Filosofi Hukum dalam Islam (7)
Kesucian tubuh dan jiwa sangat penting dalam shalat. Orang yang menunaikan shalat tentu saja harus memperhatikan pakaian yang dikenakannya dari najis dan hal lain yang membatalkannya. Selain itu, orang yang shalat juga harus memperhatikan kesucian jiwa dari kotoran dari dalam perkataan, perbuatan dan pikirannya.
Lebih jauh lagi, karena shalat merupakan ibadah yang memiliki tujuan, maka semua orang yang menunaikan shalat harus menghadirkan hatinya ketika menunaikan ibadah ini. Imam Sadiq berkata, "Siapapun yang shalat dua rakaat (dengan kehadiran hati) mengetahui apa yang dia katakan, maka ketika shalatnya selesai tidak akan ada dosa antara dia dan Tuhan." (Kafi 3/266/12).
Dalam shalat terdapat dua faktor, "khudhu" dan "khusyu", yang berperan penting dalam menciptakan dan memperkuat kehadiran hati. Khudhu yang berarti kerendahan hati, ketentraman dan ketenangan yang tampak nyata. Sedangkan khusyu adalah konsentrasi dengan ketulusan hati yang lahir dari ketaatan dan ketundukan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Al-Qur'an dalam surat Al-Mukminun ayat 1 dan 2, Allah swt berfirman, "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya,".
Faktor penting lain yang berperan kunci dalam kualitas shalat adalah keikhlasan, yang merupakan tanda dibuangnya sega bentuk motif selain Tuhan, seperti riya, pamer dan motif-motif lainnya. Rasulullah Saw menjelaskan sebuah hadis Qudsi, "Setiap kali Aku [Allah swt] melihat hati hamba-Ku yang ikhlas dan ketaaannya dilakukan semata-mata demi meraih keridhaan-Ku, maka Aku akan mengatur segala urusannya." (Ghurar Al-Hikam, 8447)
Dalam hal ini, Nabi Muhammad Saw menjadi teladan dan tokoh panutan yang luar biasa bagi semua Muslim, terutama orang-orang yang bertakwa, sebagaimana ditegaskan dalam ayat 162 surat Al-Anam, "Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam,".
Jiwa yang suci dari segala kotoran batin, kerendahan hati, ketulusan batin, keikhlasan, dan ketulusan dalam ibadah, akan menghidupkan spirit keceriaan dan cinta dalam penyembahan ilahi, karena dia tidak merasakan kehadiran Tuhan Yang Maha Kuasa dalam ibadah yang ditunaikannya.
Sayidina Ali Bin Abi Thalib dalam salah satu perkataaanya menjelaskan kehadiran hati dalam ibadah. Beliau dalam Khutbah 220 Nahjul Balaghah berkata, "Tuhanku, Engkau lebih dekat dari siapapun, dan lebih siap untuk memenuhi segala urusan orang-orang yang mempercayai-Mu. Engkau juga mengetahui tingkat kecintaan dan pengetahuan mereka mengenai-Mu. Rahasia batin mereka begitu jelas di hadapan-Mu dan hati mereka tidak sabar atas perpisahan. Jika kesepian membuat mereka takut, maka mengingat-Mu menyebabkan ketenangan dan ketentraman. Ketika kesulitan menimpa, mereka akan berlindung kepada-Mu,".
Dengan kondisi spiritual demikian, shalat ditunaikan dengan tenang dan tidak tergesa-gesa, bahkan mereka menikmati ibadah tersebut. Dalam kondisi demikian, mereka tidak akan pernah meninggalkan shalat, bahkan ketika kondisi paling sulit sekalipun, sehingga pertolongan ilahi dalam kepada mereka.
Selama pertempuran Safin, salah satu sahabat Ali melihat bahwa Imam memandang matahari, lalu ia mendekati Imam dan berkata, "Apa yang Anda lakukan?" Beliau berkata, "Saya melihat matahari sudah menunjukkan waktu sholat tiba. Dia bertanya dengan nada terkejut, "Apakah mungkin shalat dalam kondisi seperti itu? Perang telah mencegah kita dari sholat,". Imam Ali berkata, "Mengapa kita memerangi tentara Mu'awiyah? Apakah perang ini bukan untuk menjaga supaya sholat tetap ditunaikan?".
Sebagaimana ayahnya, Sayidina Ali Bin Abi Thalib; Sayidina Husein pada hari Asyura memandang langit ketika pertempuran berkecamuk. Beliau bersama sejumlah pengikutnya meninggalkan pertempuran dan menunaikan shalat hingga selesai, sementara sejumlah anggota pasukannya sedang bertempur melawan serangan besar tentara Yazid. (Bihar al-Anwar vol. 45 hal. 21)
Pesan pentingnya bahwa shalat dalam kondisi apapun tidak boleh ditinggalkan, bahkan di medan perang sekalipun. Selain itu, orang yang menunaikan shalat harus berpikir bahwa ini adalah shalat terakhir dan kematian mungkin tidak memberinya kesempatan lagi untuk menunainya.