Kekuatan Hujjah Imam Musa Al-Kazhim a.s. di Hadapan Khalifah Harun Ar-Rasyid
Penguasa Abbasiyah tak henti-hentinya berusaha menyerobot legitimasi para Imam Maksum dari keluarga suci Nabi Muhammad SAW lewat berbagai forum diskusi dan debat yang sengaja mereka adakan untuk mempertanyakan posisi para Imam sebagai pewaris Nabi SAW yang kepemimpinannya paling layak diikuti. Namun upaya itu selalu gagal karena para Imam sejatinya adalah pemilik ilmu, argumentasi dan penjelasan yang tak terbantahkan.
Kekalahan beruntun penguasa Abbasiyah saat beradu argumentasi, membuat mereka makin merasa lemah dan pada saat yang sama diam-diam terpesona dengan kecemerlangan para Imam. Itulah di antara alasan mereka kerap memilih jalan pintas, licik dan kejam; jika tak membunuh, maka mereka takkan ragu memenjarakan para Imam Maksum a.s.
Untuk mengetahui betapa cemerlang dan tak terbantahkannya hujjah para Imam, berikut salah satu contoh perdebatan antara Khalifah Harun ar-Rasyid Abbasi dan Imam Musa bin Ja’far a.s.
“Sampaikanlah kepadaku keutamaan yang kita terima. Kami dan kalian berasal dari satu pohon yang sama sebagai putra-putra Abdul Muthalib. Aku dan kamu adalah sama. Aku putra Abbas, dan kamu putra Abu Thalib. Keduanya adalah paman Rasulullah. Kerabat mereka berdua kedudukannya sama.”
Imam Musa bin Ja’far a.s. berkata, “Kami lebih dekat.”
“Hah? Bagaimana mungkin?” sergah Harun.
“Karena Abdullah dan Abu Thalib berasal dari satu ayah dan satu ibu. Sementara datukmu al-Abbas tidak satu ibu dengan Abdullah dan Abu Thalib,” jawab Imam Musa.
“Lalu, mengapa kalian mengklaim sebagai pewaris Nabi? Bukankah paman menghalangi waris bagi putra paman? Saat Rasulullah wafat, Abu Thalib telah wafat sementara Abbas paman Nabi masih hidup,” timpal Harun.
“Sungguh ada pernyataan Ali bin Abi Thalib a.s., ‘Tidak ada yang berhak menerima bagian warisan bersama anak (kandung), baik laki-laki atau perempuan, kecuali orang tua (ayah/ ibu) dan istri atau suami. Tidak ada dalil (hujjah) yang bisa dipakai untuk menetapkan hak paman, baik dari ayat Alquran maupun hadis Nabi SAW. Yang ada adalah pandangan pribadi Khalifah Abubakar, Khalifah Umar dan Bani Umayyah, bahwa paman kedudukannya sama dengan ayah.”
“Lanjutkanlah, wahai Musa! Tambahkanlah!” pinta Harun.
“Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW tidak mewariskan kepada orang-orang yang belum berhijrah, bahkan tidak ada hak perlindungan baginya sehingga ia berhijrah,” lanjut Imam Musa.
“Apa dalilmu atas hal itu?” tanya Harun.
“Firman Allah SWT, ‘Dan (terhadap) orang-orang yang beriman tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun bagimu melindungi mereka, sampai mereka berhijrah.’” (QS. Al-Anfal [8]:72)
“Sungguh pamanku, Abbas, belum berhijrah,” tegas Imam Musa.
“Oh… Aku bertanya kepadamu, wahai Musa. Apakah engkau telah kemukakan hal itu kepada salah satu musuh kami? Ataukah pernah kau sampaikan kepada salah satu ahli fikih tentang masalah ini?” selidik Harun.
“Demi Allah tidak!” jawab Imam Musa.
“Bagaimana kalian katakan sebagai keturunan Nabi sedangkan Nabi tidak mempunyai keturunan? Bukankah hak hanya untuk laki-laki bukan untuk perempuan? Dan kamu adalah putra dari putrinya. Jadi dia tidak mempunyai keturunan,” kilah Harun coba memojokkan Imam Musa.
Imam Musa pun membacakan firman Allah, “Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk. Dengan nama Allah yang Mahakasih Mahasayang.
… Dan dari keturunannya (Ibrahim) yaitu Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa, dan Harun. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik, dan Zakaria, Yahya, Isa…” (QS. Al-An’am [6]: 84-85).
Lalu bertanya balik sekaligus menyanggah argumentasi Harun, “Siapakah ayah Isa, wahai Amirul Mukminin?”
“Isa tidak punya ayah,” jawab Harun.
Imam Musa pun menyempurnakan hujjahnya dengan mengatakan, “Kami hanyalah menemukan ketersambungannya (Isa a.s.) sebagai keturunan para Nabi dari jalur Maryam. Demikian pula kami tersambung sebagai keturunan Nabi dari pihak ibunda kami, Fathimah.”
Demikianlah jawaban telak Imam Musa kembali menjatuhkan pamor Harun Ar-Rasyid. Membuktikan kadar keilmuannya yang memang tak sebanding dengan ilmu para Imam. Hancur hati Harun setelah berpisah dari Imam. Dia rasakan betapa pahit nasibnya ketika kalimat kebenaran yang ingin dipadamkannya ternyata justru Allah tolak bahkan Allah sempurnakan cahaya-Nya melalui lisan suci Imam Musa a.s.[*]