Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Syekh Ali Jum’ah: Perayaan Maulid Nabi Salah Satu Amalan Terbaik

1 Pendapat 05.0 / 5

Maulid atau hari kelahiran nabi Muhammad saw merupakan hari yang menggembirakan bagi seluruh kaum muslimin terlepas dari pandangan mereka terkait bid’ah atau tidaknya melakukan perayaan dengan kegembiraan tersebut. Sebab sosok agung beliau saw merupakan pembawa hidayah yang memiliki pengaruh dan peran besar dalam keislaman setiap muslim di mana pun ia berada.

Pada tulisan-tulisan yang lalu kita telah banyak melihat kritikan sebagian ulama terkait perayaan maulid nabi saw, dan bagaimana mereka menilai hal tersebut sebagai sebuah bid’ah yang tak boleh dikerjakan. Namun di sisi yang lain atau mungkin bisa dibilang kebanyakannya, para ulama membolehkan perayaan maulid ini, dengan alasan bahwa hal tersebut memiliki akar dalam sumber-sumber syariat, seperti yang telah diulas dalam tulisan berikut ini.

Kali ini kita akan mengulas pernyataan Syekh Ali Jum’ah, seorang ulama besar serta mufti dari Mesir, yang menjelaskan bahwa maulid nabi adalah satu bentuk amalan yang paling utama. Tentunya ia juga menyertakan alasan serta pandangan para ulama lainnya dalam melihat kasus ini.

Dalam kitab fatwanya Al-Bayan, ia mencatat:

Perayaan memperingati hari kelahirannya (nabi Muhammad saw), adalah (salah satu) dari amalan yang paling utama dan kedekatan (pada Allah) yang paling agung; sebab hal ini adalah ekspresi dari kegembiraan dan kecintaan terhadapnya, dan cinta pada nabi merupakan satu asas dari asas-asas keimanan.[1]

Pernyataannya di atas, secara jelas mengakui perayaan maulid nabi sebagai salah satu dari amalan yang utama. Adapun alasan yang ia ketengahkan untuk pernyataannya tersebut adalah disebabkan perayaan itu adalah simbol dan tanda dari kecintaan orang-orang terhadap nabi, kemudian cinta pada nabi adalah bagian dari asas keimanan sebagaimana hal ini dapat ditemukan dalam beberapa riwayat dalam Shahih Bukhari, dimana nabi saw bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, tidak beriman seseorang sampai aku menjadi yang lebih dicintainya ketimbang orang tua dan anaknya.”[2] Atau riwayat serupa lainnya bahkan ayat yang dapat kita lihat pada halaman berikutnya.

Selanjutnya ia membeberkan ke-syar’ian perayaan maulid ini dengan mula-mula menggambarkan kedudukan agung nabi Muhammad saw di sisi Allah, sedemikian rupa sehingga wujud agung beliau ini mempengaruhi semua makhluk, sebab ialah makhluk terbaik. Setelah itu menukil beberapa pandangan ulama lainnya yang memiliki kesamaan dalam menilai bukan hanya boleh bahkan sampai pada derajat Mustahab-nya (sunnah/dianjurkan) perayaan ini.

Merayakan hari kelahirannya adalah penghormatan terhadapnya, dan penghormatan terhadapnya adalah hal yang sudah pasti ke-syar’iannya, karena asas pondasi serta pilar utamanya ialah sesungguhnya Allah swt telah mengetahui kadar nabi-Nya, maka Ia memperkenalkan wujud secara keseluruhan dengan namanya, dengan pengutusannya, dengan maqamnya serta dengan kedudukannya. Oleh sebab itu alam semesta ini seluruhnya dalam suka cita yang senantiasa dan kegembiraan mutlak atas cahaya Allah, kelapangan-Nya, nikmat-Nya atas seluruh alam serta Hujjah-Nya.

Dan sungguh Salaf (para pendahu) kita yang saleh dari abad ke-4 dan ke-5 telah berjalan bersama perayaan maulid Rasul yang agung -Shalawat Allah serta salam-Nya atas beliau- dengan menghidupkan malam kelahirannya melalui beragam amalan kedekatan (pada Allah) dari mulai pemberian makanan, pembacaan ayat Al-Quran, dzikir, serta pembacaan syair-syair dan pujian-pujian (terhadap apa yang ada) dalam diri Rasulullah saw, sebagaimana hal itu disebutkan oleh beberapa sejarawan seperti para Hafidz: Ibnul Jauzi, Ibnu Katsir, Al-Hafidz Ibnu Dihya Al-Andalusi, Al-Hafidz Ibnu Hajar dan Al-Hafidz Jaluddin As-Suyuthi ra.

Dan sejumlah ulama dan Fuqaha (para ahli fikih) telah menulis (kitab) mengenai ke-Istihbab-an (kesunnahan) perayaan maulid nabi yang mulia. Mereka menjelaskan ke-Istihbab-an amal tersebut dengan dalil-dalil yang sahih, sehingga tidak ada lagi tempat bagi sesiapa yang memiliki akal, paham serta pemikiran yang sehat untuk menolak apa yang telah dikerjakan oleh Salaf kita yang saleh dengan perayaannya memperingati maulid nabi yang mulia. Dan Ibnul Haj dalam (kitab)  Al-Madkhal telah panjang lebar menyebutkan keutamaan-keutamaan yang berkaitan dengan perayaan ini (maulid nabi), di sana ia menyebutkan pernyataan penting yang dapat melapangkan dada kaum mukminin. Perlu diketahui bahwa Ibnul Hajj menyusun kitabnya Al-Madkhal untuk mengkritik bid’ah-bid’ah baru yang tidak bersandar pada dalil Syar’i.[3]

Setelah itu, ia juga mencatat mungkinnya berargumentasi untuk maulid dengan menggunakan kaidah Al-Umum, yakni adanya lafal yang memiliki makna yang umum (meliputi beberapa makna khusus), yang mana apabila lafal umum ini menjadi objek dari sebuah hukum maka hukum tersebut akan berlaku pada setiap maknanya selama tidak ada pengkhususan. Bisa dilihat dalam penjelasan berikut ini:

Seperti halnya memungkinkan ber-istidlal dengan umum (kaidah Al-Umum) pada firman-Nya: وَذَكِّرْهُمْ بِاَيّٰىمِ اللّٰهِ (“Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah.”)[4], maka tidak ada keraguan bahwasannya maulid nabi saw, adalah (salah satu) dari hari Allah. Sehingga perayaan dengan hari tersebut tidak lain adalah sebagai praktik bagi perintah Allah, dan jika demikian maka bukanlah bid’ah melainkan sunnah hasanah, meskipun hal tersebut tidak ada pada masa Rasulullah saw.

Dan kita merayakan maulidnya dikarenakan kita mencintainya, dan bagaimana kita tidak mencintainya sementara seluruh alam semesta mencintainya.[5]

Dan dari semua yang telah disebutkan dari pernyataan para imam seperti Ibnu Hajar, Ibnul Jauzi, As-Suyuthi serta yang lainnya, dan telah jelas bahwa ini adalah keadaan dari umat dari abad ke-5 Hijriah, kita melihat ke-istihbab-an (kesunnahan) perayaan maulid adalah kesesuaian bagi umat dan ulama. Perayaan yang telah disebutkan tadi itu berupa pembacaan Al-Quran, pemberian makanan, dan tidak mengarah pada hal-hal sifatnya tercela seperti tarian, (tabuh) gendang dan semisalnya. Dan tidak ada perhatian (anggapan) terhadap orang-orang yang menolak Ijma amali dari umat dan perkataan para imam ini. Dan perayaan ini bukanlah hal yang banyak bagi nabi rahmat dan hidayah serta kekasih Tuhan semesta alam.[6]

Dari penjelasan di atas, di akhir pembahasannya ia sedikit menyinggung bahwa perayaan tersebut haruslah dengan hal-hal yang memang mengandung nilai yang baik seperti tilawah Al-Quran, memberikan makanan dan sebagainya, bukan dengan hal-hal yang buruk atau tercela.

Alhasil kesimpulan yang dapat diambil dari semua penjelasan diatas adalah bahwa memperingati maulid nabi itu bukanlah sebuah bid’ah yang tidak boleh dikerjakan, namun memiliki akar syariat yang jelas, bahkan seperti yang tadi disebutkan, dipandang mustahab atau sunnah. Namun tentunya perayaan ini pun hanya boleh dirayakan dengan hal-hal yang diperbolehkan dalam syariat dan menjaga kehormatannya sebagai hari wiladahnya nabi.

[1] Al-Bayan Li Ma Yusyghilul Adzhan, hal: 169.

[2] Shahih Bukhari, jil: 1, hal 14. Shahih Muslim, jil: 1, hal:76.

[3] Al-Bayan Li Ma Yusyghilul Adzhan, hal: 170-171.

[4] Ibrahim: 5.

[5] Al-Bayan Li Ma Yusyghilul Adzhan, hal: 173.

[6] Al-Bayan Li Ma Yusyghilul Adzhan, hal: 174.