalah agar kita mengambil pelajaran dan berlaku sebagai teladan konstruktif bagi generasi masa kini dan yang akan datang dalam melakukan kewajiban agama.