Mengenang Musibah Imam Husein AS oleh Ibnul Jauzi

Tragedi Karbala terukir kuat dalam berbagai literatur Islam yang ada. Hal ini tentunya merupakan satu bukti akan perhatian khusus dari para ulama maupun sejarawan terkait persoalan memilukan tersebut. Salah satunya adalah Ibnul Jauzi, seorang ulama besar yang bermadzhabkan Hambali.

Ulama kelahiran abad ke-6 Hijriyah ini mencatat banyak hal dalam kitabnya yang dinamai Al-Tabsharah khususnya yang bermuatan Dzikrul Musibah (mengenang musibah) yang menimpa imam Husein as dan berikut keluarga serta sahabat-sahabatnya di Karbala.

Mari kita baca dan renungkan tulisannya sebagai berikut:

Saudara-saudaraku! Demi Allah, siapa yang telah mencela Yusuf maka dengan wajah apa ia akan menemui Yaqub!

Ketika Abbas ditawan pada peperangan Badar, Rasulullah saw mendengar teriakannya sehingga ia tak dapat tidur, maka bagaimana apabila ia mendengar teriakan Husein?

Ketika Wahsyi (pembunuh Hamzah) masuk Islam, ia (Rasulullah saw) berkata padanya: sembunyikanlah wajahmu dariku. Demi Allah, seorang muslim tidak akan diperlakukan dengan apa yang dikerjakannya pada (masa) kekufurannya, maka bagaimana Rasulullah saw mampu melihat orang yang telah membunuh Husein?

Firman Allah swt: “Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh, Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya.” (Al-Isra: 33)

Sungguh mereka telah mengerahkan apa yang tak pernah dikerahkan oleh siapa pun demi menzalimi Husein, mereka menghalanginya dari air di saat yang lain mendapatkannya, mencegahnya pergi dari mereka ke tempat lain dan menawan keluarga serta membantai anaknya. Dan ini tidak lain muncul dari kebobrokan akidah mereka.

Mengalir air diantara jari-jari kakeknya namun mereka tak memberikan padanya walau setetes!

Dulu Rasulullah saw, saking cintanya pada Husein, menciumi bibirnya, sering membawanya di pundaknya, dan ketika ia (Husein) masih kecil berjalan di depan mimbar, Rasulullah turun menghampirinya. Maka seandainya ia (Rasulullah) melihatnya berbaring di salah satu sisinya sementara pedang-pedang mengoyaknya, musuh-musuh di sekitarnya, kuda-kuda menginjak dada dan berjalan di atas tangannya serta darah yang mengalir sebagaimana air matanya, maka Rasulullah saw akan berteriak memohon dari hal itu, dan sungguh itu sangat berat baginya.

Karbala engkau berubah menjadi petaka dan bala, di sisimu apa yang ditemui keluarga Al-Musthafa.

Berapa banyak di tanahmu ketika mereka dijatuhkan, dari darah yang mengucur dan air mata yang mengalir.

Wahai Rasulullah, seandainya engkau lihat mereka, dalam keadaan antara terbunuh atau tertawan.

Dari terik panas yang dijauhkan dari tudung, dari rasa haus yang disirami oleh tombak.

Kedua matamu akan melihat pada mereka sebuah pemandangan yang merupakan kepedihan bagi hati dan duri bagi mata.

Bukanlah ini, upah bagi Rasulullah, Wahai umat durhaka dan lalim!

Ia adalah penanam yang tak meminta (upah) atas tanaman untuk mereka, namun mereka memberikan pahitnya pada keluarganya.

Mereka penggal keturunannya layaknya hewan kurban, lalu menggiring keluarganya layaknya budak.

Dengan nafas terenggah dan langkah terjatuh-jatuh mereka rintihkan “Wahai Rasulullah!”

Mereka membunuhnya (Husein) dalam sadar bahwa ia adalah Khamisul Kisa (orang kelima dalam kain Kisa).

Wahai gunung-gunung agung, mulia nan tinggi serta purnama-purnama yang menyinari bumi!

Aku tidak melihat kesedihan kalian terlupakan, dan musibah kalian terabaikan betapa pun berlalunya waktu.

Maha terpuji Ia yang mengangkat kedudukan Al-Husein dengan terbunuhnya dan meruntuhkan sesiapa yang memusuhinya, mereka kembali terhina setelah kehormatannya, serta tak merugikannya (Husein) saat kesyahidannya dengan semua upaya penghinaan dari mereka, (sebab) “Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh, Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya.” Binasalah kaum sesat dan penentang, dan seolah-olah mereka tidak menguasai negeri-negeri dan laknat kembali pada mereka sebagaimana biasanya kembali pada pihak musuh, dimana Yazid dimana Ziyad, seolah-olah mereka berdua tidak pernah ada, “Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya.”

Mereka menikmati hari-hari yang pendek, kemudian sayap-sayap kekuasaan mereka kembali patah, dan tersisalah Sirah (cerita) Husain, sebaik-baiknya Sirah. Dan barangsiapa mulia kesudahan (akhir usia) dan Sirahnya maka seolah-olah tidak akan menemui kehinaan, “Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya.”[1]

[1] Al-Tabsharah, jil: 2, hal: 16-17, Darul Kutub Ilmiyah, Beirut.