Benarkah Peringatan Maulid Nabi saw itu Bid’ah dan Tidak ada Dalilnya?

Biasanya ketika datang bulan Maulid maka salah satu masalah yang hangat diperbincangkan adalah sejauhmana kebenaran memperingati kelahiran Nabi saw? Bukankah salafu shaleh, seperti para sahabat dan tabi’in tidak pernah melakukan hal ini?

Untuk membuka wawasan secara baik dan benar serta memberikan jawaban yang obyektif, berikut ini kami turunkan tulisan yang membuktikan kebolehan memperingati hari kelahiran Nabi saw.

Sebelum itu, kami cukup menyebutkan fatwa Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz yang mewakili pendapat orang-orang yang melarang untuk melakukan peringatan maulid Nabi. Di masa hidupnya, beliau adalah ketua umum departeman pengkajian ilmiah, fatwa dan dakwah di kerajaan Arab Saudi, dimana beliau berkata: “Tidak boleh mengadakan perayaan kelahiran atau maulid Nabi saw atau apapun bentuknya yang lain karena hal itu termasuk bid`ah yang baru yang diada-adakan dalam agama.”1

Adapun orang yang berpendapat akan sunahnya suatu perayaan (seperi memperingati hari kelahiran nabi dan wali Allah) maka ia beralasan untuk membenarkan hal itu bahwa sebagain besar ritual manasik haji adalah untuk memperingati para nabi dan para wali sebagaimana akan kami sebutkan sebagian contoh darinya berikut ini:
1- Maqam Ibrahim

Allah SWT berfirman: “Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim, tempat shalat.” (QS. Al-Baqarah: 125) Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan manusia untuk mencari berkah dari tempat pijakan kaki Nabi Ibrahim as di baitul haram dan menjadikannya sebagai tempat shalat. Ini dalam rangka menghidupkan dan mengabadikan kenangan kepada Nabi Ibrahim as. Hal tersebut tidak sedikit pun terkait dengan masalah syirik kepada Allah SWT.

2-Shofa dan Marwah

Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya shofa dan marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke baitullah atau berumroh maka tidak dosa baginya mengerjakan sa`i antara keduanya.” (QS. Al- Baqarah: 158) Allah menjadikan sa`i antara shofa dan marwah sebagai bagian dari manasik haji karena untuk menghidupkan kembali kisah sa`i Hajar antara dua tempat tersebut dan sebagai acara seremonial untuk mengingat usaha yang telah dilakukanya (Hajar). Dan disunahkannya jalan cepat (lari-lari kecil) di sebuah lembah yang di situ Siti Hajar pernah berusaha dengan sungguh-sungguh (untuk mendapatkan air bagi anaknya Ismail—pen.) Ini dalam rangka menghidupkan kenangan pada jalan cepatnya di tempat itu.
3-Lempar Jumrah

Ahmad dan Thayalasiy meriwayatkan pada masing-masing Musnad-nya tentang Rasul saw bahwa beliau bersabda: “Jibril pergi bersama Ibrahim as ke jumrah `aqabah lalu syetan menghalangi (mengganggu)nya maka Nabi Ibrahim melemparnya dengan tujuh kerikil kemudian tertimbunlah syetan. Lalu beliau mendatangi jumrah wustha lalu syetan menghalang-halangi maka beliau melemparinya dengan tujuh kerikil, lalu tertimbunlah syetan. Kemudian beliau mendatangi jumroh quswa lalu syetan mengganggunya maka beliau pun melemparinya lagi dengan tujuh kerikil lalu tertimbunlah ia.”2
4- Fidyah (tebusan)

Allah SWT berfirman dalam kisah Ibrahim dan Ismail: “Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang saba. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang  yang sabar.’ Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaarn mereka). Dan Kami panggilah dia, ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.’”(QS. As-Shaffaat: 101-107)

Begitu juga, Allah menjadikan pengorbanan Ibrahim atas anaknya Ismail dan menggantinya dengan seekor domba besar sebagai tebusannya termasuk bagian manasik haji. Allah memerintahkan para jamaah haji untuk berkorban di Mina dalam rangka mengikuti pengorbanan Nabi Ibrahim as dan mengenang ketaatannya kepada Allah SWT.

Di maqam Ibrahim as bertebaranlah keberkahan karena adanya dua telapak kaki Ibrahim as dan tempat bekas pijakan kakinya. Sehingga Allah SWT memerintahkan agar di tempat tersebut didirikan Masjid di Baitullah Haram dan menjadikannya sebagai bagian dari manasik haji karena untuk menghidupkan kenangan kembali pada kisahnya.

Selanjutnya kami akan sebutkan tersebarnya keberkahan dari Nabi Adam as sebagai bapak manusia.

Penyebaran Berkah dari Nabi Adam dan Memperingati Kisahnya

Dalam sebagian hadis diceritakan bahwa Allah SWT menerima taubatnya Nabi Adam pada tanggal 9 Dulhijjah di Arafah kemudian Jibril membawanya ke Masy`aril Haram saat matahari terbenam dan bermalam di situ. Pada malam tanggal 10 itu Nabi adan berdoa kepada Allah SWT dan bersyukur kepadanya atas penerimaan taubatnya. Pada pagi harinya Nabi Adam pergi ke Mina dan beliau mencukur rambutnya pada hari ke 10 itu sebagai tanda (simbol) atas penerimaan taubatnya dan terbebasnya dari dosa. Maka Allah menjadikan hari itu sebagai Hari Raya bagi Nabi Adam dan keturunannya. Bahkan Allah pun menjadikan semua yang telah dilakukan Nabi Adam sebagai bagian dari manasik haji bagi anak cucunya. Allah menerima taubat mereka pada tanggal 9 di Arafah dimana mereka berzikir kepada Allah di Masy`aril Haram pada malam harinya dan mencukur rambutnya pada hari ke-10 di Mina. Lalu apa yang dilakukan Nabi Ibrahim, Nabi Ismail daan Hajar pun dimasukkan dalam  manasik haji  sehingga sempurnalah semuanya untuk menjadi tuntunan manasik haji bagi manusia.

Jadi, semua amalan haji itu sebenarnya mencari berkah (tabarruk) dengan masa-masa dan tempat-tempat yang pernah didiami oleh hamba-hamba Allah yang saleh dan semuanya dalam rangka memperingati kisah mereka sepanjang zaman.

Setelah kita usai memaparkan betapa kuatnya dalil-dalil tentang perayaan kisah  hamba-hamba Allah yang suci,  kami yakinkan bahwa tujuan merayakan kisah-kisah  mereka adalah—misalnya—membaca atau mempelajari kisah hidup Rasulullah saw yang benar dan tidak mengalami distorsi pada malam kelahirannya, memberi makanan di jalan Allah dan menghadiahkan pahalanya untuk Rasulullah saw.[*]

Referensi:

1 Koran as-Syarqul Awsath tanggal  3– 12–1984 dalam artikel berjudul “Hukmul ihtifal bil maulid an-Nabiy wa ghairih” (hukum perayaan Maulid Nabi dan perayaan maulid lainnya).

2 Musnad Ahmad: 1/306 dan dalam redaksi yang mirip dengannya pada hal. 127. Musnad at-Thayalisiy, hadits 2697. Rujuklah kata Ka`bah dalam Mu`jam al-Buldan dan sejarah Ibrahim dan Ismail dalam Tarikh at-Thabary dan Ibnu al-Atsir.