Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Bid’ah Dalam Pandangan Imam Al-Ghazali

1 Pendapat 05.0 / 5

Dalam beberapa tulisan sebelumnya, kita sudah mulai menyelami makna bid’ah baik secara bahasa maupun dari segi istilah yang dipaparkan oleh beberapa ulama Islam terkemuka.

Makna bid’ah secara bahasa tentunya memiliki cakupan yang luas, meliputi semua hal yang dibuat atau diciptakan tanpa didahului contoh sebelumnya. Lain halnya apabila lafal tersebut telah diserap menjadi sebuah istilah baru, maka dalam hal ini pasti mengalami perubahan (muncul kekhususan yang sesuai dengan pemakaian istilah tersebut).

Pembahasan ini sebetulnya bertumpu pada bid’ah yang dilarang oleh baginda nabi Muhammad saw pada masa itu. Dimana beliau sebagai perwujudan dari nilai-nilai Islam itu sendiri melihat fenomena tersebut sebagai bentuk penyimpangan, sehingga dilarang. Dan tentunya hal tersebut juga adalah hal yang jelas maksudnya bagi masyarakat yang ada ketika itu.

Namun dengan berjalannya waktu dan terjadinya berbagai perkembangan yang ada disertai sampainya pelarangan tersebut dari generasi ke generasi yang jauh dari masa nabi menyebabkan hilangnya sebagian kejelasan dan hanya menyisakan istilah.

Bertolak dari itu para ulama dengan berbekal ilmu dan pemahamannya berusaha menggali kembali makna yang dulu dimaksudkan oleh nabi mengenai bid’ah. Oleh sebab itu kita mendapati saat ini terkadang mereka sepakat satu sama lainnya atau juga berbeda jauh.

Alhasil di antara para ulama Islam, adalah imam Al-Ghazali (450-505 H). Ia menyinggung persoalan bid’ah ini dalam kitabnya yang terkenal, Ihya Ulumuddin. Meskipun bukan dalam bab khusus terkait masalah bid’ah, namun hal ini merupakan sebuah premis mayor darinya dalam melihat fenomena tersebut.

Hal ini ia sebutkan dalam Kitab Adabul Akl (adab makan) yang berkaitan dengan persoalan tempat (alas) makan. Ia mencatat:

وما يقال : إنّه أُبدع بعد رسول الله ، فليس كل ما أبدع منهياً بل المنهي عنه بدعة تضاد سنّة ثابتة ، وترفع أمراً من الشرع مع بقاء علّته ، بل الإبداع قد يجب في بعض الأحوال إذا تغيّرت الأسباب

Dan apa yang disebutkan: bahwasannya hal itu dibuat (bid’ah) setelah (masa) Rasulullah saw, maka tidak semua dibuat (bid’ah) itu dilarang adapun yang dilarang adalah bid’ah yang bertentangan dengan sunnah yang tetap dan yang menghapus sesuatu dari syariat sedangkan sebabnya masih ada. Bahkan membuat sesuatu yang baru (penemuan atau bid’ah secara bahasa) itu terkadang adalah wajib dalam beberapa kondisi apabila sebab-sebabnya berubah.[1]

Dari catatan di atas imam Al-Ghazali menggariskan bahwa tidak semua bid’ah atau hal baru itu dilarang, sedangkan yang dilarang itu hanyalah bid’ah atau hal baru yang bertolak belakang dengan sunnah yang tetap, dan juga yang mengangkat sebuah hukum dalam syariat sementara penyebab hukum tersebut masih ada.

Yang unik pada kalimat akhir ia juga menjelaskan bahwa Ibda’ yang bisa diartikan membuat sesuatu yang baru (penemuan atau bid’ah secara bahasa) itu terkadang bisa menjadi wajib dalam beberapa kondisi apabila syarat-syaratnya terpenuhi.

Oleh sebab itu berdasarkan paparan di atas, persoalan bid’ah yang terlarang ini bukanlah persoalan yang enteng sehingga dengan mudah bisa menyebut sesuatu atau menghukuminya dengan predikat tersebut. Namun harus didahului dengan pengenalan yang kuat terhadap sunnah serta dalil-dalil hukum yang berkaitan, baru setelah itu membandingkannya. Begitu pula dalam masalah maulid nabi yang insyaAllah dalam tulisan-tulisan yang akan datang akan dibahas lebih jauh.

[1] Ihya Ulumuddin, hal: 434, cet: Dar Ibnu Hazm.