Defenisi Bid’ah Menurut Pandangan Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki

Setiap tahun, hari kelahiran Nabi Muhammad SAWW selalu diperingati oleh umat Islam. Peringatan ini diadakan dalam rangka mengagungkan dan membesarkan sosok agung nan mulia ini, sembari kembali mengkaji sejarahnya untuk kemudian dijadikan teladan dalam meniti kehidupan.

Namun, peringatan ini tidak selalu dinilai sebagai hal yang positif oleh semua kalangan ummat Islam. Sebab, masih ada kelompok yang menganggapnya sebagai amalan bid’ah; sehingga pelakunya dianggap sesat, oleh karena itu acara yang seperti ini tidak seharusnya terselenggara.

Untuk dapat menilai hal ini dengan lebih jelas maka perlu terlebih dahulu mengkaji defenisi bidah. Kemudian dengan defenisi tersebut kita menilai apakah peringatan maulid merupakan amalan bid’ah atau tidak.

Pada tulisan sebelumnya telah disinggung tentang defenisi bid’ah. Tulisan kali ini, masih akan melanjutkan pembahasan tentang defenisi tersebut. Tepatnya mengutip defenisi yang diajukan oleh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani, seorang ulama ahlussunnah yang berdomisili di Makkah semasa hidupnya dan bermazhab Maliki.

“..Iaitu, bahwa pengucap di sini adalah pembuat syariat yang bijaksana. Maka bahasanya adalah bahasa syariat. Oleh karena itu perkataannya mesti dinilai sesuai dengan syariat yang didatangkannya. Jika engkau ketahui bahwa bidah pada dasarnya bermakna semua yang baru diciptakan dan ditemukan tanpa ada contoh sebelumnya, maka ingatlah bahwa penambahan dan penemuan yang tercela di sini adalah: penambahan dalam urusan agama untuk dijadikan bagian dari agama dan penambahan dalam syariat untuk mengambil bentuk syariat, sehingga ia menjadi syariat yang diikuti dan dinisbatkan kepada pemilik syariat. Dan inilah yang diwanti-wanti oleh Nabi SAWW dengan perkataannya: barang siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini, maka ia tertolak. Maka yang menjadi pembeda dalam masalah ini adalah ungkapan “dalam urusan kami ini”.

Oleh karena itu, pembagian bid’ah kepada baik dan buruk dalam pemahaman kami tidak lain kecuali yang berkaitan dengan bidah secara bahasa; yang hanya bermakna penemuan dan penambahan secara umum. Dan kita semua tidak meragukan bahwa bidah dengan pengertian syar’i tidak ada kecuali kesesatan dan fitnah yang tercela, tertolak dan dibenci. Jika para pengingkar memahami pengertian ini, pasti nyata bagi mereka bahwa titik persamaan sangat dekat dan sumber perbedan sangat jauh.”[1]

Di dalam defenisi yang telah disebutkan ada dua jenis defenisi bidah. Bidah secara bahasa dan etimologi dan bidah secara istilah syar’i. bidah secara bahasa yang berarti segala hal yang baru, hal ini dapat dikelompokkan kepada baik dan buruk, hasanah dan sayyiah atau dhalalah. Dan bidah secara istilah syar’i yang berarti menambah, menemukan atau membuat hal-hal baru dalam urusan agama tanpa ada contohnya dalam syariat,  hal ini semuanya pasti sesat, tertolak dan fitnah yang tercela.

Defenisi ini merupakan defenisi yang dapat diterima dan berdasarkan defenisi ini dapat dilakukan penilain terhadap peringatan maulid Nabi SAWW. Apakah peringatan ini sesuai dengan syariat atau tidak.

[1] Alawi al-Maliki, Muhammad bin Alawi, Mafahim Yajib An Tushahhah, hal: 109, cet: Dar al-Qutub al-Ilmiah, Beirut, ke dua, 2009.