Kemurtadan (Bagian 1)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata pindah adalah ‘beralih atau bertukar tempat’. Pindah memiliki arti dalam kelas verba, sehingga pindah dapat menyatakan suatu tindakan, keberadaan, pengalaman, atau pengertian dinamis lainnya.
Kata pindah secara kebahasaan adalah aktivitas gerak jasmaniah dan konkret. Karenanya, secara epistemologis, penggunaan kata pindah dalam konteks keyakinan yang berada dalam domain abstrak dapat dianggap reduktif dan salah kaprah.
Dalam konteks keyakinan, perubahan bisa terjadi karena salah satu dari tiga hal berikut: objek yang diyakini, subjek yang meyakini, dan keyakinan itu sendiri sebagai konsep. Dengan kata lain, yang bisa berubah adalah objek, subjek, dan konsep keyakinan itu sendiri. Masing-masing memerlukan klarifikasi yang gamblang.
Konsep Keyakinan
Perubahan bisa diasumsikan terjadi pada konsep keyakinan. Dengan kata lain, keyakinan atau produk persepsi juga bisa mengalami perubahan kualitatif dari “ke-nir-tahuan” (kebodohan) kepada “ke-tahu-an”, dan sebaliknya. Ini persoalan pengetahuan.
Apabila subjek dari predikat “perubahan” adalah “keyakinan”, maka keyakinan bisa berubah seiring perubahan perolehan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang. Dengan kata lain, perubahan secara primer adalah predikat bagi subjek “pengetahuan” dan secara sekunder bagi “keyakinan” karena keyakinan (dalam dunia logika, bukan dalam dogma) adalah pengetahuan.
Konsep keyakinan (dalam pengertian pengetahuan khusus tentang realitas abstrak dan transenden) dapat dibagi berdasarkan konten premis ke beberapa level, yaitu pertama, kebertuhanan, divinitas, atau at-ta’alluh (meyakini adanya Tuhan); dan kedua, keberagamaan atau religiusitas atau at-tadayyun (meyakin ajaran Tuhan sebagai agama). “Pindah” agama tak niscaya “pindah” konsep ketuhanan.
Objek yang Diyakini
Perubahan terjadi pada objek yang diyakini karena objek yang diyakini ditentukan oleh salah satu dari dua fakta: materiel atau fisik dan imateriel atau metafisik. Fakta materiel adalah realitas kompleks yang merupakan komponen potensi dan aktus berupa raga yang disebut materi (jism).
Saya kemarin meyakini benda yang saya pegang ini adalah gelas. Hari ini saya meyakininya sebagai serpihan kaca (beling).
Premis di atas tidak salah apabila: a) sesuatu yang disebut gelas itu adalah sebuah entitas fisik (memiliki ukuran, kedalaman, dan sifat-sifat atomik lainnya) pada fakta objektifnya; b) gelas itu sejak semula berbahan kaca pada fakta objektifnya; c) esensi kegelasannya sirna karena mengalami perubahan bentuk akibat pecah pada fakta objektifnya.
Dengan kata lain, pernyataan “kemarin adalah gelas” atas benda itu tidak bertentangan dengan pernyataan “hari ini bukanlah gelas” atau “hari ini adalah serpihan kaca”. Artinya, perubahan predikasi dalam contoh “gelas” secara saintifik justru valid.
Sains sebagai konsep yang disusun dari fakta materiel yang dinamis tidak akan menghadirkan fakta yang statis kecuali apabila diabstraksi ke bilangan tak berhingga (matematika) yang merupakan fakta-fakta abstrak. Namun, apabila matematika diperlakukan sebagai ilmu rasional murni dan dipisahkan dari sains, maka sains tidak punya dasar validitas sendiri.
Premis-premis sains tidak permanen karena objeknya adalah fakta sensual dan terikat oleh “waktu” empirisnya. Nilai-nilai general yang diperoleh sains tak berpijak pada sains itu sendiri tapi berpijak pada probabilitas kalkulus, yang tak lain adalah metematika sebagai aksioma non-empiris.
Sains karenanya memerlukan dua postulat non-saintifik yang abstrak, yaitu: a) matematika adalah pijakan sains; b) kebenaran saintifik adalah produk kebenaran matematika.
Sementara itu, eksistensi, Tuhan, agama, dan mazhab adalah nilai-nilai kualitatif. Semua itu bukan realitas materiel yang dinamis melainkan statis. Karena statis, fakta objektifnya tak berubah. Karena tak berubah, citranya dalam benak pun tidak berubah.
Subjek yang Meyakini
Apabila subjek bagi predikat “perubahan” adalah jiwa seseorang yang memiliki keyakinan, maka predikat “perubahan” secara primer melekat bukan pada “keyakian” atau “objek yang diyakini”, melainkan pada subjeknya yang bernama “jiwa”.
Perubahan jiwa yang juga disebut fluktuasi hati adalah akibat dari akumulasi rendah atau tingginya kesadaran moral dan kualitas kejernihan batin. Perubahan jenis ini bisa terjadi pada siapa pun.
Oleh karena itu, kita selalu dianjurkan untuk meminta backup pengetahuan suprarasional (hudhuri) guna memperkuat pengetahuan rasional (hushuli) “Ya Muqallibal qulub, tsabit qalbi ala dinika” (‘Wahai Pencipta hati yang selalu berubah karena ragam citra sensual dan konseptual, berilah aku pengetahuan eksistensial tanpa citra agar lestari dan permanen’).
Tak Punya Keyakinan
“Perpindahan” dari sebuah keyakinan ke keyakinan lain (tentang realitas abstrak) secara epistemologis bukanlah perubahan. Ia hanyalah bukti belum terbentuknya keyakinan sama sekali.
Klaim perpindahan keyakinan lebih mudah dimaklumi apabila alasan menganut keyakinan sebelumnya misalnya adalah pengaruh bawah sadar ketokohan yang cenderung irasional. Artinya, menganut sebuah keyakinan karena hal itu lalu kembali ke keyakinan sebelumnya bukanlah keputusan intelektual sebagai cermin kemandirian individu, tapi akibat romantisme dan primodialisme ikatan sentimental yang berporos pada satu individu atau lainnya.
Kepulangannya ke keyakinan yang sempat ditinggalkannya justru bisa dipahami sebagai kesadaran akan ketergesa-gesaannya mengambil keputusan berganti keyakinan. Sekuat apa pun keinginan memaksakan diri menganut sebuah keyakinan tanpa proses inteleksi dan beradaptasi dalam lingkungan pergaulan baru yang tak dibayangkan sebelumnya, seseorang pada akhirnya mencapai titik jenuh.
Ringkasnya, relasi keyakinan dengan realitas yang diyakini dan subjek yang meyakini adalah niscaya mengikuti hukum kausalitas. Atas dasar itu, perpindahan atau perubahan, terutama di kalangan awam, bisa dimaklumi sebagai proses pencarian keyakinan atau indikator kegamangan karena beragam faktor yang bisa diasumsikan, bukan perubahan atau perpindahan secara harfiah. [Bersambung]