Manusia Sempurna Sebagai Manifestasi KesempurnaanNya

Prinsip utama Irfan sebagaimana juga menjadi kajian di dalam filsafat adalah perihal wujud. Wujud dalam irfan sebagaimana diintroduksikan oleh seorang yang dikenal sebagai pendiri mazhab tasawwuf wujudi, Ibn Arabi, adalah menegaskan bahwa tiada wujud hakiki kecuali hanya Allah Swt.

Allah sebagai wujud hakiki berarti pemilik segala kesempurnaan, lantaran kemustahilan sifat kekurangan bagiNya. Karena sifat keberkekurangan mengandaikan kebutuhannya akan yang lain, yang mengindikasikan adanya wujud yang lain. Dan jika tiada yang lain kecuali diriNya, maka ia mesti sempurna sebagai wujud, sehingga tak membutuhkan yang lain akan wujudNya. KesempurnanNya bukan lantaran sekedar tak membutuhkan yang lain, melainkan karena tiada yang lain kecuali dirinya.

Dengan kesempurnaanNya tersebut, maka Ia tak dapat dilimitasi oleh apapun, baik ruang maupun waktu atau pun suatu bentuk tertentu. Ketiadaan hal yang sama atau setara denganNya, bukan saja karena sisi tertentu yang dimilikiNya tak ada pada yang lain, melainkan karena sekali lagi tiada yang lain kecuali WujudNya.

Karena logika persamaan atau keserupaan, mengandaikan suatu konsep (kriteria) yang menjadikan 2 hal dikatakan sama. Sehingga logika keserupaan mengadaikan 3 hal penting: Jenis keserupaan (wilayah teoritis-konseptual) dan agen atau entitas yang dikatakan serupa berdasar keberpartisipasian dengan konsep teoritis tersebut. Misalnya, jika kita mengatakan bahwa bolpoin itu sama dengan pensil, maka ada satu hal yang sama yang diabstraksi oleh alam mental kita, yakni sebagai ‘alat tulis’. Konsepsi ‘alat tulis’ merupakan konsep tunggal universal yang dalam fungsi praktisnya bisa berlaku pada bolpoin dan pensil. Begitu pula keduanya bisa dikatakan sama, misalnya, sama-sama eksis di realitas, yang berarti keduanya dikatakan sama lantaran keduanya dapat dipredikasi konsep wujud.

Dari segala bentuk, Allah tak dapat disamakan dengan makhluk, bahkan sekalipun terdapat konsep wujud sebagai kesatuan konsep (tunggal-universal) yang sama-sama dapat dipredikatkan pada Allah dan MakhlukNya, hal ini hanya suatu bentuk kesamaan predikatif dan bukan kesamaan dzati. Yakni bukan Allah dan Makhluk sama-sama ada pada realitasnya sebagai dua entitas yang berbeda.

Prinsip Wahdatul Wujud dalam pandangan irfan wujudi berbeda dengan Prinsip kesatuan dalam filsafat. Dalam Filsafat, konsep wujud memiliki makna yang sama sehingga dapat diterapkan pada jenis realitas apapun, sementara dalam irfan, hanya Allah yang dapat menerima predikat wujud, karena tiada yang wujud kecuali diriNya.

Antara yang Satu dan Yang Banyak

Lantas bagaimana kaum irfan memandang keberadaan alam yang plural ini? Karena bagaimanapun keberadaan alam ini jelas adanya, bahkan seorang Ibnu Arabi sekalipun adalah suatu manusia yang ada sebagai manusia yang meyakini suatu konsepsi tertentu yakni bahwa hanya Allah yang ada secara hakiki.

Dalam hal ini, kaum irfan mengajukan suatu tesis penting bahwa apa yang kita nyatakan ada pada alam ini adalah semata suatu manifestasi (tajalliyat). Tajalli dalam bahasa yang lain dapat dimengerti sebagai penampakan (madhohir). Ia (alam) bukan Allah dalam DzatNya, melainkan hanya suatu ‘modus eksistensial’ dari eksistensiNya. Dengan begitu, alam diyakini tak memiliki dzat yang mandiri kecuali ia hanya suatu penampakan dari dzat yang satu, Allah.

Hal ini bisa dibuktikan dengan kemungkinannya alam. Bahwa wujudnya alam bersifat mungkin, artinya bisa bisa mewujud juga bisa meniada. Dan sebab bagi wujudnya mestilah wujud yang hakiki, karena selain wujud yang hakiki hanyalah entitas yang siap menerima wujud. Maka tidak mungkin suatu entitas yang pada dirinya hanya menerima wujud dapat menjadi sebab bagi wujud yang lain. Sehingga teori manifestasi yang diyakini kaum irfan adalah mengalirnya Wujud Tuhan di segenap ufuk (realitas alam).

Maka, prinsip tauhid dengan begitu adalah konsepsi yang mengatasi segenap realitas sebagai manifestasi. Kemaujudan segenap manifestasi adalah hamparan wujudNya. Sekilas tampak terlihat seperti panteistik, namun jika kita perhatikan lebih jernih, Panteistme memposisikan tiap entitas sebagai wujud yang hakiki, sementara kaum irfan hanya meletakkan wujud hakiki pada Allah, dan seluruh entitas selainNya hanyalah manisfestasi yang berpusat pada WujudNya.

Lantaran semua adalah wujudNya belaka, maka setiap yang maujud mesti memanifestasikan kualitas Asma dan SifatNya. Bila Ilmu adalah sifatNya, maka tiap maujud mesti menerima sifat ilmuNya dengan kadar kualitas yang berbeda. Dan manusia adalah lokus penerima kualitas ilahiah yang paling sempurna dibanding makhluk yang lain. Artinya setiap makhluk memiliki potensi yang sesuai dengan derajat kemaujudan-manifestasinya, dan manusia berada dalam posisi yang terbaik (ahsani taqwim) sehingga dapat memancarkan Asma dan SifatNya secara seimbang.

Manusia Seimbang, Manusia Kholifah

Itulah sebab ia Allah jadikan kholifah di muka bumi, karena kemampuannya menerima amanah ilahiah sebagai lokus yang terbaik. Amanah memakmurkan alam adalah tugas yang berat, maka tidak mungkin dapat diperankan oleh mereka dengan potensi yang lemah. Upaya memakmurkan alam membutuhkan tiga kekuatan penting, Spiritual, akal dan hasrat. Malaikat tak sanggup mengemban amanah ini karena lemahnya akal dan hasrat karena dominasi sisi spiritual padanya. Hewan pun tak sanggup lantara dominasi hasrat dan lemahnya akal dan spiritual.

Manusia memiliki tiga kekuatan tersebut dengan potensi keseimbangan yang serasi. Spiritualitasnya menjadikannya selalu merasa ada bersama Tuhan, akalnya menjadi bekal untuk membangun kreatifitas di alam, dan hasratnya menjadi gerak bagi tindakan-tindakan praktis. Namun kesemua kekuatan tersebut tak berdiri sendiri secara terpisah melainkan terikat menjadi satu kesatuan. Hasrat yang terpisah dari akal dan spiritualitas akan menjadi banal, sementara akal tanpa hasrat hanya akan menjadi abstraksi mental, dan keduanya tanpa spiritualitas akan bekerja tanpa tujuan yang hakiki. Begitu pula spiritualitas tanpa hasrat dan akal tak akan mampu melahirkan perubahan dan peradaban di alam.

Jalinan kesatuan tersebut menjadikan manusia berpotensi menjadi manusia sempurna (insan kamil). Yakni manusia yang mampu memancarkan cahaya Tuhan di alam raya, membawa rahmat bagi semesta.