Filosofi Hukum dalam Islam (9)
Salah satu kekhawatiran ahli shalat adalah apakah ibadah yang mereka lakukan diterima oleh Allah Swt atau tidak? Untuk menjawab pertanyaan ini, kami mengajak Anda mengenali parameter penerimaan shalat seperti yang disebutkan oleh ayat dan riwayat.
Prinsip utama yang berperan penting dalam penerimaan shalat adalah meyakini pemimpin (imam) yang ditunjuk oleh Allah Swt. Karena kedudukan imam sama seperti posisi jantung bagi tubuh manusia, yaitu mentransfer darah ke seluruh anggota badan dan menjamin kelangsungan hidup manusia. Peran vital seperti ini juga dimainkan oleh imam dalam sistem takwini (penciptaan alam) dan sistem tasyri'i (penetapan hukum agama).
Mengenai prinsip akidah manakah yang paling berpengaruh dalam penerimaan shalat seseorang oleh Allah Swt, Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as berkata, "Mencintai dan berwilayah (berimamah) serta berlepas tangan dari musuh-musuh kami." (Manaqib Ibnu Syahr Asyub, jilid 4, hal 131)
Tanda lain bahwa shalat seseorang diterima adalah sifat takwa yang tumbuh dalam dirinya. Takwa adalah kekuatan internal yang mencegah manusia dari melakukan dosa. Sifat ini sangat penting sehingga disebut hampir 110 kali dalam al-Quran.
Rasulullah Saw bersabda, "Jika engkau mendirikan shalat begitu banyak hingga membuatmu terlihat seperti tali anak panah (kurus) dan berpuasa begitu banyak hingga engkau terlihat seperti busur yang bungkuk, Allah tetap tidak akan menerimanya kecuali engkau bertakwa."
Imam Ali as berkata, "Shalat adalah pendekat setiap manusia yang bertakwa kepada Allah Swt."
Dalam Islam, kedudukan ilmu pengetahuan sangat tinggi sehingga ia tidak hanya memberikan nilai bagi shalat, tetapi juga bagi semua amal ibadah lainnya. Rasulullah – salah satu misinya adalah memberantas kebodohan – bersabda, "Satu rakaat shalat yang dikerjakan oleh orang yang mengetahui keagungan Tuhan, lebih baik daripada seribu shalat oleh orang yang tidak memiliki ilmu tentang kedudukan Tuhan."
Jelas bahwa ahli shalat yang berwilayah (berimamah), bertakwa, dan berilmu akan berusaha memberikan keteladanan perilaku yang baik kepada masyarakat sehingga semua orang tahu bahwa shalat diterima oleh Allah ketika pelakunya menyandang keutamaan spiritual dan kemanusiaan.
Imam Jakfar Shadiq as kepada salah satu sahabatnya berkata, "… Allah Swt berfirman, 'Sesungguhnya aku menerima shalat orang yang tunduk di hadapan kebesaran dan keagungan-Ku, menjaga dirinya dari godaan hawa nafsu demi memperoleh keridhaan-Ku, dan menghabiskan seluruh harinya dengan mengingat-Ku.'"
Ahli shalat memiliki tanggung jawab di hadapan Allah dan perlu selalu berusaha untuk meraih ridha-Nya, namun ia perlu mengetahui bahwa membangun hubungan dengan Sang Khalik saja tidak cukup, tetapi ia juga harus bersedia memikul tanggung jawab sosial.
Imam Shadiq as lebih lanjut berkata, "Aku menerima shalat seseorang yang tidak merasa sombong di hadapan masyarakat, mengenyangkan orang yang lapar, menutupi orang yang tanpa pakaian, membantu orang yang tertimpa musibah, bersikap lemah lembut, dan memberikan tempat tinggal kepada orang yang terasing. Cahaya kesucian dan spiritualitas terpancar ibarat matahari dari hamba seperti ini." (Kitab Tuhaf al-Uqul, hal 306)
Meski manusia memikul tanggung jawab di hadapan Tuhan dan orang lain, serta wajib mematuhi perintah dan larangan-Nya, tetapi dalam sistem hukum Islam, ayah dan ibu memiliki kedudukan yang luar biasa dan istimewa. Dalam al-Quran, Allah memerintahkan manusia untuk menaati diri-Nya dan kemudian mematuhi kedua orang tuanya serta berbuat baik kepada mereka.
Perintah ini ikut berpengaruh dalam penerimaan atau penolakan shalat seseorang. Imam Shadiq as berkata, "Barang siapa yang telah menzalimi ayah dan ibunya meskipun dengan tatapan yang tajam dan emosi kepada mereka, Allah tidak akan menerima shalatnya."
Pada intinya, sangat penting untuk menjaga hak-hak orang lain di semua dimensinya terutama akhlak sosial. Dapat dikatakan bahwa dalam akhlak Islami, tidak ada dosa yang lebih besar daripada ghibah (membicarakan keburukan atau aib orang lain di belakangnya).
Rasulullah Saw bersabda, "Barang siapa dari laki-laki dan wanita Muslim melakukan ghibah, Allah tidak menerima shalat dan puasanya selama 40 hari, kecuali dia meminta kerelaan dari orang yang telah diumpatnya dan memperoleh maaf darinya."
Salah satu langkah yang sangat penting adalah menjaga shalat dari setiap noda. Sebab, nilai shalat akan berkurang jika dikotori dengan noda-noda seperti tidak menjaga larangan Allah, bermalas-malasan dalam shalat, dan sejenisnya.
Poin lain yang sangat ditekankan dalam shalat adalah menunaikan shalat tepat waktu dan tidak menundanya dengan alasan-alasan, yang tidak dibenarkan. Ahli shalat dituntut berkomitmen dengan masalah ini.
Komitmen ini sangat penting sehingga para nabi pun tetap melakukan shalat di awal waktu meskipun perang sedang berkecamuk. Rasulullah Saw bersabda, "Perbuatan yang paling dicintai di sisi Allah adalah mengerjakan shalat tepat waktu."
Imam Ali as berkata, "Jagalah waktu shalat kalian dan tunaikan ia dengan penuh semangat dan kegembiraan, dan dengannya carilah kedudukan yang dekat dengan Tuhan, di mana kewajiban Ilahi ini memiliki waktu yang telah ditetapkan bagi orang-orang yang beriman."