Kisah-kisah Nabi Muhammad saw.: Akhlak Nabi Di Masa Kecil (Bag. 1)

Apa kabar adik-adik tercinta? Tentunya di bulan Maulid ini, adik-adik sudah banyak mengikuti acara-acara maulid Nabi saw. yang diadakan di banyak tempat, mulai di mushalla, masjid, sekolah, komplek perumahan dan bahkan di tempat-tempat belanja. Maulid Nabi juga diadakan dalam berbagai bentuk, mulai dari lomba, pembacaan sejarah Nabi, atau sekedar ceramah.

Nah, inti dari itu semua adalah supaya kita mengenal Nabi lebih dalam lagi dan bisa menteladaninya. Berikut ini Kakak bawakan kisah tentang akhlak Nabi Muhammad saw. pada saat beliau masih berusia 8 tahun. Bagaimana kisahnya, yuk kita baca:

Tahun Gajah adalah tahun ketika Abrahah membawa pasukan penunggang gajah ke kota Makkah. Namun pasukan tersebut hancur binasa dengan hujan batu yang dilemparkan oleh burung Ababil. Karena kejadian ini merupakan sebuah keajaiban dan kemukjizatan, maka penduduk Arab meninggalkan hitungan kalender terdahulu. Mereka menyebut tahun itu sebagai tahun Gajah dan menjadikannya sebagai permulaan sejarah baru.

Kisah berikut ini terjadi pada tahun ke-8 dari tahun Gajah, yaitu 45 tahun sebelum permulaan tahun Hijriah. Saat itu musim haji semakin dekat. Pagi itu, orang-orang menghamparkan sebuah hamparan di dekat dinding Ka’bah. Abdul Muttalib (Pembesar Quraisy dari keluarga Hasyim) duduk di ujung hamparan pada sandaran khusus sebagai seorang pemimpin. Para kepala suku sedang menggelar sebuah rapat yang disebut dengan rapat “Rifadah” di hadapan beliau.

Pengaturan kota Makkah pada musim haji bukan sebuah pekerjaan yang mudah. Selain terdapat sebuah majelis bernama “Darun Nadwah”, Kota Makkah memiliki 9 lembaga besar. Masing-masing lembaga ini mempunyai tugas untuk mengerjakan satu bagian dari pekerjaan tata kota. Tanggung jawab dua lembaga yang bernama “Rifadah” dan “Siqayah” ini berada di tangan Abdul Muttalib, kakek Nabi saw.

“Rifadah” adalah unit yang menyediakan jamuan untuk jamaah haji. Setiap orang yang datang dari mana saja untuk menziarahi Ka’bah, akan menjadi tamu unit “Rifadah” ini. Orang-orang Makkah yang mampu biasanya memberikan bantuan kepada unit ini. Para musafir akan mendapatkan makanan dari lembaga ini secara gratis. Penduduk Makkah, khususnya Suku Quraisy dan Bani Hasyim menganggap para penziarah Ka’bah adalah tamu-tamu Allah, tamu-tamu Ka’bah dan tamu-tamu di kota mereka. Mereka akan menunjukkan kedermawanan sebisa mungkin di hadapan para tamu.

Jamuan ini dapat memberikan motifasi kepada masyarakat umum untuk menziarahi Ka’bah. Selain itu, menyambut tamu dan menunjukkan kedermawanan menciptakan kebanggaan tersendiri. Para tokoh dan orang-orang mampu berlomba-lomba untuk dapat mengharumkan nama mereka, kabilah mereka dan kota mereka dengan cara memberikan jamuan terhadap tamu-tamu ini.

Selain itu, mereka dapat menjalin persahabatan dengan kabilah lain. Hal itu juga penting, karena orang-orang kaya Makkah memiliki kerjasama dengan kabilah-kabilah yang tinggal di gurun-gurun. Kabilah-kabilah itu akan membantu menjaga dan mengamankan lalulalang kafilah-kafilah dagang penduduk Makkah dari gangguan para penyamun jalanan.

“Siqayah” adalah sebuah lembaga terpisah yang mengurusi persiapan air minum untuk para penziarah. Tanah Makkah selalu panas, kering, gersang, dan tandus. Tiada air selain dari beberapa sumur. Maka merupakan pekerjaan yang cukup sulit untuk menyediakan air bagi para jamaah di musim haji. Oleh karena itu, unit “Siqayah” ini jauh-jauh hari sebelumnya, telah mengambil air dari sumur-sumur sekitar dan menyimpannya dalam gudang-gudang penyimpanan air.

Sebagaimana disebutkan bahwa para penziarah Baitullah tidak dikenakan biaya untuk makan dan minum, bahkan hampir seluruh kebutuhan mereka dipenuhi secara cuma-cuma. Maka wajar bila pekerjaan ini butuh banyak biaya dan pengeluaran. Mempersiapkan makanan dan minuman untuk jamaah haji tidak dapat dilakukan diri, namun hal itu bisa terlaksana dengan bantuan bersama.

Sejak masa kepemimpinan Qushay (kakek Abdul Muttalib) telah dibuat kesepakatan bersama. Isinya supaya masing-masing dari para pembesar dan kepala kabilah untuk memberikan bantuan setiap tahunnya sesuai kemampuan. Hal itu menjadi seperti sejenis donasi atau sumbangan wajib yang menjadi kebanggaan tersendiri bagi para donaturnya.

Sumbangan itu tidak diambil secara paksa, namun juga tidak dapat dihindari begitu saja. Sumbangan bisa berbentuk uang atau barang. Ada yang menyumbang unta atau uang atau gandum atau buah-buahan atau apa saja yang dimilikinya.

Mayoritas orang-orang kaya di Makkah terdiri dari para pedagang yang selalu bepergian ke Syam dan Yaman untuk berdagang atau melakukan perdagangan di Makkah sendiri (yang menjadi pusat lalulalang perjalanan jauh dan panjang di Arab pada waktu itu). Sebagian memiliki kebun atau ladang kurma di pinggiran kota.

Mayoritas donatur selalu memberikan sumbangan mereka tepat waktu. Namun ada juga sebagian orang yang melalaikannya. Salah seorang yang belum juga memberikan donasinya pada tahun itu bernama “Hafs bin Murrah”. Ia berpenghasilan banyak dan juga cukup terkenal. Ia memiliki 100 ekor unta yang ikut pada kafilah-kafilah perdagangan. Selain itu, ia memiliki kebun di Thaif (sekitar 64 Km dari kota Makkah) yang panennya sangat berlimpah. Tidak diketahui apa alasannya ia masih belum menyerahkan sumbangannya.

Suatu hari, Abdul Muttalib dan beberapa orang sedang melakukan penghitungan dan tiba-tiba sampai pada nama Hafs. Abdul Muttalib berkata, “Hafs ini sudah harus menyerahkan 5 unta dan beberapa kwintal atau ton gandum. Kenapa hingga saat ini belum ada yang mengingatkan?!”

Para pencatat menjawab, “Kami telah mengingatkannya dan beberapa kali kami katakan kepadanya, namun ia tidak memberikan apa-apa.”

“Baiklah, kita akan ingatkan sekali lagi hari ini,” jawab Abdul Muthalib.

Mereka berkata, “Percuma saja, tampaknya orang ini tidak ingin memberikan donasinya!”

Abdul Muttalib berfikir sejenak dan memandang cucunya, Muhammad yang yatim berusia 8 tahun. Ia saat itu duduk di sana dan sedang mendengarkan percakapan itu. Sang Kakek berkata, “Muhammad! Apakah engkau mengetahui rumah Hafs?”

“Ya, aku tahu, Kakek,” jawab Muhammad.

Abdul Muthalib berkata, “Aku ingin engkau pergi dan menanyakan apa alasan Hafs ini? Bila ia tidak ingin memberikan donasinya, suruh mengatakannya saja sehingga kita coret namanya dari list ini! Dan bila ia masih ingat terhadap kesediaannya dahulu, kenapa belum juga melaksanakannya?”

Bagaimana kelanjutan kisahnya? Kita tunggu sambungannya di bagian kedua…