Akal dan Wahyu atau Akal VS Wahyu

Seberapa besar kita bisa mengandalkan akal[1] yang kita miliki, ada yang meyakini bahwa akal itu penting tapi tidak cukup, ada yang meyakini bahwa wahyu tidak dibutuhkan akal sudah cukup dijadikan sebagai sandaran.

Al-Quran memberikan gelar kepada ahli ilmu dari manusia, “Kami tidak memberi ilmu kepada kalian melainkan kecil saja” disini yang dimaksud bukan satu diantara manusia tapi ilmu disini adalah ilmu semua manusia, dari awal hingga akhir zaman, bukan hanya manusia saja bahkan tapi ilmu yang dimiliki oleh semua makhluk. (من العلم) menggunakan kata min sebagai penekanan bahwa yang diberikan hanya sebagian kecil saja.

Ayat ini menyadarkan bahwa manusia hanyalah makhluk kecil, tidak sepantasnya merasa sombong dengan gelar-gelar keilmuan yang diraih. Ilmu yang bisa hilang sekejap mata ketika terkena penyakit amnesia, hilang karena gila, hilang karena gegarotak dan sebab-sebab yang lain.

Apakah benar akal saja sudah cukup bagi manusia?

Jika akal memang cukup bagi manusia lalu mengapa manusia masih ada yang menyesal. Manusia selama hidup berulang kali mengalami penyesalan, umur sudah tua tapi pahala belum ada bahkan lebih banyak memiliki dosa, anak-anak pendidikannya tidak tercukupi, tempat tinggal masih dikontrakan, bisnis gagal berulang-ulang.

Jika akal itu cukup mengapa harus ada perpisahan antara suami istri, perpisahan ayah bunda dari anak-anak mereka. Jika akal itu cukup, mengapa dari majlis yang terdiri dari orang-orang yang cerdik pandai di hukum yang sudah dihasilkan harus berulang kali dilakukan perbaikan demi perbaikan.

Jika akal itu cukup mengapa para ahli kedokteran dari berbagai penjuru dunia memberikan jawaban yang tidak jarang bertentangan terkait covid-19. Mengapa dengan akal itu mereka tidak mendapatkan jawaban tuntas dan bisa disepakati bersama. Bahkan sampai sekarang belum ada vaksin yang secara pasti bisa membantu pasien sembuh dari virus ini.

Al-Quran mengisyaratkan bahwa bertanyalah kepada ahlu dzikr, bertanyalah kepada orang yang ahli dibidangnya. Jika akal saja cukup mengapa logika mengiyakan bahwa orang yang tidak tahu harus bertanya kepada yang lebih ahli, kepada yang memiliki ilmu lebih dalam.

Sebagian orang ada yang merasa sudah berilmu, “Saya sudah bisa, saya tidak ingin mendengarkan nasihat dan ilmu baru yang lain”. Mereka berkhayal ilmu mereka sudah sempurna, tidak ada lagi kesempurnaan yang bisa menyempurnakan kesempurnaan ilmu mereka. Padahal ilmu mereka dihadapan ilmu Allah sama sekali bukan apa-apa.

Kaum Nabi Musa as, meminta beliau as untuk membuat berhala, hal ini sama saja dijaman sekarang meminta seorang Kyai dan ulama besar untuk membuat minuman keras, satu hal yang tidak mungkin dilakukan kecuali oleh orang yang benar-benar tidak menggunakan akalnya.

Apakah mereka serius meminta mukjizat kepada Nabi Musa as, ketika mereka mengejar beliau, beliau memukul laut dan akhirnya laut membuka dan bahkan dasarnya bisa dijadikan sebagai pijakan untuk berjalan. Sungguh menjadi pelajaran karena orang-orang yang meminta mukjizat kepada Musa as tetap berkata pada diri-diri mereka bahwa mereka harus mengejar sang Nabi dan juga pengikutnya, terbelahnya lautan sama sekali tidak terlihat menakjubkan dimata Firaun dan pasukannya, tidak membuat mereka sadar dari jalan tersesat, bahwa jalan mereka itu keliru dan jalan Nabi Musalah yang benar. Tidak hanya akal tidak cukup tapi betapa banyak orang-orang yang berjalan tanpa mempedulikan bisikan akal mereka.

Menggunakan akal adalah sebuah prestasi, manusia mengerjakan kewajiban-kewajiban mereka karena menggunakan dan mengamalkan hasil dari kerja akal.[2] Tapi dengan penjelasan panjang lebar diatas kita ketahui bahwa akal saja tidak bisa menyelesaikan kebutuhan dan urusan manusia.

Mengapa Allah menciptakan akal dengan kapasitas terbatas, sebenarnya ada manusia yang memiliki akal sempurna, akal yang dimiliki oleh Nabi yang sudah menyatu dengan wahyu dari Allah Swt. Akal bagi manusia secara umum adalah bekal, dengan bekal pertama ini manusia bisa sampai ke bekal kedua, memilih dan memilah info dan argumentasi sehingga sampai kepada akal kedua yakni Nabi Muhammad Saw atau nabi-nabi sebelum beliau. Proses penggunaan akal pertama sampai ke akal kedua adalah proses tahap-tahap kesempurnaan.[3]

Kesimpulan

Keberadaan Nabi-nabi dari generasi ke generasi sampai akhirnya sampai ke Nabi terakhir sendiri sebenarnya menjadi dalil kuat bahwa akal manusia itu terbatas. Nabi-nabi adalah penyempurna, menyempurnakan dan mengantarkan manusia dengan akal mereka menuju Allah Swt, menuju kesempurnaan hakiki, kesempurnaan yang diharapkan bagi seluruh manusia dan jin.

Jadi jika manusia tidak menggunakan akal mereka, mereka tidak akan sampai kepada Allah, begitu juga sebaliknya, jika hanya mengandalkan akal saja tanpa merujuk kepada Nabi utusan Allah maka hal itu hanya sia-sia, tidak akan sampai pada insan kamil.

CATATAN:

[1] Akal : Daya pikir (untuk memahami sesuatu dan sebagainya); pikiran; ingatan: makhluk Tuhan yang mempunyai — ialah manusia; 2 jalan atau cara melakukan sesuatu; daya upaya; ikhtiar: minta — (kepada); 3 tipu daya; muslihat; kecerdikan; kelicikan: penipu tidak akan kekurangan –; 4 Antr kemampuan melihat cara memahami lingkungan;– akar berpulas tak patah, pb orang yang sudah pandai tidak mudah kalah dalam perbantahan; — tak sekali tiba, pb tidak ada suatu usaha yang sekali terus jadi dan sempurna; berubah — , ki gila; kehilangan — , ki putus asa; bingung (tidak tahu apa yang harus dikerjakan); https://kbbi.web.id/akal.

[2] Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal. Al-Maidah: 58.

[3] Disarikan dari penjelasan Ayatullah Qiroati seputar Akal dan Wahyu.