Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Makna “Maula” Dalam Hadits Ghadir Khum

1 Pendapat 05.0 / 5

Pada tulisan sebelumnya telah disebutkan bahwa secara etimologhi makna maula yang terdapat di dalam hadits Ghadir Khum adalah aula (lebih utama).

Pada tulisan kali ini akan diajukan alasan yang dapat membuktikan bahwa kata maula yang tertera di dalam beberapa hadits yang telah disebutkan bermakna auala (lebih utama) bukan makna lainnya.

Alasan atau dalil yang dimaksud adalah ucapan Nabi SAWW yang terdapat di dalam beberapa riwayat; di mana sebelum mengucapkan kata “maula” beliau terlebih dahulu menggunakan kata “aula”, lalu kemudian mengambil kesimpulan dengan menggunakan kata maula.

Sebenarnya ada beberapa riwayat yang menggunakan redaksi seperti itu. Namun untuk tulisan kali ini hanya akan mengajukan apa yang tetera di dalam kitab al-Mustdrak Hakim Naisaburi:

“… dari Zaid bin Arqam, ia berkata: kami keluar bersama Rasulullah SAWW sehingga kami sampai ke Ghadir Khum…… kemudian ia berdiri lalu memegang tangan Ali seraya bersabda: wahai sekalian manusia! Siapakah yang lebih utama terhadap diri kalian dari diri kalian sendiri? Mereka menjawab: Allah dan RasulNya lebih mengetahui. Nabi bersabda: barang siapa yang aku adalah maulanya maka Ali adalah maulanya.[1]”

Di dalam riwayat ini sebelum menggunakan kata maula, nabi terlebih dahulu menyebutkan kata aula dalam bentuk kalimat bertanya, yang mempertegas bahwa kata maula dalam riwayat tersebut bermakna aula bukan yang lainnya.

Setelah mengetahui bahwa kata “maula” yang ada di dalam riwayat tersebut bermakna “aula” yang memiliki arti lebih utama, perlu dilihat kembali dalam hal apa Nabi dan imam Ali AS lebih utama?

Untuk menjawab hal ini perlu melihat apa yang tertera di dalam alQuran surat al-Ahzab ayat 6 yang mengatakan:

النَّبِيُّ أَوْلى بِالْمُؤْمِنينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ (Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka)

Yang pertama: Penggalan ayat ini mempertegas hadits di atas, karena di awal hadits tersebut Nabi juga menggunakan kata yang sama (aula) hanya saja dalam bentuk pertanyaan. Terlebih lagi di dalam ayat ini dikatakan secara jelas bahwa Nabi SAWW lebih utama terhadap diri mereka dari pada diri mereka sendiri.

Yang kedua: para ahli tafsir didalam menjelaskan makna kata “aula” di dalam ayat ini mengatakan bahwa maksudnya adalah dalam hal mengatur, mengambil keputusan dan kebijakan dimana ini sama dengan makna pemimpin. Sebab pemimpinlah yang mempunyai wewenang seperti itu:

Ibn Katsir berkomentar: “Sungguh Allah SWT mengetahui kasih sayang dan keinginan baik Nabi terhadap Ummatnya, oleh karena itu Ia (Allah) menjadikannya lebih utama terhadap diri mereka dari diri mereka sendiri. Keputusannya terhadap mereka lebih didahulukan dan diutamakan dari pilihan mereka sendiri terhadap diri mereka. Sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu penentu dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (an-Nisa/ 6).[2]

Dan Baghawi ketika menafsirkan ayat ini mengatakan: “perkataan Allah SWt (النَّبِيُّ أَوْلى بِالْمُؤْمِنينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ) maksudnya: dari sebagian mereka terhadap sebagian lainnya dalam hal berlakunya hukum beliau dan kewajiban mematuhinya. Dan Ibn Abbas dan ‘Atha berkata: maksudnya, jika Nabi mengajak mereka kepada sesuatu sedangkan diri mereka mengajak kepada yang lain maka mematuhi beliau lebih di utamakan dari mematuhi diri mereka. Ibn Zaid berkata: Nabi lebih utama dari mereka terhadap diri mereka sendiri, pada apa-apa yang ditetapkan nabi terhadap mereka, sebagai mana engkau lebih utama terhadap budakmu pada apa-apa yang engkau tetapkan untuknya.[3]

Dari riwayat maupun penjelasan para ahli tafsir di atas dapat disimpulkan bahwa makana kata “maula yang ada di dalam beberapa riwayat yang ada adalah “aula” dan maksud dari “aula” (lebih utama) adalah lebih utama dalam mengambil kebijakan, mengatur dan menetapkan hukum. Dan makna ini sangat selaras dengan makna pemimmpin yang diyakini oleh mazhab Syiah.

[1] Hakim Naisaburi, Abu Abdillah, al-Mustadrak Ala al-Shahihain, jil:6, hal: 419.

[2] Ibn Katsir, Abu al-Fida, Tafsir Ibn Katsir, jil: 6, hal:339, cet: dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut.

[3] Baghawi, Muhammad Husain bin Mas’ud, Ma’alim al-Tanzil, jil: 3, hal:608 , cet; Dar Ihya al-Turats al-Arabi.