Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Keharuman Perilaku dan Kecemerlangan Sejarah Imam Ja’far Shadiq a.s.

1 Pendapat 05.0 / 5

Imam Ja’far Shadiq as lahir di Madinah Munawarah waktu subuh 17 Rabiul Awal 83 H. Ibunda beliau Ummu Farwah. Tentang ibundanya ini, Imam berkata:“Dia bagian dari orang-orang yang beriman, bertakwa dan beramal baik; dan Allah mencintai orang-orang yang beramal baik.”

Ummu Farwah meriwayatkan banyak hadis dari suami beliau (yaitu Imam Muhammad Baqir a.s.) dan beliau seorang perempuan yang memiliki tingkat keilmuwan yang tinggi. Abdul A’la meriwayatkan: “Aku melihat Ummu Farwah sedang tawaf mengitari Ka’bah sambil menutupi dirinya dengan selimut agar orang tak mengenalinya. Dia menyentuh Hajar Aswad dengan tangan kirinya. Seseorang berkata kepadanya, ‘Hai hamba perempuan Allah! Kau telah menyalahi sunah’. Dia menjawab, ‘Kami tidak memerlukan ilmumu.”

Imam Shadiq a.s. tumbuh dewasa di Madinah di bawah naungan kakeknya (Imam Ali Zainal Abidin as) kemudian di bawah naungan ayahnya (Imam Muhammad Baqir a.s.) dan mengikutinya dalam perjalanan ke Syam dan Makkah al-Mukarramah. Imam Shadiq a.s adalah yang paling menonjol dari murid-murid ayahnya di Madinah yang menampung sejumlah besar tokoh zaman itu seperti Umar bin Dinar Jumahi, Abdurrahman Auzari, Ibnu Juraih, Muhammad bin Munkadir, Yahya bin Katsir dan lain-lain dari kalangan ahli hadis. Terpancar aura darinya aura kewibawaan dan cahaya yang menunjukkan bahwa beliau adalah dari keturunan para nabi.

Beliau a.s. hidup bersama ayahnya selama 19 tahun. Ketika Imam Muhammad Baqir a.s. wafat di tahun 114 H, maka beliau pun tampil sebagal pemimpin dan memikul tugas-tugas sebagai imam, dengan wasiat dari ayah beliau, dan menjalankan tugas imamah selama 34 tahun.

Imam Ja’far Shadiq a.s. mengalami masa beberapa raja Bani Umayah. Beliau lahir di masa Abdul Malik bin Marwan yang berkuasa sejak tahun 73 hingga 86 H. Setelah itu, Walid bin Abdulmalik 86-96 H, Sulaiman bin Abdul Malik 96-99 H, Umar bin Abdul Aziz 99-101 H, Yazid bin Abdul Malik 101-105 H, Hisyam bin Abdul Malik 105-125 H, Walid bin Yazid 125-126 H. Setelah itu, Ibrahim bin Yazid naik tahta, tetapi dia mengundurkan diri dan menyerahkan jabatannya kepada Marwan Si Himar di tahun 127. Dengan tewasnya Marwan yang dibunuh di tahun 132 H, maka Dinasti Umawi runtuh, lalu berdirilah dinasti baru di atas puing-puing reruntuhannya.

Dengan demikian Imam a.s. hidup selama setengah abad di era Bani Umayah. Selama itu beliau menyaksikan kezaliman dan kekejaman mereka serta pembantaian-pembantaian yang mereka lakukan terhadap orang-orang merdeka. Hingga akhirnya beliau menyaksikan kelemahan dan keruntuhan mereka.

Bahaya terbesar dari mereka bagi umat ini terletak dalam tingkat penyesatan dan penyimpangan yang mereka ciptakan di dalam ajaran Islam, pendidikan dan serajahnya. Demikianlah hasil kerja propaganda Bani Umayah. Adanya andil ulama istana dan fuqaha kerajaan dalam memperkuat kekuasaan maka kerusakan tidak terbatas pada urusan politik dan yang berkaitan dengan para penguasa saja. Tetapi selain menggunakan kekuatan dan kekerasan, serta memanfaatkan berbagai sarana keagamaan. (Ibnu Qutaibah, Uyun al-Akhbar, jil.1, hal. 243)

Imam Ja’far Shadiq a.s. telah menyaksikan dan hidup bersama pengalaman dan kesedihan ayah beliau. Beliau menyaksikan musibah yang menimpa kaum Alawi yang semakin memburuk, hingga pada akhirnya ayah beliau sendiri dibunuh dengan racun. Imam Ja’far Shadiq a.s. juga menerima berita kesyahidan pamannya Zaid bin Ali, yang bangkit demi membela keadilan. Imam a.s. memuji paman beliau ini dengan mengatakan: “Inna lillah wa inna ilaihi rojiun. Aku berharap pahala dan kemuliaan di sisi Allah bagi pamanku. Dia telah pergi, demi Allah, dalam keadaan syahid sebagaimana syuhada yang syahid bersama Rasulullah, Ali dan Husain.” (Sayid Muhsin Amin, Zayd al-Syahid, hal. 18)

Menyusul kemudian berita kesyahidan anak paman beliau, Yahya bin Zaid. Setelah dibunuh, Zaid disalib selama bertahun tahun, kemudian jasadnya dibakar dan abunya ditebarkan di sungai. Adapun Yahya juga disalib selama beberapa waktu hingga kebangkitan Abu Muslim Khurasani, yang menurunkan jasadnya lalu menguburkannya. Imam Ja’far Shadiq a.s. bergerak melanjutkan langkah ayah beliau, memperkuat Madrasah Ahlulbait dan melancarkan program perbaikan mendasar dan perubahan terbesar, memanfaatkan kondisi yang agak longgar yang muncul setelah kelemahan perangkat pemerintahan Bani Umayah dan tersibukkannya mereka dengan berbagai persoalan di dalam pemerintahan.

Cahaya dari Perilaku Beliau

Imam Ja’far Shadiq a.s. adalah teladan yang sangat menarik bagi para penyeru perbaikan. Dalam perjuangan ini beliau menggunakan metode perubahan pendidikan dan pemikiran serta mengingatkan para ulama akan tanggung jawab mereka di hadapan munculnya fenomena-fenomena jahiliah di tengah masyarakat. Beliau berkata: “Kalianlah para ulama yang harus menanggung dosa-dosa yang dilakukan oleh orang-orang bodoh kalian. Apa yang mencegah kalian untuk menegur dan menghardik serta menasihati dengan baik salah seorang di antara kalian yang melakukan sesuatu yang tidak kalian sukai dan yang mengganggu kami?” (Al-Kafi, jil. 8, hal. 162, hadis ke-169)

Beliau selalu mendorong orang-orang miskin agar bekerja dan menjaga kehormatan mereka dari kehinaan meminta-minta; dan juga mendorong orang-orang kaya agar menafkahkan sebagian hartanya untuk mereka yang membutuhkan. Beliau berkata kepada salah seorang muridnya Syuaib: “Hai Syu’aib! Berbuat baiklah kepada dirimu sendiri, bersilaturahmilah dengan kerabatmu, hubungilah saudara-saudaramu dan janganlah engkau memonopoli sesuatu dengan mengatakan, ‘Ini untukku dan keluargaku.’ Sesungguhnya yang telah menciptakan merekalah yang akan memberi rezeki kepada mereka.” (Manaqib Ibnu Syahrasyub, jil. 4, hal. 243)

Beliau memiliki metode yang mengedepankan moralitas dan etika dalam menyelesaikan persengketaan. Cara seperti itu akan semakin mempererat tali persaudaraan dan persatuan di antara anggota masyarakat. Sedangkan mengadukan perkara kepada aparat pemerintah tentu akan memakan biaya tidak kecil selain akan semakin merusak keharmonisan hubungan di antara masyarakat bahkan di antara sesama saudara; terutama sekali karena pengadilan-pengadilan yang ada berjalan di bawah pemerintahan otoriter dan zalim.

Oleh sebab itulah Imam a.s. melarang penyelesaian perkara dengan mengadu kepada para hakim yang tidak adil. Beliau berkata yang tercatat dalam Kitab  al-Kafi, jil.7, hal.114, hadis ke-2: “Siapa pun yang sedang bersengketa dengan saudaranya dalam suatu hak, lalu dia mengajaknya kepada seseorang antara kalian untuk memutuskan perkara, akan tetapi dia tidak mau kecuali mengadukan masalah ini kepada mereka, maka dia sama kedudukannya dengan mereka yang disebutkan dalam firman Allah Swt, ‘Tidakkah kau melihat orang-orang yang mengaku bahwa mereka beriman kepada yang telah diturunkan kepadamu dan kepada yang telah diturunkan sebelummu, tapi mereka ingin berhukum kepada taghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkarinya [QS. al-Nisa: 60].”