Defenisi Bid’ah Menurut Muhammad Baqir Majlisi

Sebagai pengantar untuk pembahasan peringatan maulid Nabi SAWW Pada beberapa tulisan sebelumnya telah disebutkan beberapa defenisi dan ulasan tentang bid’ah dari kalangan Ahlussunnah. Sebagai pembanding, Pada tulisan kali ini akan disebutkan defenisi bid’ah dari kalangan ulama Syiah.

Muhammad Baqir Majlisi di dalam kitabnya mendefenisikan bid’ah sebagai berikut:

Dan aku katakan: bid’ah dalam istilah syariat adalah sesuatu yang baru muncul setelah Rasulullah SAWW sementara tidak ada dalil khusus tentang hal itu dan tidak juga masuk ke dalam bagian dalil umum, atau ditemukan dalil secara khusus atau umum yang melarangnya. Oleh karena itu, apa yang masuk kedalam dalil umum seperti membangun sekolah dan seumpamanya di mana hal itu masuk ke dalam dalil umum untuk memberikan tempat, kediaman dan membantu kaum muslimin, seperti menulis sebagian buku ilmiah dan karya tulis yang memiliki sumbangsih terhadap pengetahuan syariat, pakaian yang tidak ada di zaman Rasul SAWW dan jenis-jenis makanan baru, sesungguhnya hal itu masuk ke dalam kategori dalil umum kehalalan yang tidak ditemukan dalil pelarangannya. Dan amalan yang dilakukan secara umum jika dilakukan dengan keyakinan dituntut untuk melakukannya dengan karakter khusus maka perbuatan itu bid’ah. Sebagaimana shalat yang merupakan hal terbaik dan amalan sunnah yang dapat dilakukan di berbagai waktu, tatkala ditetapkan oleh Umar bin Khattab dalam beberapa rakaat, dengan cara yang tertentu dan dalam waktu tertentu, maka hal itu menjadi bid’ah. Sama halnya jika seseorang menetapkan tujuh puluh tahlil pada waktu khusus sebagai tuntutan syariat, padahal tidak ada dalil yang menetapkan waktu khusus tersebut, maka ia termasuk bid’ah. Secara umum, membuat hal baru dalam syariat namun tidak memiliki dalil adalah bid’ah, baik amalannya sendiri yang bid’ah maupun karakter dan sifatnya. Dan apa yang disebutkan oleh mereka yang berbeda (dengan kita), bahwa bid’ah diklasifikasi kedalam lima bagian sebagaimana hukum yang lima untuk menjustifikasi perkataan Umar tentang Tarawih, adalah batil dan tidak benar. Karena bid’ah tidak deperuntukkan selain kepada yang haram sebagaimana disebutkan oleh Nabi SAWW: setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan jalannya menuju neraka. Apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab adalah bid’ah yang sesat, karena Nabi melarang shalat berjamah pada shalat sunnah. Oleh karena itu pembagian ini bagi meraka tidak bermanfaat.[1]

Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa semua amalan baru dalam syariat yang tidak memiliki dalil syar’i; baik secara khusus maupun umum adalah bidah.

Oleh karena itu amalan-amalan yang memiliki dalil umum dan tidak ada larangan yang mencegahnya maka tidak dapat dikategorikan sebagai bidah. Seperti mendirikan sekolah membangun rumah untuk fakir miskin dan lain-lain.

hal baru yang tidak memiliki dalil umum maupun khusus tersebut, bisa berupa amalannya sendiri atau bentuk dan karakternya yang baru sekalipun dasar amalannya memiliki dalil.

Berangkat dari defenisi ini nantinya akan dikaji apakah peringatan maulid Nabi SAWW memiliki dalil khusus maupun umum atau tidak? Jika jawabannya positif maka bukan amalan bid’ah namun jika jawabannya negatif maka perayaan ini merupakan perbuatan bid’ah yang mesti dihindari.

[1] Majlisi, Muhammad Baqir, Mirat –al-Uqul Fi Syarh Akhbar Ali al-Rasul, jil: 11, hal 78, cet: Dar al-kutub al-Islamiah.