Puncak dari Beragama
Seorang anak yang patuh terhadap orang tuanya; mentaati setiap arahannya, tentu orang tua akan bangga pada anaknya. Kalau sudah bangga, bukan tidak mungkin mereka bakal memberi sebuah stimulus pada anaknya.
Begitulah analogi sederhana tentang bagaimana seorang hamba yang taat kepada Tuhannya. Dan akibat apa yang layak diterimanya. Pun sebaliknya.
Di dalam salah satu bukunya terkait dengan teologi, yang berjudul durusun fil aqidah, Ayatullah M. Taqi Misbah Yazdi mengartikan agama sebagai ketaatan dan pahala. Artinya, orang yang beragama—apapun itu agamanya—sudah seharusnya untuk taat kepada Tuhannya.
Kalau kita tilik dari kacamata Islam—mungkin juga agama lain—maka siapapun yang taat dan beriman kepada Tuhannya, maka ia berhak mendapat ganjaran dari-Nya, seperti yang terekam di dalam surah Al-Hadid ayat 7.
“Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS. Al-Hadid: 7).
Namun, sebelum membicarakan tentang ketaatan dan keberimanan manusia kepada Allah, maka tak ada artinya apa-apa bila kita tak mendahuluinya dengan seorang Nabi. Sebab, posisi nabi dalam kehidupan manusia di hadapan-Nya amatlah penting.
Berkat nabilah manusia menjadi tahu tentang arti taat kepada Allah. Sebab, para nabi adalah pembawa pesan langit untuk disampaikan kepada makhluk bumi, terutama manusia. Melalui pesan-pesan itu, seorang nabi mengajarkan kepada manusia tentang banyak hal, tak terkecuali beriman kepada Allah.
Dalam hal ini, penulis hanya akan fokus kepada Nabi Muhammad Saw., nabi terakhir umat Muslim dunia. Kehadirannya ke bumi ini tak hanya membawa pesan untuk bangsa Arab, melainkan juga kepada seluruh penduduk bumi, lebih dari itu, bahwa kedatangannya adalah rahmat bagi semua, seperti yang terekam di dalam ayat masyhur berikut.
“Dan tiadalah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya: 107).
Di dalam banyak tempat, di dalam al-Quran kita diingatkan tentang tugas nabi Muhammad Saw. Seperti yang tergurat di dalam surah yang berbunyi,
“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul (Muhammad) dari (kalangan) kamu yang membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (Sunnah), serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al-Baqara: 151).
Di ayat lain dikatakan, “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 129)
Dari dua ayat di atas, sudah jelas, bahwa tugas Nabi Muhammad Saw. adalah membawa keadaan manusia yang buruk menjadi lebih baik; dari yang jahil menjadi orang yang pintar; dari yang tidak beriman kepada Allah hingga beriman kepada Allah dan seterusnya dan seterusnya.
Maka, seandainya setiap manusia benar-benar mengikuti arahannya, tentu kita tak akan menyaksikan lagi antarsesama umat manusia saling sikut dan hujat; kita juga tak akan lagi menyaksikan manusia yang membunuh sesamanya, seperti yang kita saksikan di media-media pemberitaan.
Namun, di samping harapan besar kita tentang—seharusnya setiap orang yang beragama—mengamalkan apa yang diajarkan nabi-nabi mereka, terlebih umat Islam, maka kita juga kudu menyadari bahwa tak sedikit manusia yang menutup telinganya dari arahan para nabi.
Dengan begitu, merekalah termasuk di antara agen-agen kerusakan dan keonaran di jagat raya ini. Maka, kembali ke judul tulisan, penulis hendak mengatakan, bahwa puncak dari orang-orang yang benar-benar beragama, selain ia mesti taat kepada Rab-nya, hendaknya setiap laku, tutur dan pikirnya juga harus sesuai dengan apa yang didakwahkan nabinya.
Dengan begitu, kita akan menyaksikan dunia ini dengan penuh kedamaian dan kasih sayang. Lalu, mungkin ada yang bertanya, bagaimana dengan sebagaian orang yang mengklaim dirinya sebagai ulama, namun sikapnya tak sesuai dengan ajaran nabi; sering menyesatkan orang lain, bahkan mengkafirkan?
Temukan jawabannya di dalam renungan kita masing-masing.